AIR MATA KEMARAU
DEBU jalanan yang pekat menyesakkan hidung. Beberapa truk pengangkut tanah mengepulkan debu itu, menggelapkan pandangan. Ini seperti akrab denganku seminggu belakangan.
“Teman-teman, ayo ke belakang kelas, deru mesin truk-truk itu mendekat!” Itu suara Lius. Suara itu hampir rutin kudengar seminggu belakangan tepat setelah lonceng waktu istirahat di sekolahku berbunyi. Kemudian, kami akan berhamburan ke belakang kelas, berusaha melihat dari dekat bagaimana mesin truk-truk itu bekerja, memikul tanah yang sedemikian banyak.
“Truk-truk ini dari Kole. Di sana ada proyek pembangunan embung. Banyak orang bekerja. Tidak ada orang kita. Semua orang asing. Saya dan Lius sering nonton mereka bekerja.” Gera, sepupuku bercerita sekali waktu.
“No, jangan boros air.” Aku sampai menghafal bagaimana mama menasihati aku setiap kali aku ingin mandi. “Jika air benar-benar habis, kita akan menjadi seperti pohon-pohon Ansono di depan rumah. Kurus dan kering.” Mama menakut-nakuti aku pagi tadi. Air saat kemarau seperti ini menjadi sesuatu yang begitu langka bagi masyarakat. “Lima-lima jerigen.”
Tulisan ini kubaca di bak penampung air kemarin sore sewaktu mengantre air. “Ini aturan desa.” Aku mendengar sesuara bersumber dari ibu-ibu yang sedang cari kutu. Lima jerigen itu untuk kebutuhan di dapur dan di kamar belakang. Kebutuhan yang lain cari sendiri. Aktivitas-aktivitas seperti tanam sayur, cetak batu-bata atau meminumkan ternak hampir tak lagi kulihat. “Sudah kutinggalkan bedeng-bedeng sayur di samping rumahku.” Aku mendengar suara itu sesaat sebelum mendorong gerobak bermuat air lima jerigen meninggalkan keramaian di bak penampung itu.***
Panas terik memang berlangsung terlalu lama. Pohon-pohon meranggas.
Seekor burung tekukur muda jatuh dari pohon kapuk yang sudah kehilangan banyak daunnya. Batu yang dilepaskan dari katapel Lius menghujam tepat di kepalanya. Paruhnya mengeluarkan darah. Burung yang mirip merpati itu mati seketika. Lius memang pandai menembak burung. Tekukur ini menjadi korban kesekian dari kejituannya. Ia bahkan kuanggap berhasil memadukan isi otak, ketenangan, dan kelenturan tangannya sehingga seperti seorang Sniper dalam sekali tembakan, sasarannya mati. “Kita langsung bakar tekukur ini sesampai di kebun.” Datar Lius berkata kepadaku. “Ayolah, kalian lama sekali.” Gera mendesak.
Kami sudah berpuluh-puluh langkah meninggalkan kampung. Sinar matahari bak jarum membara menusuk ubun-ubun. Panas! Di antara bunyi langkah kaki kami yang tak seirama, samar-samar kudengar berisik. Suara berisik itu semakin keras setiap aku melangkah. “Itu bunyi mesin alat-alat berat. Orang kerja proyek pembangunan embung.” Gera bertutur.***
“Gera?” Suara Nona Barek mengagetkan Aku dan Lius. Aku sudah menduga pertanyaan itu akan keluar dari mulutmya. Ia adik perempuan bapakku dan ibu dari Lius dan Gera. Tangannya menggenggam sedikit kelor. Ia memasak untuk para pekerja gemohing di kebun ini.
“Gera di tempat proyek. Ia masih nonton orang kerja proyek, Nona.” Aku menjawab pelan. “Tak salah dugaanku. Anak itu kecanduan Proyek.” Nona Barek menimpaliku. “Lius, biarlah No yang mengurus tekukur ini. Ke proyek itu, ajak adikmu pulang! Ia asma. Debu proyek itu berbahaya.”
Nona Barek memaksa anak sulungnya itu bergegas. Kata-katanya mengalir dari mulutnya yang tiba-tiba memucat. Ia cemas!***
“EMBUNG yang sedang dibangun ini akan membawa berkah bagi masyarakat desa. Yeah kira-kira setahun dari sekarang, kita bakal kecukupan air.” Dadi koda sangat futuristik. “Saya dengar orang-orang di kampung omong nyeleneh begini ‘tanah itu kan lahan tidur. Biarkan proyek ini membangunkannya.’ Terdengar sangat alamiah memang.”
Totu Tana mulai berbicara. “Pikiran seperti ini telah membuat masyarakat kita menghargai tanah sebagai tanah, bukan sebagai sesuatu yang melampaui itu. Tak heran, banyak orang kita merantau bahkan menjual tanahnya.
Tanah adalah Ema Tana Ekan.” Ia melanjutkan. “Itu budaya kita. Tanah adalah perempuan yang mampu menyemai, melahirkan, dan menumbuhkembangkan kehidupan.
Tanah tempat pembangunan embung ini bukanlah perempuan yang sedang tidur. Perempuan itu ada, aktif, ia hidup. Pikiran kitalah yang sedang tidur. Proyek ini hadir ketika kita kesusahan air. Ia adalah alasan paling masuk akal untuk membangunkan pikiran kita.
Nanti, perempuan itu akan membantu dan melayani pikiran kita. Orang bisa mewujudkan pikirannya tanam sayur, cetak batu-bata, meminumkan ternak karena ada air…,”
“Lagian, proyek ini kan gratis dari Ata Bele.” Dadi Koda memotong. “Saya pikir itu bukan alasan masyarakat menerima dan mendukung proyek ini. Dana pembangunan embung ini adalah uang rakyat, uang kita. Toh, sudah seharusnya demikian. Ata Bele kita pilih untuk urus itu.” Lagi mantan Kades dua periode itu kritis. Pada masa jayanya, hadir banyak pembangunan di kampung.
“Semenisasi jalan di kampung ini terjadi masa kepemimpinan Totu Tana.” Bapak sekali waktu bercerita kepadaku. “Embung ini akan mengalirkan air ke kampung, yang lain ke kebun-kebun di sini. Saya bahkan tak perlu mengeluarkan uang untuk beli pupuk. Air adalah pupuk yang paling baik. Alamiah. Toh selama ini, padi dan kacang hijauku tak baik berkembang karena kekurangan air.”
Yawa, anak Totu Tana nimbrung penuh optimis. “Saya malah ragu proyek ini akan berhasil. Ada kesan orang-orang kita main-main dengan ‘perempuan, itu. Seminggu sudah proyek ini berlangsung, tapi masyarakat belum memperoleh sosialisasi. Bahkan, saya yang hampir seharian ada di sini, tak pernah sekalipun nampak orang-orang proyek itu jauh-jauh hari datang meninjau Kole.
Ini hidup. Jangan main-main dengan kehidupan. Saya kok cemas kalau-kalau proyek ini tidak mendatangkan air susu, malah air mata dari ‘perempuan’ itu. ” Totu Tana terdengar pesimis.
“Bapa, mama, tidak datang, No?” Ia bertanya kepadaku. “Akhh, tadi saat ke sini, bapa mama belum pulang kerja. Di kantor kecamatan. Hari kamis biasanya ada sidang.” Aku menjawab sekenanya.
Totu Tana kemudian menyodorkanku beberapa buah bengkoang yang kurus. “Yeah, kita hanya bisa mendukung proyek ini sambil berharap cita-cita untuk memperoleh air yang cukup tercapai.” Dadi Koda berkata kalem.
Kulihat Totu Tana mengerutkan dahinya. Rautnya meragu. “No,” Aku kaget mendengar namaku dipanggil. “Nonton orang kerja proyek,” Lius mengajak. “Nona Izin? Gera?” Aku bertanya memeriksa. “Ayo cepat. Mama mengizinkan kita, hanya dari jauh. Gera di pondok. Tunggu engkau.” Lius mendesak.
Sampai Aku dan Lius berlari ke pondok, Dadi Koda, Totu Tana, dan Yawa masih berjuang membersihkan rumput sepetak panjang. Di Barat, matahari seperti menuruni bukit. Senja menjelang.***
Sepekan bekerja, lembah yang dahulu dipenuhi pepohonan dan menjadi tempat bermukim hewan-hewan liar itu kini menjelma sebuah lubang raksasa. “Bapa tak akan lagi mengajak saya menjerat burung di sini.” Kata Lius mencoba melawan suara berisik dari tempat proyek. Aku diam. Gera juga.
Di dalam lubang itu, dua buah excavator bergantian menggeruk tanah sebelum dengan tangan-tangan besinya memindahkannya ke sekeliling bibir lubang, yang lain ke bak-bak truk yang sudah rapi berbaris. Lubang itu natural dikelilingi bebukitan gersang.
Bebukitan itu bak tribun-tribun stadion sepak bola. Di tribun Timur ujung kebun, membelakangi senja, kami saksikan orang-orang proyek itu bekerja. “Yang berpakaian rapi itu namanya mandor. Orang-orang memanggilnya seperti itu.”Dengan telunjuknya, Gera menjelaskan.
“Waktunya kambing-kambing makan. Saya cari lamtoro dulu. Bapa tak datang.” Lius berlalu. Dadi Ile, demikian aku memanggil ayah mereka, biasanya jika anak sulungnya itu tak ke sini, akan menyempatkan waktu sepulang dari perusahaan seorang diri memberi makan kambing-kambingnya. Ia sudah lama bekerja di perusahaan Mutiara yang dikendalikan orang kulit putih itu. Namun, kepada nenek, nona Barek pernah bercurhat soal keinginan suaminya meninggalkan perusahaan itu.
“Jika embung itu jadi, Ile keluar dari perusahaan. Di sana, gajinya baik, tapi urus kebun dulu.” Demikian curhat itu kudengar saat bersama Lius membuat katapel tiga hari lalu.
Kami kembali ke kampung ketika malam menjelang. Melewati lokasi proyek. Sepi. Mereka tak bekerja malam hari. ***
Embung di Kole itu sekarang mubazir. Aku menerima kabar ini ketika sedang mempersiapkan diri mengikuti ujian semester di salah satu SMA di Larantuka. Aku tak begitu terkejut. Embung itu hanya berfungsi tahun pertama.
“Air yang tertampung tahun lalu tak seberapa banyak. Tahun ini, embung benar-benar kering. Pipa-pipa plastik berukuran jumbo yang memanjang dari Kole ke kampung perlahan habis dicuri orang. Dinding bak-bak penampung telah dipenuhi coretan.” Demikian bapak bercerita via telepon.
“Pipa-pipa yang mengalirkan air dari mata air ke kampung sudah tua. Sering patah. Yang mengurus air di desa, bekerja Senin, Kamis. Mana rela mereka yang tak dapat apa-apa masuk hutan, mencari tempat pipa patah itu. Kita masih kesusahan air.” Bapak menutup. ***
AKU kembali ke Kole tadi sore. Bersama Gera. Ia putus sekolah, drop out dari SMA beberapa tahun lalu. “Bapa memutuskan keluar dari perusahaan untuk mengurus kebun ini segera setelah diremiskannya embung.
Rupanya bapa salah besar. Memang pada awal-awal, bapa menanam sayur dan mencetak batu-bata. Air dialirkannya dari embung. Hasilnya lumayan. Bapa bahkan sampai menjual sayur ke pasar Waiwerang. Batu-bata dipakainya merenovasi kamar kecil di belakang rumah itu.
NAMUN, perlahan-lahan, debit air berkurang. Sampai akhirnya embung ini benar-benar kering beberapa tahun terakhir. Sekarang, Bapa tofa rumput di kebun ini. Sedang, setelah menikah tahun lalu, Lius hidup bahagia. Ia bekerja di perusahaan. Aku terpaksa putus sekolah. Urus dua ekor ini.” Gera bercerita sambil membersihkan kandang kambingnya. ***
Kini, aku di balai desa. Kades memintaku hadir mewakili mahasiswa yang libur. Ia berpapasan denganku di bak penampung sepulangku dari Kole. “No, malam ada pertemuan di balai desa. Hadir yeah.” Kata-katanya kudengar jelas di tengah keramaian warga mengantre air.
“Desa kita mendapat bantuan pengadaan pipa. Kita ganti pipa-pipa yang sudah tidak layak pakai.” Kata-kata kades mengalir. Hadirin mengangguk, tersenyum berbisik-bisik. Mataku menangkap sesosok yang tetap diam. Ia familiar. Totu Tana terpaku. Aku tahu, ia ragu.
|
Ivanno Collyn, penyuka sastra. Tinggal di Nita Pleat.
|
Keterangan:
Kole berada di desa Oyang Barang, Kecamatan Wotan Ulumado, Kabupaten Flotim. Pada tahun 2009, ada proyek pembangunan embung di sana. Hanya berfungsi pada tahun pertama setelah pembanguan, lokasi itu kini mubazir. Tak ada restorasi sejauh ini. Satu lagi, di laut Oyang Barang berdiri sebuah perusahaan Mutiara. Saya kemudian menerjemahkan fakta ini ke dalam karya fiksional yang sudah hadir di hadapan pembaca.
Beberapa kata/sebutan dalam bahasa Lamaholot:
Gemohing: Sekelompok orang bekerja bersama-sama, bergiliran dari satu kebun ke kebun yang lain,
Totu: Sapaan untuk orang tua sesuku,
Ema Tana Ekan: Ibu bumi. Kerap disandingkan dengan Bapa Lera Wulan: Bapa di tempat yang tinggi. Masyarakat Lamaholot menggunakan Bapa Lera Wulan Ema Tana Ekan sebagai sebutan penghormatan kepada Wujud Tertinggi yang menganugerahkan kehidupan melalui tanah/bumi, dan
Ata Bele: sebutan untuk pemimpin (Tuan tanah, pemerintah).
Niceplace, 11 Juni 2020
No comments:
Post a Comment