Oleh Chan Setu, Fr.
Terinspirasi oleh teks Lukas 7:36-50
Sama
saudara yang terkasih dalam Sang Sabda.
Ketulusan bisa jadi menjadi sebuah pertanyaan kekinian yang sangat sukar dijawab oleh siapapun saat ini. Banyak hal dari realitas hidup kita yang membawa makna ketulusan ke dalam sebuah ranah promosi diri sekaligus menjadi acuan propaganda untuk memprioritaskan kesombongan atau keakuan dalam diri kita.
Lukas
dalam sabdanya hari ini menggambarkan keadaan duniawi yang sering terlelap
dalam acuan mencari atau pun merasa nyaman dalam reputasi kehidupan. Setiap
kita tentu ingin dan menuntut penghargaan atau sekadar disegani atas segala hal
yang kita capai; bisa jadi reputasi menjadi acuan dasar yang ingin kita
perlihatkan sekaligus menjadi tontonan massa agar menjadikan kita sebagai orang
dengan keakuan yang perlu dihargai dan dihormati.
Orang farisi dalam tokoh penginjil Lukas hari
ini memberi sebuah gambaran keakuan yang ingin menjadi kekinian. Reputasi
menjadi tolok ukur bagi dia dalam mengadakan pesta.
Agak sedikit jarang seorang farisi mengundang Yesus dalam perjamuan bersama, meski sekadar untuk menyeduh kopi pahit.
Analoginya bahwa adanya
kemungkinan-kemungkinan yang menjadi landasan yang memicu simon. Bisa jadi ia ingin
menyaksikan sang guru dalam perjamuan entah sekadar menguji kasih-Nya atau
sekadar untuk melihat tingkah Yesus dalam santap malam bersama. Di sini kita
melihat bahwa orang Farisi itu cenderung menjadikan Yesus sebagai tolok ukur reputasinya. Dengan kata lain kehadiran Yesus dalam perjamuan, bisa menjadikannya sebagai satu-satunya orang fasiri yang patut diperhitungkan sekaligus
disegani di kalangan masyarakat.
Bagaimana dengan perempuan berdosa itu?
Bisa jadi kita mengklaim bahwa si perempuan sekadar mencari muka agar ia
memperoleh pengampunan.
Namun, di satu sisi, perempuan itu memberi sebuah
kemungkinan lain yang menjadikan perjamuan itu menjadi sangat sederhana sebab terkandung kasih. Yesus
selalu menekankan kasih. Dalam setiap pelayanan Ia tidak pernah menuntut untuk
dilayani atau dihargai.
Dalam kasih-Nya, Yesus meninginkan sebuah kebebasan
bagi kita umatnya.
Sebagaimana dalam tindakan si perempuan itu. Ia tak dijegal oleh
Yesus, malah Yesus memberi kebebasan baginya untuk memberi dari kepunyaannya. Tindakan sang perempuan ini dapat kita lihat sebagai kekinian yang tak mungkin
jadi nyata. Meski Agus Noor dalam cerpennya “Kunang-kunang dalam bir”
berkali-kali mengatakan bahwa “kemungkinan itu selalu berpintu” malah saya
melihat dalam konteks apa yang telah dilakukan oleh sang perempuan bukan menjadi
sebuah kemungkinan lagi di masa kini.
Pertanyaan sederhananya, Bagaimana
kasih-Nya hidup dalam kita dan bagaimana kasih itu kita hidupi dalam diri kita
dan sesama kita?
Acapkali dalam kebersamaan, kasih
menjadi sebuah perhitungan timbal balik. Saya kasih saya dapat. Hal ini mau
menunjukkan bahwa kesetiaan kita masih sebatas sebuah hukum timbal balik yang
harus dan patut diperoleh kembali. Namun, dalam konteks ini, kata “kasih” haruslah
diartikan sebagai sebuah totalitas, dengan kepenuhannya sebagai sumbangsih yang paripurna atas
pelayaanan dan pemberian. Seorang penyair serigkali membahasakan puisinya
secara penuh dalam totalitas imajinatifnya.
Memang amat sangat sukar bagi
siapapun untuk memaknai setiap realitas dalam kasih-Nya dan juga dalam
ketulusannya sebab belenggu kita sedang dan selalu dipenjara oleh keakuan yang
tak mampu menjadi sebuah kunci menuju pembebasan.
Kita seringkali tertawa hingga
menangis,
Bahkan menangis hingga tertawa
Di samping itu, rindu selalu menjadi
cermin kita bagi ibu,
Kita pernah berkali-kali tertawa hingga
menangis dalam pelukan ibu
Bahkan menangis hingga tertawa, sebab
air mata kita tak mampu kembali jadi asi saat kita merajuk manja dalam
pelukannya.
Bukankah kemungkinan itu masih sedikit
jadi ambigu?
Mari kita renungkan secara
bersama-sama….
terima kasih teruntuk kepercayaan dari sie Liturgi. semuanya adalah pengalan pengalaman untuk berani mencoba
ReplyDeletesalam pengasuh beranda nitapleat.
Tuhan Memberkati
Mantap.
DeleteBerani mencoba berarti berani berbagi dengan semua orang yang membaca...
Ada para pengunjung setia yang terus menanti ulasan-ulasan selanjutnya.
Sip kae...
ReplyDeleteKetika sekali mencoba kata orang akan ada hujan yang terus menerus jatuh bisa saja hujan itu jadi puisi buat saya untuk terus mencoba merenungkan bait-bait suci-Nya.
Salam komanda Beranda Nitapleat, sebuah rumah dengan seribu imajinatif di dalamnya.heheheh