LUKU
Luapan Kasih Untukmu Semua
Fr.
Edo Putra, SVD
Sedang menjalankan OTP di Congo RD,
Afrika Tengah
WAKTU memang tidak pernah bisa diajak untuk berkompromi. Ia tidak pernah bisa diajak
untuk berhenti walau hanya sedetik. Ia berputar begitu cepat dan bahkan sering
membuat kita lupa akan pergantian hari, bulan dan juga tahun.
Tak terasa, sudah hampir 5 bulan
(terhitung dari 27 September 2019 – 27 Januari 2020) saya bersama teman misi
saya Rolis Huar berada di Congo. Tidak seperti teman-teman angkatan lain (yang
menjalankan praktek pastoral (TOP) di Indonesia) yang sudah merasakan
suka-dukanya bekerja di paroki, kami masih harus berkutat dengan bahasa Perancis
yang cukup membuat kepala pening.
Belajar
bahasa Prancis memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada begitu
banyak kaidah yang harus kita pelajari agar bisa berbicara dan juga menulis
dengan baik. Butuh waktu yang tidak sedikit untuk bisa menguasai semuanya
dengan baik. Walau begitu, kami tidak ingin menyerah.
Kami mengerahkan seluruh
kemampuan kami untuk bisa mempelajarinya dengan baik, kendatipun kami tidak akan
pernah bisa sampai pada titik yang sempurna. Dalam arti bisa berbicara dengan
sangat baik seperti orang-orang Frankofon pada umumnya. Target kami adalah bisa
berbicara dan memahami hal yang dibicarakan oleh orang lain.
Kami bersyukur
bahwa hingga pada saat ini, kami sudah mulai berbicara dan mulai sedikit demi
sedikit memahami apa yang dibicarakan oleh lawan bicara atau orang-orang di
sekitar kami.
Walau
tidak seperti teman-teman angkatan lainnya yang sudah memiliki cukup banyak
pengalaman tentang kehidupan di paroki, kami juga memiliki suatu pengalaman
yang cukup menarik tentang kehidupan di paroki.
Pengalaman itu kami alami
sepanjang liburan Natal pada tahun 2019 lalu di paroki Tumikia. Pengalaman ini
memang sangat sederhana, namun memberi banyak pelajaran yang sangat berharga
bagi kehidupan kami.
Selain karena ini adalah pengalaman pertama kami
berkunjung ke paroki di luar negri, pengalaman ini juga memberi gambaran awal
tentang tempat dan suasana yang akan kami alami di paroki di mana kami
menjalankan orientasi misi nanti. Oleh karena itu, tentu sangat penting bagi
saya untuk mengisahkannya dan mengabadikannya dalam tulisan sederhana ini.
PAROKI TUMIKIA adalah sebuah paroki yang terletak di sebuah kampung yang juga bernama
Tumikia, sebuah kampung kecil dan terpencil, berjarak ratusan kilometer dari
kota Kinshasa. Paroki ini dipimpin oleh seorang Pastor SVD asal Indonesia yaitu
Pater Martin Hadun, SVD. Beliau sudah belasan tahun bekerja sebagai misionaris
di Congo.
Di paroki ini, beliau ditemani oleh seorang Konfrater asal Vietnam,
Fr. Pitello, SVD yang juga sedang menjalankan OTP di Congo.
Saat
pertama kali tiba di Paroki Tumikia pada hari Sabtu, 22 Desember 2019, kami
disambut oleh Fr. Pitello. Dengan senyum penuh kegembiraan dia menyambut kami
di depan pintu gerbang rumah Paroki. “Bienvenue
a Tumikia mes chers frères”.
Pada waktu itu, Pater Martin sedang tidak
berada di tempat. Ia sedang mengadakan kunjungan ke salah satu stasi untuk
merayakan perayaan Ekaristi. Kami baru bertemu dengan beliau pada malam harinya, sekaligus makan malam bersama sebagai bentuk penyambutan sederhana terhadap
kehadiran kami.
Keesokan
harinya, Minggu, 23 Desember 2019, kami diperkenalkan di hadapan umat paroki
Tumikia. Dengan menggunakan bahasa Kikongo,
Pater Martino memperkenalkan nama dan asal kami sekaligus tujuan kedatangan
kami ke paroki.
Saya sangat senang karena umat nampaknya menerima kehadiran
kami di paroki ini. Hal itu terlihat dari senyum dan sorakan yang mereka
tunjukkan saat pater Martin memperkenalkan kami. Setelah misa mereka pun
menunggu kami di luar Gereja untuk memberikan salam.
Beberapa orang muda
langsung mengajak kami untuk bermain bola voli. Sore harinya, kami pun bermain bola
voli bersama. Saya yang tidak tahu bermain voli pun ikut bermain. Yah, yang
terpenting adalah kebersamaan dengan umat. Dengan itu juga, saya bisa
mengenal mereka.
Pada
hari senin, 24 Desember 2019, untuk pertama kalinya kami merayakan perayaan Malam
Natal di Congo dan ini terjadi bukannya di kota Kinshasa tetapi di sebuah
paroki yang jauh dan terpencil, Tumikia. Untuk pertama kalinya juga saya tidak
menelpon dan juga mengirim ucapan selamat Natal untuk semua keluarga, sahabat
dan kenalan sebab di sini tidak sinyal.
Demikian juga listrik. Yang ada hanya
generator dan itu pun digunakan hanya pada saat perayaan-perayaan besar, termasuk perayaan Malam Natal.
Perayaan
Malam Natal di paroki ini berlangsung dengan sangat meriah. Umat menyanyi
dengan penuh semangat. Sejatinya, tanpa alasan karena merayakan perayaan malam
Natal pun, perayaan liturgi di Congo selalu meriah. Umat
menyanyikan lagu-lagu sambil bergoyang.
Untuk kita yang tidak terbiasa dengan
hal seperti ini, pasti merasa sangat aneh. Demikian pun yang saya rasakan saat
pertama kali mengikuti perayaan Ekaristi di sini. Namun, lama-kelamaan saya pun
merasa terbiasa. Sebab bagaimana pun, kita tentunya harus menerima apa yang
sudah menjadi kebiasaan mereka dalam berdoa dan merayakan Ekaristi.
|
Fr. Edo Putra, SVD berpose bersama para pengurus Stasi Kimputu, Paroki Tumikia |
Pada
hari Selasa, 25 Desember 2019, pater Martin mengajak kami untuk merayakan
Ekaristi di stasi Kimputu, salah satu stasi dari paroki Tumikia yang terletak
cukup jauh dari pusat paroki. Karena pater Martin masih harus merayakan
Ekaristi di pusat paroki, kami pun berangkat lebih dahulu ke stasi Kimputu.
Kami pergi dengan menggunakan sepeda motor yang dikendarai oleh bapak Andre,
seorang pegawai sekretariat paroki. Satu motor bertiga. Ini memang sangat sulit
apalagi dengan kondisi jalan yang buruk. Tetapi mau bagaimana lagi. Hanya ini
satu-satunya motor yang ada di paroki.
Ketika masuk ke salah satu stasi
yang cukup dekat dengan pusat paroki, sepeda motor yang kami gunakan mogok dan
sialnya, bapak Andre lupa membawa kunci-kunci motor itu. Akhirnya, ia pun
meminta bantuan kepada salah seorang (yang juga mengendarai sepeda motor) yang
kebetulan lewat di depan kami untuk mengantar dia kembali ke paroki dan
mengambil kunci-kunci motor.
Saat
dia pergi, hujan mulai turun. Kami pun berteduh di salah satu rumah umat di
situ. Pemilik rumah mencoba mengajak kami berbicara dalam bahasa Kikongo. Namun sialnya, kami tidak bisa
mengerti sedikit pun karena kami memang belum mempelajarinya.
Saya pun mencoba
untuk mengajaknya untuk berbicara dalam bahasa Prancis tetapi sialnya, dia
juga tidak bisa berbicara bahasa Prancis. Pada akhirnya kami hanya duduk dalam
diam sambil menyaksikan hujan yang tentu saja berbicara dengan bahasanya
sendiri.
Saat
hujan mulai reda, bapak Andre pun tiba dengan membawa kunci-kunci motor. Dengan
cepat dia memperbaiki kerusakan yang ada pada motor. Setelah selesai diperbaiki,
motor pun bisa dihidupkan kembali. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Sepanjang
perjalanan, beberapa kali kami hampir terjatuh karena jalan yang buruk dan juga
sangat licin. Namun, karena kelincahan bapak Andre dalam mengendarai sepeda
motor, kami tidak sampai terjatuh. Setiap kali memasuki jalan yang sangat
buruk, ia selalu meyakinkan kami untuk tidak takut. “N’ayez pas peur! Nous n’allons pas tomber. Le Seigneur est avec nous,”
katanya dengan penuh keyakinan.
Ketika
mulai memasuki stasi Kimputu, anak-anak menyambut kami dengan teriakan, Yaya! Mundele! Chinois! Mereka
kelihatan begitu bahagia dengan kehadiran kami. Saat kami turun dari motor,
mereka pun langsung mendekati kami dan memberi salam. Kemudian mereka menuntun
kami menuju kapela stasi untuk menyiapkan segala sesuatu berkaitan dengan
perayaan Ekaristi.
Selang beberapa menit kemudian, setelah kami mempersiapkan
semua perlengkapan perayaan Ekaristi, pater Martin pun tiba. Semua umat pun
langsung masuk ke dalam kapela untuk memulai perayaan Ekaristi.
|
Anak-anak, dengan hangatnya menyapa Fr. Edo Putra, SVD. |
"Satu
hal yang membuat saya sangat terharu dalam perayaan Ekaristi ini adalah pada
saat pemberian kolekte. Tidak seperti di tempat-tempat lain di mana umat
memberikan uang untuk kolekte, di stasi Kimputu ini, umat memberikan
hasil-hasil bumi seperti ubi kayu, kacang tanah, jagung dan juga sayur sebagai
kolekte.
Mereka memang tidak mempunyai uang dan karena itu mereka menyerahkan
hasil bumi yang merupakan hasil dari kerja keras mereka sebagai sumbangan untuk
Gereja. Dalam kekurangan, mereka masih mempunyai hati yang tulus untuk memberi".
Setelah
selesai misa, ketua dewan stasi bersama beberapa ketua KBG mengundang kami
untuk makan siang bersama. Kami dijamu dengan makanan khas orang Congo, yaitu Luku dengan lauk ulat kayu yang mereka
buat dalam bentuk santan, bersama satu jeriken Nsamba sebagai minumannya.
Awalnya saya merasa kaget dengan sajian
makanan seperti ini. Kita yang baru pertama kali menyantap makanan seperti ini,
pasti akan merasa sangat aneh dengan rasanya. Demikian juga yang saya rasakan
pada saat itu.
Namun, satu hal yang membuat saya sangat semangat untuk menyantap
hidangan sederhana ini adalah kebersamaan kami dalam menyantapnya. Mereka
menempatkan sebuah Luku yang cukup
besar di tengah meja berserta lauk di sampingya, lalu kami menyantapnya
bersama-sama dengan menggunakan tangan. Luku
inilah yang menyatukan kami dalam ikatan persaudaraan dan kekeluargaan.
Pengalaman
menyantap Luku di stasi ini kemudian
menumbuhkan kecintaan saya terhadap Luku.
Ketika sudah kembali ke komunitas CFC Kinshasa, komunitas di mana kami tinggal
selama ini, saya pun mulai membiasakan diri dengan memakan Luku. Saya sudah tidak merasa asing lagi dengan rasanya.
Setiap
kali memakan Luku, saya selalu
teringat akan kebersamaan bersama umat di stasi Kimputu. Kebersamaan yang
dirajut oleh benang tunggal yaitu Luku.
Luku mengajarkan saya tentang
pentingnya kebersamaan. Darinya juga saya belajar tentang pentingnya mencintai
kekhasan dari suatu tempat yang baru kita kunjungi, termasuk makanannya. Sebab
dengan itu, kita akan dengan mudah membangun relasi dan merajut kebersamaan
dengan orang lain.
Luku membuat saya
semakin mencintai Congo, tempat saya bermisi selama dua tahun ke depan, dengan
segala kekhasan dan keunikan yang ada di dalamnya, dan tentu saja termasuk Luku itu sendiri.
NB:
Bienvenue a Tumikia mes cheres frères: Ungkapan dalam bahasa Perancis yang berarti: “Selamat datang di Tumikia saudara-saudaraku yang terkasih”.
Bahasa Kikongo: Salah satu bahasa Nasional yang dipakai oleh masyarakat di wilayah Congo khususnya di wilayah bagian Utara.
N’ayez pas peur! Nous n’allons pas tomber! Le Seigneur est avec nous! : Ungkapan dalam bahasa Perancis yang berarti: “Jangan takut! Kita tidak akan jatuh! Tuhan berserta kita!”
Luku: Makanan khas dari orang-orang Congo yang terbuat dari tepung ubi.
Nsamba: Minuman khas dari orang-orang Congo yang diproduksi dari pohon lontar. Kita di Flores biasanya menyebutnya dengan nama tuak putih.
Yaya: Panggilan untuk pater Martino.
Mundele: Sebuah kata dalam bahasa Kikongo yang berarti orang berkulit putih. Orang-orang Congo biasa menggunakan kata ini untuk memanggil seorang yang berkulit putih.
Chinois: Sebuah kata dalam bahasa Prancis yang berarti orang China.
Fr. Edo tetap semangat, terharu menyimak shring di tanah misi. Tetap melangkah ase, Tuhan selalu bersmamu dlm misi2 sucimu.
ReplyDeleteSemangat kae✊✊
ReplyDeleteTahun orientasi yg penuh tantangan sekaligus meneguhkan jalan panggilan menuju imamat suci...semangat Frater....
ReplyDelete