Fredy Sebho, SVD
…memanjat
tebing-tebing sunyi
mengurai hidup dari
langit
jejak-jejak yang
tertinggal
Hanya pada tebing-tebing sunyi, doa bisa disadari
sebagai peluapan segala sesuatu dari dalam diri ketika berhadapan dengan
kehidupan yang begitu perih dan intim,
yang sungguh-sungguh ringkih, yang betul-betul mendebarkan, yang terlampau
sayu, pun yang kelewatan kocak. Semuanya tertuju kepada Yang Segala Maha.
Doa
adalah “pemalingan” seseorang kepada Wujud lain yang kepadanya, ia secara batin
melapangkan hatinya, pun menegaskan imannya.
Doa, dengan demikian, merupakan
perkataan dari seorang “aku” kepada seorang “Engkau” dalam sebuah tunduk sujud,
penuh tawakal untuk mencari “yang belum sudah”, dan “mungkin tidak akan pernah
sudah”. Semuanya dalam sunyi!
Doa adalah satu-satunya perjalanan manusia menuju
pintu misteri. Dengan doa, orang berdiri begitu “dekat lekat” di hadapan suatu
wujud yang ia yakini, namun tidak bisa ia lihat, dan membuat dirinya sendiri
tampak bagi wujud itu. Kalau begitu, jika doa adalah respon terhadap sesuatu
yang teofani, maka pertama-tama dan
terpenting, doa adalah sebuah antropofani
juga, suatu pengungkapan manusia itu sendiri di hadapan wajud yang ia imani.
Sehubungan dengan ini, saya ingat kata-kata St. Thomas Aquinas: “Kita
selayaknya berdoa, bukan untuk memberitahu kepada Allah berbagai kebutuhan dan
keinginan kita, melainkan untuk mengingatkan diri kita bahwa dalam segala hal
kita terbatas, lalu meminta pertolongan Ilahi”
Doa bisa menggores batu-batu, meskipun dengan kalimat
sederhana. Tentu saja, sebuah kalimat yang tidak bisa dinilai benar atau salah.
Kata lain, doa bukan sebuah logos
apophantikos, sebuah pertanyaan, pemintaan, pengaduan dengan kalimat yang
bisa dinilai salah atau benar oleh siapapun yang mendengarnya, seperti halnya
dalam sebuah proposisi predikatif. Meskipun demikian, doa tetap masih memiliki
norma-norma ketepatannya sendiri, yang juga mengikutsertakan kebenaran,
termasuk kebenaran ala logos apophantikos
itu. Seorang anak kecil yang berdoa spontan penuh nuansa infantil, dengan gaya
bahasa polos sebagai anak kecil, tak bisa seenaknya dipersalahkan oleh
orangtuanya, ataupun siapa saja yang mendengarkan hanya karena kalimatnya tidak
sesuai dengan apa yang ada di kepala pendengar.
Dalam doa, orang merenung, pun mengurai hidupnya.
Dengan demikian, doa bisa lahir dari kerisauan eksistensiil, yang nampak dalam
keluh kesah panjang, yang mungkin terkesan cengeng, bercampur psimis. Bisa juga
sebagai sebuah kepasrahan religius dalam gumam doa-doa dari dalam kegetiran dan
harapan tersisa.
Doa menyimpan harapan dari ketakberdayaan, ketaksanggupan, dan
ketidaktahuan di puncak terjauh segala peristiwa. Dalam doa, terangkum juga
segenap niscaya fana, yang menyadarkan impian manusia pada sesuatu yang baka.
Sebetulnya, dalam doa, ada ketakziman penuh keberhikmatan jiwa-raga atas
penderitaan-penderitaan.
Doa bercampur iman acapkali menyimpan ketegangan
rangkap. Selalu saja bergemuruh antara “ekspresi yang meletup-letup” dan “sikap
diam yang menghening”. Antara hasrat “ingin dimengerti” Tuhan dan “rasa
takjub-takzim yang membelalak” di hadapan yang dipeluk teguh. Antara “rasa lega
dan putus asa” yang menghanyutkan, dan “rindu damba” yang penuh dengan segala
kemungkinan.
Ya, dalam doa, ada warna yang bermain, ada suara yang bergerak,
ada suhu yang meresap, ada desir perasaan yang menggelinjang. Ada semacam jerit
yang merdu. Di sana, di dalam doa sunyi itu, orang bisa cenderung menyusun gumam, menciptakan semacam
percakapan, malah pertengkaran. Makanya, doa bukan hanya sekedar jeritan
euforia dan narsisisme bahasa di sana.
Lalu bagaimana dengan mereka yang enggan
doa? Itu rahasia mereka! Yang pastinya, keengganan untuk barangkali bisa kita
tafsir sebagai bentuk “penerimaan dengan rasa sombong yang tersembunyi”.
Dalam doa, ada jejak-jejak yang tertinggal. Makanya,
sebuah doa mesti melibatkan “kesadaran sintagmatik”, sebuah kesadaran akan rasa
penasaran yang tak kunjung sudah akan ujung dari doanya. Justru dengan
kesadaran model ini, doa yang “mengasyikkan” biasanya memberi ruang bagi si
pendoa untuk menebak, menduga-duga akan jawaban doanya. Doa yang berjejak adalah doa yang “menembus
makna-makna linguistik yang disusun secara segar dan ada getaran yang
mengejutkan Tuhan”.
Manakala doa-doa terasa tak lagi ampuh untuk menjawabi
sebuah keluhan, maka satu-satunya yang tersisa adalah harapan akan datangnya
mukjizat. Ingat, mukjizat bisa tersembunyi dalam sikap diam yang menghening,
dalam amarah yang membelalak, juga dalam protes yang bergemuruh supaya dengan
itu, ketabahan yang total dapat terungkap sebagai iman.
Mukjizat, bukan melulu
sebagai yang miraculum, yang ajaib,
melainkan sebagai signum, tanda
kehadiran sesuatu yang lebih berkuasa. Dari sinilah kita bisa memahami iman
sebagai perasaan kebergantungan mutlak pada yang ilahi dan doa adalah
satu-satunya tanda kebergantungan itu.
Dalam doa, rahasia hidup tersimpan. Malah, iman dan
kerinduan pun tidak bisa dianggap sepele. Doa mesti melibatkan iman dan iman
harus dibungkus juga oleh kerinduan. Iman tiba-tiba menjadi tidak aman manakala
berbenturan dengan keadaan yang tidak nyaman. Iman bisa menghanyutkan
keyakinan. Sebab, ia penuh dengan segala macam kemungkinan yang bisa
mendatangkan keterkejutan.
Memiliki iman dalam “keadaan tidak nyaman”
barangkali bisa dimengerti sebagai cara mempercayai sesuatu meskipun tahu bahwa
tak ada alasan yang kuat untuk mempercayainya. Di sinilah, iman dilihat sebagai
passion¸ sejenis kerinduan kepada
“yang tak ada di sini”. Iman adalah sejenis ketakjuban terus menerus, sebagai
yang “tak selesai sampai di sini”.
Selamat mendaki tebing-tebing sunyimu dalam
doa ##
No comments:
Post a Comment