MIMPI MAGDALENA
Fr. Ivanno, SVD
SIANG ITU, telepon di meja kerjaku berdering. Agak malas kuangkat gagang telepon. Pesawat itu sendiri tidak terlalu sering berbunyi. Dan bila bersuara pun sekedar ada order untuk meminjam dokumen ini atau itu, kemudian aku harus mencarinya. Ini pekerjaan yang kurang aku sukai. Tapi, karena aku petugas sekretariat, maka kucoba menikmati tugas itu. Aku berusaha melakukannya dengan senang hati, sebab hanya demikianlah pekerjaan itu terasa lebih ringan.
Aku ingin mendapatkan telepon yang menanyakan keadaanku: kesehatan, misalnya, atau apalah yang dapat dikategorikan sebagai bentuk perhatian orang lain terhadapku. Tapi, nampaknya hal itu sia-sia. Toh pada kenyataannya, aku juga jarang menelepon seseorang untuk sekedar ber-say hello, jadi ya... sudalah. Impas.
“Selamat siang...,”“ Hallo Magdalena, ini dengan pak Martin.Sedetik aku terhenyak.“Ohh... pak. Selamat siang, bapak. Apa ada yang bisa saya bantu?”“Lena, apakah malam ini kamu sibuk?”“Hmm... kayaknya tidak tuh, pak. Memangnya ada apa,ya?”“Kalau begitu, pastilah kamu bisa menemani saya jalan-jalan, sekedar dinner berdua malam ini. Saya jemput kamu pukul 07.30 malam.”
Untuk kesekian malam, atasanku menawari aku untuk menemaninya berakhir pekan. Dan sebagai sekretaris yang baik, aku tak pernah menolaknya. Kota tempat kumengabdi mulai menggeliat. Jam menuju angka delapan malam. Setelah cukup lelah jalan-jalan, aku dan atasanku duduk di sebuah warung kopi.
“Lena, dua cangkir kopi. Satunya milikmu dan yang lain punyaku.”“Terima kasih, bapak. Begitu aku menyahuti tawaran atasanku.Tiga bulan lau aku bergabung di lembaga pendidikan sekolah menengah atas yang dikepalai oleh oarang yang kusebut sebagai atasanku ini. Pimpinanku menugaskan aku untuk mengabdi di lembaga ini.
“Malam ini sungguh indah.” Aku mulai membuka bibirku.“Malam yang teramat indah karena ada kamu.”“Kacau!” aku menatap atasanku.“Lebih baik kacau untuk hal-hal yang baik daripada hampa imajinasi.” Kali ini aku tak menanggapi omongannya.
“Lena, apakah engkau pernah membayangkan ketika kau minum kopi ini, di pagi-pagi sekali para petani mesti menjelajahi perkebunan, mengalahkan dingin dengan segelas teh pahit?”"Bapak pernah membayangkan?" Aku balik bertanya.
“Belum! Mari kita menbayangkannya bersama-sama. Pertama, pejamkan mata, lalu imajinasi membawa kita ke perkebunan-perkebunan kopi, kepada dinginnya, kepada para petani, dan kepada teh pahit mereka.”
“Bapak jahat. Masa aku sendiri yang memejamkan mata, sedang bapak mlah asyik menatap wajahku.” Aku langsung cemberut.
“Mana yang lebih jahat, aku atau para koruptor negeri ini? Sebab, negeri seindah ini sudah menghasilkan banyak orang jahat. Suatu degradasi nilai.” Atasanku memamerkan bakatnya di bidang politik.
“Hmm... lalu ke mana semua dana yang dipercayakan pemerintah untuk membangun sekolah kita. Toh sampai detik ini, sekolah kita masih sama-sama saja. Mutu pendidikan rendah, terakreditasi C. Belum lagi bangunan sekolah yang sudah rusak. Ke manakah semua dana itu? bukankah itu juga namanya korup?” Aku bertutur.
“Bukankah kau adalah bagian dari skenario suci ini?” atasanku menimpal.“Tak apalah, kita kan memang demikian. Bukankah gereja menyediakan ruang pengampunan dosa. Esok, minggu, mengaku dosa. Lalu, senin sampai jumat berbuat dosa lagi. Bapak, setuju?”
Mana yang lebih jahat, aku atau para koruptor negeri ini? Sebab, negeri seindah ini sudah menghasilkan banyak orang jahat. Suatu degradasi nilai.”
Bukannya tertawa dengan guyonanku itu, atasanku malah menatap wajahku lekat-lekat. Akupun membuang pandanganku ke arah keramaian malam ketika matanya terus menatapku.
“Lena, aku amat bersyukur sudah tiga bulan engkau membantuku di sekolah kita. kinerjamu layak mendapat pujian.”“Aku rindu rumah, rindu pulang ke rumah.” Tiba-tiba alur pikiranku meloncat.“Ada apa dengan rumahmu?” Atasanku bertanya.“Di rumah, ada saudara-saudaraku.” Aku melanjutkan.
“Apakah saudara-saudaramu sakit?” Tanyanya lagi.“Tidak. Mereka sehat-sehat saja.”“Lalu, mengapa engkau merindukan mereka?”“Malam ini, untuk kesekian kalinya, aku tak berada bersama mereka, saat doa, saat makan, saat rekreasi, dan lain sebagainya.”“Akhhh… Lena, sudalah! Jangan terlampau kau pikirkan itu.”“Pak, aku tak bisa menghabiskan sisa malam ini. Bolehkah kita mengakhirinya?” Aku bertanya. Langsung disetujui, tetapi keningnya mengkerut bingung.
Mustang merahnya lalu mengantarku ke rumahku.
“Bolehkah kuantar kau sampai ke depan pintu kamarmu?” Tawar sang atasan kepadaku. Aku hanya mengangguk pelan. Kemudian kaki kami berlangkah menyusuri korodor panjang rumahku.
“Lena, rumahmu begitu sepi. Di mana saudara-saudaramu?”“Barangkali mereka sudah tidur.” Aku memberikan penjelasan singkat.
Beberapa langkah sesudah aku memasuki pintu kamarku, pak Martin menarik tanganku. Ia menghentikan langkahku. Aku berbalik. Ia menatap wajahku, menelanjangi mataku. Tangannya kemudian meraih kalung salib yang bersemayam di dadaku. Ia meraih identitasku yang tersimbol dalam kalung salib itu.
Sekonyong-konyong ia mendekap wajahku. Secepat hembusan angin, ia mencium pipiku. Tak sampai sepenanak nasi, ia melepaskan ciumannya. Kemudian ia membisikkan kata-kata lembut di telingaku: “Selamat malam, Lena. mimpi yang indah, ya…”
Dan pada saat itu, aku berteriak sambil membanting diri. Sialan aku terpelanting dari tempat tidur. Mimpiku yang buruk itu berakhir. Kulirik jarum jam dindingku menunjukkan angka 02.30 subuh. Di sampingnya tergantung rapi jubah dan kalung salibku. Sebuah tanya mencuat dari dalam diriku yang sunyi, “Apakah aku masih murni? Hanya aku dan Dia yang tahu. Hanya aku dan Dia! Sebaiknya aku lebih sering berada di rumahku.***
No comments:
Post a Comment