Beberapa tahun yang lalu, mungkin belasan atau puluhan tahun yang lalu
selepas usiaku yang mulai beranjak dewasa. Hampir tiap malam, aku selalu
kedatangan tamu. Tamu yang tak diundang, tapi begitu akrab. Ia membawa
segenangan air yang jadi basah.
Wanginya begitu tajam. Kadang ia menempel
dengan lekat, bahkan susah untuk menghilangkan bekasnya. Jika dirasa oleh indera
penciuman kadang banyak menghasilkan stress
ketimbang tertawa dan tersenyum, memahami.
Di samping itu, tamu itu selalu
membuat air mata jatuh, ia jatuh tak pernah akrab dengan mimpi. Lebih sering
mengganggu mimpi-mimpi indah yang datang dengan mesra dan romantis. Bukan saja
mimpi yang kujaga dengan baik dalam lelapku.
Ia juga turut mengganggu mimpi-mimpi
dari orang-orang seisi rumah. Seringkali, ia gaduh dengan segala ribut yang
mencoba menangkal amarah. Ayah dan ibuku sering mengatakan, “Denny, kalau mau ngompol beritahu dan kalau boleh kasih
bangun mama atau bapa. Biar tidak basah dan bau.”
Ya, saat itu aku baru tahu
bahwa tamuku itu bernama ngompol.
Tapi lebih sering disebut oleh Yuni, kakakku dengan sebuatan “kencing di celana.” Maklumlah, usiaku
waktu itu masih latihan merangkak bahkan kejadian itu masih begitu sering aku alami
hingga duduk di bangku kelas III Sekolah Dasar dan baru benar-benar berhenti
saat berada di bangku kelas IV itu pun semester II. “Hehehehehe, maaf. Aku malu, jadinya.”
Denny, Denny.
Teriak kakakku, Yuni dari kamar tidurku.
“Iya Kak.”
Jawabku. “Kenapa kau belum juga ganti spreinya. Atau kau ingin kakak yang menggantikan
spreimu itu?”
Kalian tahu,
jika kakakku mulai marah. Lebih baik kita diam. Sebab dengan segala cerewetnya,
telinga kita bisa jadi tuli dan akal kita pasti akan bertabrakan bersama
mulut yang turut berkomat-kamit bersama bibirnya yang gemeletup satu per satu
dengan barisan gingsul, giginya.
“Iya kak, entar
aku ganti kok.” Jawabku seadanya. Karena aku tahu meskipun ia marah dengan
segala kata-kata cerewetnya. Pasti ia juga yang membereskan semuanya itu. Sebab
kakak perempuanku satu-satunya itu pada dasarnya mewariskan sifat yang baik
dari ibuku.
Semalam, ketika usai ngompol
dengan mesra. Aku tak tahu apakah celanaku sudah kering apa belum. Intinya,
malam tadi aku benar-benar menikmati mimpi yang terjaga dengan rapi dalam
sekelebat bayangan seorang wanita.
“oh,
wanitaku. Andai kata kau yang selalu menjadi tamuku tiap malam. Aku pasti
selalu meladenimu dengan baik. Bak, tamu ayah yang selalu datang dan dilayani
dengan baik bersama aroma kopi dari dapur ibu bercermin pun dari tungku api,
ubi kayu dinanak. Wanita, kemarilah. Akan kujagamu dengan baik-baik dalam
pelukan hangatku.”
Wanita dalam mimpiku, ia selalu nyata dalam rasaku. Bahkan aku begitu
ingat betapa nyamannya aku dalam seluruh hidupku, jika ia mulai memanggilku
manja. Ia selalu disolek dengan manis dan cantik, setiap harinya.
Bahkan ayahku
selalu menasihati kami setiap hari, “Hal pertama dan paling pertama dalam sebuah
hari adalah mempersolek wanita itu dengan baik dan cantik, biar ia tak jadi tua
pun tak jadi sendiri tanpa pernah menemukan pasangan hidupnya setiap hari, alih-alih ibuku selalu sambar dan bahkan harus setiap waktu, Denny.” Ibuku,
selalu saja memberi penekanan kepadaku setiap berbicara mengenai wanita itu.
“Iya, iya Bu,
iya.” Jawabku dengan kesal. Meskipun jawabku selalu Iya setiap harinya. Selalu
saja aku memelihara kebiasaan buruk untuk membiarkan wanita itu sendiri yang
mempersolek dirinya. Toh, bukankah dia yang menginginkan agar orang selalu
terpikat dengannya? Dan aku hanya menjalankan tugasku untuk selalu jatuh cinta
dengannya.
Setiap kali,
aku seperti memimpikan ia dalam setiap rasa nyataku. Selalu saja aku
memanggilnya dengan sebait puisi yang paling romantis menurutku.
“oh, wanitaku. Andai kata kau yang
selalu menjadi tamuku tiap malam. Aku pasti selalu meladenimu dengan baik. Bak,
tamu ayah yang selalu datang dan dilayani dengan baik bersama aroma kopi dari
dapur ibu bercermin pun dari tungku api, ubi kayu dinanak. Wanita, kemarilah.
Akan kujagamu baik-baik dalam pelukkan hangatku.”
Puisi itu,
seperti ungkapan jatuh cintaku yang dalam kepadanya. Dan tak sekalipun, untuk
coba menghindar bahkan membuatnya rusak. Malah, yang selalu kubuat ialah memanjakan
dia dalam pelukkan hangatku.
“Aku
mencintaimu.” Ucapku mengenang beberapa tahun lalu, ketika wanita itu
begitu nyaman jadi tempat terlelapku tiap harinya dan akan bangun juga pergi
ketika ibu dan Yuni, kakakku mulai berteriak dan memanggil keras agar lekas
membereskan segalanya. Ya segalanya, yang tersisa dari kenikmatan mimpiku
bersamanya atau akan “ia.”
Semuanya sisa
dari segala caraku merawat lupa. Dan semuanya itu adalah kenangan yang masih
akrab dalam benakku tentang beberapa tahun lalu. Hari ini, aku seperti
mengingatnya akrab dan punya keinginan untuk menemukan momen-momen manja
bersamanya.
Sayangnya, aku sedang tidak berada dalam keakraban itu, tapi sedang
dalam situasi yang dramatis. Ya, dramatis, menurutku saja.
Sudah beberapa hari
ini, menjadi keseringanku untuk selalu mendaftarkan nama pada sebuah zona merah, sedang di luar pun banyak cerita yang nyata tentang masalah-masalah yang timbul
dari setiap daerah zona merah.
Maklum dunia sedang dalam mimpi buruknya tiap
hari. Mimpinya selalu menghantui antara kematian yang semakin dekat dan cara
terbaik untuk mencoba mematikan diri tanpa pemakaman yang mulia. Toh, di luar
sedang ada covid-19.
Dan aku, mimpi
buruk selalu hadir saat sadar telah ada dalam daftar zona merah sebuah jalan
hidup.
“Yang benar saja kau, Kon. Tuang, benar panggil
saya ko?” “Iya, Denny. Ingat jangan cari alasan. Ini bukan pertama kalinya kau
begini, kan. Jadi, untuk minggu ini dia sudah catat namamu mungkin masuk dalam
kategori kelas excellent atau profesionalisme.” Dengan umpatan
kata-kata kotor, aku mencoba mengusir Konrat dari kamarku.
Nak, wanita itu tidak lain dari kasur. Kasur
yang telah menemanimu bertahun-tahun lamanya. Dia itulah wanita yang saat
kalian masih kanak-kanak, ayah dan ibu selalu berharap kalian menjaganya
layaknya seorang wanita. “cerita ibuku, panjang dengan kata-kata bijaknya.”
Okey Bu. Terima kasih. Salam buat keluarga semuanya, khususnya buat si kecil
Tania. “ucapku, mengakhiri percakapan di antara aku dan ibu.”
*****
“Denny. Denny.
Denny, bangun Den..” panggil temanku, Konrat. Ah, Konrat. “kau baru saja
menggangguku. Padahal aku baru kembali menemukan wanitaku, sejak malam tadi.
Kau tahu itu wanita yang selalu berkelebat dalam memoriku.”
“Den, hari ini hari Minggu. Dan kau baru bangun jam begini, mau jadi apa kau ini. Kau dipanggil,
Tuang* ke kamarnya. Siap-siap saja Denny, bisa jadi kau hari ini bagian dari
korban covid-19 di luar. Hanya bedanya
kau tidak mati dalam kenyataan sebuah hidup, tapi mati dalam sebuah jalan
impian. Hehehe.” Ucap, Konrat antara
menghibur dan menakut-nakutiku.
Wahai wanitaku,
dulu kau begitu romantis bagiku. Tapi tidak untuk sekarang. Kau biang keladi
dari semuanya ini. Kau menjadi tamu wajib setiap waktuku. Sedang dulu hanya
“ngompol” yang selalu menjadi tamu wajibku itu pun hanya terjadi saat malam
tiba. Dan tidak untuk setiap waktu. Siapa sih, dirimu ini?
Kau wanita yang
Ayahku selalu agung-agungkan. Bahkan kau telah berulangkali kupoles menjadi
wanita high class dengan kategori
kelulusan Suma Cum Laude. Tanpa ujian, kelulusan seperti yang sering terjadi
bagi mereka yang ingin memiliki SIM. Kau hanya selalu hadir tanpa melalui
pilihan. Namun, aku telah membuatku jadi problem atas seluruh tubuhku.
Sedang
pikiranku mencoba mencari alasan yang masuk akal sebagai bagian dari pembelaan
diri. Bagian lain dari pikiranku seolah menceramai wanita itu. Bagian lainnya,
masih akrab dengan kehangatan sensasi yang diberikannya.
Ah kau wanita,
siapakah sebenarnya dirimu?
Saat tanya itu,
menghantarku pada sebuah pilihan antara pulang dan untuk selamanya atau pulang
untuk membuat surat pengunduran diri. Yang kurasa, hidup itu terlalu singkat
bagi sebuah permohonan yang tidak lagi dimiliki oleh sebuah kemungkinan.
Sedang,
pintu di belakang pundakku, masih terbuka lebar antara jalan pulang ke rumah
tempat rindu untuk kembali dan pulang ke rumah tempat rindu untuk tetap menjaga
rumah dalam rindu.
Tuang,
sebelumnya saya minta maaf. Sebab, selama sepekan ini saya seperti berada dalam
zona di luar kendali diri saya sendiri. Bahkan saya, enggan untuk mengatakan
bahwa saya baik-baik saja sejak sepekan ini dan memiliki ingin untuk bergabung
dengan teman-teman.
Sebab, segala pikiran saya sedang dalam pergulatan dengan
sosok wanita yang saban hari begitu terasa, sekalipun hadir dalam mimpi, tetapi
tidak benar-benar hadir di dalamnya. Dia wanita. Namun bukan wanita layaknya
manusia.
Dia wanita, tapi dia seperti enggan menunjukkan siapa dirinya. Apakah,
ada kemungkinan lain yang bisa Tuang berikan kepada saya. Sekiranya bukan
pilihan tersebut. “Denny. Denny. Hari ini, hari Minggu. Dan menjadi minggu
ketiga dalam masa paskah pun Gereja sejagat merayakan minggu panggilan
sedunia.
Kau, kau merayakan panggilanmu dengan lelap begitu damai. Denny, kau
tahu wanita itu hanya ada dalam pikiranmu. Kalau begitu pulanglah ke kamar dan
renungkan siapa wanita itu?” Ah Tuang, terima kasih banyak. Sekali lagi terima
kasih. “Ucapku berkali-kali”
“Ibu. Ibu,
ingatkah sosok wanita yang kerap kali ayah dan ibu nasihati aku dan Kak Yuni
dulu saat kami masih kanak-kanak?” tanyaku kepada ibu, via telepon seluler.
“Iya Nak. Kenapa sih, kamu tanya tentang wanita itu?” Ah, ibu gara-gara dia
yang kembali hadir dalam mimpiku membuat semuanya jadi begini. (aku menceritakan semuanya tentang problem
diriku di atas kepada Ibu).
Dasar kau,
Kasur. Kau membuatku jadi gila. Gila atas diriku sendiri. Tak sadar dengan
kesadaran akan dirimu. Kau wanita yang membuatku begitu telanjang dalam lelap
dengan air-air liur yang jatuh satu per satu menetes basah di bantal.
Kau juga
yang membuatku jadi asing. Asing dengan jalanku yang membentang asa dan mimpi
seluas samudera selepas kapal berlayar tanpa mengenal ujung akhir dari
pelabuhannya. Kau, kau. Ah, pantaskah aku menyalahi dirimu?
Sudahlah semuanya
salahku. Dasar kau kasur. Kau layaknya wanita. Wanita yang menemuiku dalam
undangan waktu tanpa benar-benar menulis sebuah surat undangan yang baik dan
rapi. Kau hanya memenuhi keadaanmu layaknya sebuah ciptaan – karya termasyur
dari seorang manusia dan manusia itu sendiri pula yang lalai
menjagamu dalam kesadaran.
Dasar kau
kasur. Kau wanita yang menyelinap masuk. Membuatku lupa pada jadwal-jadwal yang
sudah tersusun rapi pada kaki, tangan, bibir, tubuh, dan yang paling penting
panggilanku. Apa mungkin karena aku pandai membuatmu jatuh cinta denganku? Atau
kau yang begitu pandai meladeniku untuk selalu bercinta denganmu? Semoga saja
sayang. Asal, kau siap jika aku ngompol
berulang-ulang kali.
Nita Pleat–
Ruang Kopi, Awal Mei 2020
Tentang penulis:
terima kasih kae pujangga beranda Bpk Pendiri.
ReplyDeleteSalam Semangat dan sukses selalu.
Amapu Benjer
Salam dari unit tetangga #rafanesia buat Penulis dan Admin yang penuh totalitas.
ReplyDelete