KANDANG
Dalam
imaji mainstream, ada penolakan ekstrem terhadap batas-batas primordial yang
membatasi ruang untuk berkomunikasi. Kita kehilangan diri sebab arus ini telah
piawai membalikkan ketertutupan-ketertutupan dalam loka yang agak pengap.
Mungkin kandang dapat mewakilkan peristilahan yang dipakai zaman kuno, --gua
platonik.
Ada dua kandang yang selalu dibilang sebagai kandang primordial. Pertama,
sebuah kandang yang bernama otoritas-sistemik. Anggota-anggotanya adalah para
patung yang berdiri kokoh (seolah tidak getir), sedang menatap ke arah dalam
yang penuh kegelapan. Kegelapan itu membatasi salah satu kemampuannya untuk
memakai akal budinya.
Kandang model ini membuat pikiran-pikiran jadi majal,
tidak bernas lagi ide-idenya. Kita bertanya, bagaimana kebebasan itu bisa
terwujudkan di dalam kandang sepengap loka yang tidak masyuk ini? Atau dengan
kata lain, orang macam manakah yang bisa bahagia ketiga ia tidak diperbolehkan
untuk berpikir (lain)? Sekali lagi, kandang seperti ini membatasi ruang gerak
para anggotanya.
Rawls --Justice as Fairness-- menyentil ihwal
kebebasan, bahwasannya seseorang bisa menemukan kebebasan dasarnya saat
mendapat kesempatan yang sama. Di sini ada fairnessnya Rawls. Berpikir
(lain), itulah kebebasan dasar, yang oleh setiap patung mesti diasosiasikan
dalam akibat turunan, yakni bertindak. Dalam kandang itu, patung-patung tetap
membeku menatap pada sudut tanpa cahaya. Patung-patung itu tidak takut kalau
mereka tidak bebas, meski sekedar bergoyang sebab pinggang dan kaki sudah
encok.
Kedua, kandang-kandang anti otoritas. Ini lebih menekankan aspek
kebebasan pribadi yang sebebas-bebasnya. Biasanya anti otoritas dilambangkan
sebagai model ideal orang-orang yang tidak mau diatur, yang menikmati apa
adanya tanpa memakai rasionya untuk mempertanggungjawabkan pilihannya. Demi
melanggengkan cita-citanya, ada kecenderungan untuk membentuk, semacam
kelompok-kelompok kecil, kumpulan patung-patung (sesungguhnya), yang mengabdi
pada kesamaan. Patung-patung itu takut untuk berdiri dalam keberbedaan, atau
setidak-tidaknya berani menyimpang dari arus mainstream.
Banyak
patung yang berusaha keluar dari kandang yang gelap justru masuk dalam
kandang-kandang yang lebih gelap karyanya sendiri. Menarik bahwa, ada semacam
persaingan antar kandang yang saling mengklaim kalau kandang merekalah yang
paling menjanjikan. Dengan begini, secara fisik boleh baru, tetapi pemikirannya
tetap tidak anyar. Rasionalitas komunikatif itu tidak ada, bahkan ada usaha
mematikan rasionalitas, serentak komunikasi.
Kita
mesti belajar dari Amartya Sen untuk menyadari bahwa lahirnya kandang-kandang
baru adalah bentuk lain dari kapabilitas-kapabilitas yang berbeda. Apa artinya
kebebasan kalau kualitas-kualitas yang kita miliki mati? Sen, secara
menakjubkan, menghidupkan imajinasi-imajinasi yang telah bertetirah ke arah
keambrukkan. Bahwa, pada galibnya, beroleh-tidaknya keadilan bergantung pada
kebebasan mengekspresikan diri, menuntun Sen untuk melahirkan teori-teori
kapabilitasnya.
Kandang-kandang
yang dibangun untuk mengatasnamakan kebebasan individual patut dipertanyakan.
Dalam arti yang lebih luas, ini menunjukkan peristiwa pelesetan demokrasi
sebagai model kesetaraan dan pemerataan kebebasan. Dengan kata lain,
kandang-kandang termaksud bertujuan untuk menyelimuti kegelapan-kegelapan diri
sendiri, serentak menutup kemungkinan secuil terang asfar dari luar.
Patung-patung itu tetap menatap kegelapan di dalam kandangnya sendiri, sambil
berdiri kokoh menepuk dadanya bahwa dirinyalah yang paling benar.
Pulang, sebab sudah bukan waktunya untuk takut pada bayang-bayang otoritas. Sudah bukan saatnya untuk takut untuk bebas dalam pilihan hidup --menjadi patung hidupatau menjadi domba. Kita mesti pulang ke kandang, dalam malam yang temaram. Sebab tidak ada waktu lagi untuk berlari-lari, sambil bersembunyi.
Mudik
boleh menghanyutkan konsentrasi kita. Dia membuat hampir semua orang cemas
kalau kalau hanya hilir-mudik di tengah keramaian. Kita pulang. Pulang ke dalam
diri sejenak, membuka rasionalitas dan rasa kita untuk memandang kembali
model-model kandang yang kita cipta, atau tempat kita menghambakan diri.
Pulang
untuk membuka mata hati dan pikiran demi perwujudan noosphere. Teilhard de Chardin bilang bahwa ini yang dinamakan dengan tercapainya kesatuan akal
budi dan hati manusia yang ikatannya adalah cinta kasih.
Agaknya tidak ada gunanya berbicara
tentang nilai-nilai universal, kalau kita masih terjerembab dalam palungan
keegoisan yang menghanguskan diri. Keterbukaan dan demokrasi dalam kehidupan tidak
akan pernah tercapai dalam kandang yang tercipta karena punya hobi atau
kebiasaan yang sama. Arus mainstream bernama rasa nyaman yang pengap
membatasi kapabilitas kita untuk membaui kelezatan di luar sana.
Kembali pulang
mengisyaratkan bahwa kita tahu diri, serentak tahu ada orang lain,yang
berjuntrung pada pengenalan satu sama lain. Sukar kalau kepandaian berbicara
kekeliruan yang lain itu tumbuh tidak dibarengi dengan keberanian mengakui
kekeliruan-kekeliruan dalam diri.
Pulang,
dalam tayangan filosofis, mengharuskan kita untuk mesti keluar dari gua
platonik,yang hanya menuntun kita untuk ikut saja arus mainstream. Pulang,
tidak selalu bermodelkan kosmologinya Herakleitos, --mengalir begitu saja.
Dengan kata lain, mengikuti yang banyak (keramaian) merupakan model
ketertutupan hati, serentak daya pikir dan daya juang untuk berani berpikir dan
berbuat lain.
Kita
pulang ke kandang, dengan 'malam sunyi' di dada sebagai patung-patung hidup dan
bukan domba-domba yang berbaring menunggu rumput-rumput hijau. Patung-patung
yang menetap kearahBintang satu-satunya di Bethlehem.
Pulang,
sebab sudah bukan waktunya untuk takut pada bayang-bayang otoritas. Sudah bukan
saatnya untuk takut untuk bebas dalam pilihan hidup --menjadi patung hidupatau
menjadi domba. Kita mesti pulang ke kandang, dalam malam yang temaram. Sebab
tidak ada waktu lagi untuk berlari-lari, sambil bersembunyi.
Mengapa kita harus pulang?
'Pulang',
sebagaimana 'mudik' adalah pengertian ruang, tapi juga waktu. Pulang berarti
kembali ke tempat asal, detektif di bumi tempat kita berangkat,dulu. Tapi,
tidak sedikit yang lupa pulang, lupa tempat dia berpijak, lupa kalau dia datang
dari kandang. Kenang itu yang berdiri di malam sunyi dengan patung-patung
ceria. Kandang yang diciptakan karena kedamaian. Kita pulang supaya
keharmonisan itu tercipta. Keharmonisan yang melampaui tapal batas
kandang-kandang yang kita lahirkan atas unsur kesamaan. Bila ini terus
dipertahankan, kita tetap tertutup dan tidak ada cerita lain, selain cerita
yang melebihi-lebihkan diri sendiri.
Nitapleat: kandang atau lapangan, penjara atau rumah, keterbelengguan atau kebebasan? Di dalam kandang dinamika terbatas, di lapangan eksplorasi diri berkembang, di penjara rindu dan harap dijarah, di rumah cinta dan asmara diikhlaskan tumbuh berbunga. Nitapleat barangkali kandang yang bisa punya kemungkinan menekan mendesak, barangkali jeruji besi menghimpit menghambat harmoni persaudaraan. Namun ia lebih baik jadi lapangan tempat kompetisi bakat dijaga dengan pola formasi yang ideal; setiap orang bebas menyatak diri sebagai pemain dari hidupnya sendiri dan merayakan gol kebebasan. Ia juga rumah ruang intimasi para penghuninya. Semoga narasi kandang (umpan irasionalitas) dan pulang (pancingan rasionalitas) memberikan ruang berpikir kreatif dan daya cipta kolosal demi peradaban pemikiran yang lebih filosofis, religius, dan etis...
ReplyDelete