PERAN MARIA DALAM KARYA PENYELAMATAN DAN IRONI DISKRIMINASI TERHADAP KAUM PEREMPUAN
(Catatan reflektif tentang penindasan terhadap perempuan dalam perspektif iman katolik)
Fr. Libertus Madur, SVD
Dalam iman dan kepercayaa Gereja katolik Maria memiliki tempat yang istimewa. Kita semua sering mendengar istilah ini “Ad Jesus per Mariam” (Menuju Yesus melalui Bunda Maria). Itu artinya, penghormatan kita terhadap Bunda Maria tidak terlepas dari penghormatan kita kepada Yesus.
Maria diagungkan sebagai Bunda Yesus Kristus, Sang Mesias, Putera Bapa. Dia adalah seorang perempuan yang direncanakan dan dipilih Allah untuk menjalankan suatu tugas penting dalam karya penyelamatan. Oleh karena begitu besar dan pentingnya peran Bunda Maria dalam sejarah keselamatan, maka Gereja menetapkan bulan Mei dan Oktober sebagai waktu khusus bagi umat Katolik untuk berdevosi kepadanya.
Devosi dan penghormatan kepada Bunda Maria yang dihidupi dan dipraktekan dalam teradisi iman katolik tidak luput kritikan-kritikan. Ada yang beranggapan bahwa Maria hanyalah perempuan desa, seorang ibu rumah tangga biasa, tidak berpendidikan dan oleh karena itu tidak pantas untuk diberi penghormatan.
Namun sesungguhnya, peran Bunda Maria melampaui ruang kecil sebagaimana yang kita pikirkan itu. Hal ini bisa kita lihat sejak semula ketika Maria manjawab ‘Terjadilah padaku menurut perkataanMu’ atas tawaran Allah melalui malaikat (Bdk. Luk. 1:38), mendampingi Yesus ke Bait Allah, sampai pada sengsara dan kematianNya di atas kayu salib. Singkat kata, Maria ikut ambil bagian dalam seluruh karya penyelamatan Yesus.
Dalam relasi kisah Yesus, Maria adalah representasi peran perempuan yang telah mengambil bagian dalam sejarah keselamatan umat manusia. Ia telah menampilkan wajah kaum hawa yang membebaskan dan karena itu perempuan berhak mendapat pengakuan yang sama dan setara dengan laki-laki. Mereka harus dihormati dan diperlakukan seadil-adilnya.
Pertanyaannya, sudah sejauh mana kita memberikan sikap respek terhadap kaum perempuan?
Diskriminasi terhadap kaum perempuan merupakan problem serius yang tidak pernah selesai dibicarakan. Pada masa Yunani kuno kaum perempuan mendapat posisi yang kurang menguntungkan di bumi ini. Ruang gerak dan peran mereka sangat dibatasi oleh dominasi kekuasaan kaum adam.
Pada masa itu hukum Yunani tidak memperbolehkan kaum perempuan untuk mengakses pendidikan seperti halnya yang didapat oleh kaum laki-laki. Mereka juga tidak diperbolehkan untuk belejar membaca atau pun menulis.
Kaum perempuan juga tidak memiliki legaisasi hukum untuk menduduki posisi atau jabatan-jabatan penting dalam mengurus kepentingan negara, tidak mendapat izin tampil di hadapan umum dan dilarang bersuara atau berpendapat di ruang publik. Lebih tragisnya lagi, kaum perempuan dipakai dan diperlakukan secara tidak manusiawi untuk melayani hasrat dan nafsu biologis bagi kaum laki-laki.
Psedo-Demosthenes secara terang-terangan menyampaikan hal ini di depan majelis warga negara “kita harus memiliki pelacur untuk kesenangan, selir untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari, dan pasangan kita untuk memberi kita anak-anak yang sah dan menjadi penjaga setia rumah kita”.
Itu artinya fungsi perempuan tidak lebih dari sekedar mesin reproduksi untuk mendapatkan dan meneruskan keturunan. Eksistensi mereka sebagai mahluk koadrati tidak mendapat pengakuan yang penuh dari kaum laki-laki.
Deklarasi universal Hak Asasi Manusia yang berlansung pada 1948 di Eropa berisikan sejumlah tema terkait dengan kebebasan hidup setiap orang. Salah satu poin penting yang terdapat dalam deklarasi tersebut ialah kesetaraan gender.
Deklarasi itu menjadikan perempuan mendapat pengakuan yang penuh dari negara. Baik itu dalam mengakses pendidikan, pekerjaan dan juga dalam berpolitik. Lebih jauh, perempuan harus dilindungi, dijaga, diperhatikan dan diperlakukan sama dengan laki-laki.
Deklarasi umum HAM tersebut tidak lebih dari sebuah slogan kosong-tanpa isi. Pada tataran praksis penindasan terhadap perempuan masih saja terjadi dalam kehidupan kita saat ini. Ada pemerkosaan, pelecehan seksual, pencabulan anak di bawah umur, human trafficking, bahkan sampai pada tahap palig ekstrim yaitu pembunuhan terhadap perempuan atas nama kerakusan dan kebringasan laki-laki.
Di Indonesia pada tahun 2013 kasus kekerasan terhadap perempuan menembus angka 279760. Angka yang sangat fantastis dan memprihatikan.
Sungguh ironis bahwa dalam banyak kasus kekerasan terhadap kaum perempuan justeru terjadi di wilayah dan tempat yang mayoritas umatnya adalah kristen katolik. Penindasan terhadap perempuan banyak dilakoni oleh orang-orang yang memiliki spirit dan semangat devosi yang tinggi kepada Bunda Maria.
Parahnya lagi ialah kaum rohaniwan dan biarawan/i yang memiliki pengetahuan mapan tentang Bunda Maria justru menjadi mentor atas berbagai kasus diskriminasi terhadap perempuan.
Ceramah, khotbah-khotbah mereka tidak lebih dari teori belaka dan tidak menyentuh kehidupan praksis. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai subyek yang mesti dicintai, dikasihi dan dihargai sebagaimana kita menghormati Bunda Maria.
Sebaliknya, mereka justeru dilihat dan diperlakukan sebagai obyek yang harus menanggung segala penderitaan.
Beberapa hari lagi kita akan mengakhiri bulan Rosario, waktu khusus dimana kita memiliki banyak kesempatan berada bersama Maria. Ziarah rohani kita bersama Bunda Maria, doa-doa yang kita buat secara bersama dari rumah ke rumah dan penghormatan yang kita berikan kepadanya mesti nampak juga dalam praktek hidup harian kita.
Sebagai keluarga-keluarga katolik dan komunitas biarawan kita adalah garda terdepan untuk memberikan teladan yang baik dalam memperlakukan perempuan.
No comments:
Post a Comment