TUHAN DAN SAINS:
REKONSTRUKSI ATAS PANDEMI COVID-19
Tragedi
pandemi yang berkepanjangan ini seakan terus menggerogoti kehidupan manusia
yang nyaris mati sebelum meninggal. Segelintir manusia terjebak dalam nuansa
resah penuh tanya tentang penyebaran virus SARS-COV-02 yang enggan lenyap dari
muka bumi ini. Penderitaan anak-anak manusia tak kunjung henti. Jumlah pasien
terkonfirmasi kian meningkat bersamaan dengan jumlah korban yang meninggal.
Semua
manusia seakan terus bertanya tentang keberadaan virus ini. “Jalanku
menuju kebenaran adalah dengan bertanya,” ungkap Socrates (Sahrul Mauludi, 2016: 101).
Bertanya adalah pintu
menuju segudang pengetahuan yang masih tersimpan rapi dalam keberadaanya
sendiri.
Manusia sebagai makhluk penanya pun tak surut memadamkan berbagai
sorotan pertanyaan yang memerlukan sebuah jawaban pasti tentang tragedi
pandemi.
Berbagai sikap antusiasme
datang dari semua agama untuk menyatukan doa dan simpuh kepada Tuhan yang satu
dan sama. Bagi orang-orang
beriman, kata “Tuhan” diidentifikasikan sebagai seorang tokoh
yang akan memulihkan dunia. “Tuhan” senantiasa menjadi figur yang dicari.
Semuanya
pun masih bertanya seraya menanti jawaban Tuhan yang justru tak kunjung tiba. Lantas, di manakah eksistensi Tuhan yang dipercaya
itu? Benarkah Ia sungguh telah mati juga seperti yang diyakini Nietzsche kala
mengalami trauma Autscwitzh waktu itu?
Tak
dapat dimungkiri, berbagai pandangan pun datang dari segelintir orang yang
mengandalkan Sains sebagai “Tuhan” yang akan menyelamatkan muka bumi ini. Keyakinan akan kemajuan yang paling dahsyat di abad inilah yang akan menjawabi
teriakan ibu bumi.
Lalu, melihat realitas penambahan jumlah terkonfirmasi ini, mampukah
sains dalam kemajuannya berhasil mencetus penemuan vaksin yang tepat untuk
dapat memutus mata rantai penyebaran virus ini?
Dalam berbagai ideologi yang
berbeda tentang eksistensi Tuhan dan kemajuan Sains ini, manusia masih terus
bertanya dan memperdebatkan, siapakah yang akan menjadi sang penyelamat dalam kiamat tahun 2020 ini?
Teosentris berasal dar bahasa Yunani, theos,
yang memiliki arti Tuhan, dan bahasa Inggris, center, yang berarti
pusat. Pada konteks ini, teosentris mengacu pada pandangan bahwa sistem
keyakinan dan nilai terkait Ketuhanan secara moralitas lebih tinggi
dibandingkan sistem lainnya.
Teosentris adalah sebuah
pemikiran dimana semua proses dalam kehidupan di muka bumi ini akan
kembali kepada Tuhan. Dalam sejarah filsafat abad pertengahan berkisar abad
ke-10 hingga ke-15 (puncaknya abad ke-13), Allah menjadi pusat perhatian dalam
hubungannya dengan manusia dan alam.
Manusia seakan tunduk pada pandangannya
sendiri yang mereduksi Tuhan sebagai tokoh penyelamat manusia dari segala
persoalan hidupnya. Tuhanlah yang memungkinkan segala sesuatu terjadi pada
manusia.
Para ilmuwan pada masa ini hampir semuanya
adalah teolog sehingga aktivitas ilmiah berkaitan dengan aktivitas keagamaan.
Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancilla theologia atau
abdi agama.
Agama menjadi
pula sebuah kekuasaan tertinggi yang mesti manusia tuju. Tuhanlah figur yang
disembah dalam segala bentuk keberadaan manusia. Religiositas diangkat dan
diyakini sebagai puncak tertinggi kehidupan yang darinya, manusia hidup dan
bertumbuh.
Dalam
peredaran waktu, terjadilah sebuah perubahan paradigma atau peralihan masa dari
teosentris kepada antroposentris (manusia sebagai pusat). Dalam abad ke-17
inilah pengaruh modernitas mulai bertumbuh dengan satu masa yang disebut masa
pencerahan atau aufklarung dengan
semboyan Sapere aude! (Beranilah memakai nalarmu!).
Immanuel Kant
mendefinisikan, “Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang
disebabkannya sendiri” (Franz Magnis Suseno, 2006: 51-52).
Pada abad ke-19,
dapat dianggap sebagai abad di mana semua kepercayaan dan harapan masa
pencerahan mencapai puncaknya.
Ada
dua keyakinan yang khas bagi semangat intelektual “progresif” yaitu Kepercayaan akan kemajuan dan
kepercayaan bahwa umat manusia akan maju karena kemajuan ilmu pengetahuan (Franz Magnis Suseno, 2006: 55).
Kemajuan
ini menyangkut kepercayaan akan keagamaan menuju kepercayaan akan ilmu
pengetahuan. Kemajuan manusia bukan hanya tergantung pada kekuatan religius, melainkan
pada kekuatan dalam diri manusia sendiri hingga mampu menciptakan pelbagai
kemajuan ilmu pengetahuan atau sains.
Inilah
puncak kejayaan sains dalam menaklukkan seluruh keberadaan hidup dan pandangan
manusia. Ilmu pengetahuan direduksi sebagai pemegang kendali dan pemberi
jawaban atas seluruh kebutuhan manusia.
Kebanggaan inilah yang menghantar
manusia seakan bertekuk di hadapan teknologi sebagai “Tuhan” yang akan
memecahkan berbagai persoalan hidupnya.
Konsep Tuhan dan Sains di Tengah Pandemi
Realitas
pandemi covid-19 masih bergulir. Tidak ada yang tahu pasti tentang waktu yang tepat keberadaan
virus ini hilang dari muka bumi. Banyak institusi dan lembaga penelitian dapat
memperkirakan waktu itu, tetapi tak satu orang pun mengetahui kebenarannya. Mungkinkah, Tuhan yang tahu?
Jawaban pertanyaan ini tentu diyakini oleh
orang-orang yang mengimani Tuhan itu. Jika Tuhanlah yang mengetahuinya, apakah
Ia sendiri yang mengingini penderitaan ini? Tuhan tak pernah mengingininya, tetapi manusialah yang menciptakannya atas kehendaknya pula.
Jika
kita menoreh sejarah kehadiran virus ini, mampukah kita mengakui bahwa tindakan
manusialah yang kerap ceroboh, yang ingin menjadi “pencipta” tetapi lupa akan eksistensinya yang juga adalah makhluk
ciptaan?
Ini pun menjadi jelas bahwa manusia dan kecanggihan yang diciptakan
masih berada pula dalam ruang keterbatasan. Tuhan yang “transenden dan tak terbatas”, tidak dapat pula hadir secara nyata
dalam menyelamatkan manusia. Jika Ia datang, keberadaannya pun dapat
dipertanyakan.
Kata
“Tuhan” adalah melampaui segalanya artinya tak dapat dijangkau. Hemat penulis,
Tuhan telah campur tangan untuk
menyelamatkan manusia seperti daya pikir atau nalar yang dihadiahkan kepada
manusia. Daya pikir inilah yang mengangkat manusia menjadi seorang pencipta/creator. Ini pun terealisasi dalam
kemajuan ilmu pengetahuan di abad ini.
Tuhan
dan sains memanglah berbeda dalam pengertiannya sebab Tuhan mengarah pada
hubungan persona dan sains merupakan studi ilmu. Namun, hal yang paling
hakiki tampak jelas bahwa Tuhan dan Sains tak dapat diceraikan begitu saja
sebab Tuhan yang transenden itu merealisasikan kemahakuasaannya dalam daya
pikir manusia untuk menggunakan kemajuan sains saat ini.
Tuhan masih sedang
berkarya lewat pelbagai racikan pengetahuan dalam ilmu, tetapi bukan berarti
Dia masih diam.
Tentang
penderitaan, Magnis Suseno berasumsi secara sederhana: tanpa penderitaan, tidak
ada tanggungjawab-pengurbanan-kesetiaan-solidaritas. Untuk itu, kita diajak
pula untuk melihat nilai bonum yang
mesti diakui dalam pandemi ini.
Tuhan sedang menolong manusia melalui
kecanggihan ilmu pengetahuan itu. Waktu untuk mengimaninya tak dapat diprediksi
sebab sains dalam kehebatannya pun belum mampu menghasilkan vaksin itu.
Hemat
penulis, Tuhan masih tetap bisa dipercaya dan sains masih perlu juga diharapkan.
Tuhan butuh sains untuk merealisasikan penyelamatan itu dan sains sangat
memerlukan Tuhan dalam menghasilkan daya pikir kreatif penciptaan vaksin yang
dibutuhkan saat ini.
Mantap e..
ReplyDelete