Kami semua, bersama saudari-saudari kami, merayakan malam khusus ini dalam kehangatan yang begitu cemerlang. Sekali ini saja kami mau menemani bintang-bintang di langit itu terlelap. Semoga tak hanya sekali, tapi juga berkali-kali (kalau berkesempatan).
Semua orang setuju pastinya. Biar esok baru dibahas rencana tuk tak tidur demi menyanyikan tembang nina bobo buat bintang-bintang. Banyak yang bersepakat, tetapi banyak juga yang memilih untuk ditemani oleh bintang-bintang.
Hari Kedua: Minggu, 12 Juli 2020
"Hidup ini adalah kesempatan.....
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan bri
Hidup ini harus jadi berkah"
Segera, setelah syair-syair di atas dilantunkan, kami semua (yang masih terlelap) terjaga. Kami agak teriris sebab syair-syairnya terlampau jauh dengan faktanya. Tapi, banyak juga yang tersenyum setelah mengetahui kalau yang melantunkan lagu ini ialah seorang pria tampan, manis, serentak romantis; Fr. Ansel Ngenta.
Barangkali, sejak malam tadi kami menunggu matahari bangun dari jedanya di ufuk Timur, kami berjaga sehingga nyanyian sendu dengan aroma dinamika yang lembut itu mengingatkan kami akan semangat yang baru saja kami isi pada malam lalu. Kami bangun dan menyeruput sunrise tepat bersama dengan gelombang rindang di pantai Waturia.
Di pantai sudah terdapat beberapa frater yang tengah asyik mengarahkan kamera handphonenya ke arah timbulnya matahari pagi. Kami memang selalu mengalami terbitnya, tetapi kami tak pernah menikmatinya. Pagi ini, kami bersama-sama menikmatinya. Di sudut pohon ketapang, seorang frater juga sedang bermeditasi. Siapa dia, itu misteri; yang penting ada.
|
Kali ini kami tak hanya mengalami, tapi juga menikmati hadiah pagi. |
|
Membiarkan pagi menyelinap masuk. |
OMBAK melambaikan salamnya, bukan pada angin. Ia menyapa para penikmat pagi; kami. Sekali lagi, kami bersama-sama menikmati pagi itu. Tak ada yang dapat mengganggu pagi kami, kecuali oleh aroma pisang goreng dari dapur. Maka, beberapa orang mesti bergegas menuju dapar, menyambut pisang goreng, ditemani teh hangat dan tungku api.
Di tungku api, mulut-mulut yang tertahan oleh nikmatnya pisang goreng, perlahan-lahan, membukakan suaranya, sekedar menyapa sesama penikmat pisang goreng. Pagi ini, ada dua penikmat; matahari pagi dan pisang goreng pagi. Itu pagi kami, pagi bersama matahari dan tungku api. Di tungku api orang memulai segala rencananya sehari, termasuk beberapa orang duduk bersenda gurau di situ.
Sembari menunggu waktu untuk mengikuti perayaan Ekaristi, kami berbagi rasa soal pagi kami dan juga malam yang terlarut dalam genangan kenangan. Itu vista yang mengasyikkan, bukan. Terus-teruslah bertetirah ke sini. Mungkin, tak hanya inspirasi, tapi juga kau kan tahu tentang nikmatnya konspirasi.
Suara Frater Vino Maing memanggil kami. Tandanya perayaan Ekaristi hendak dimulai. Semua hening. Semua menikmati dan merayakan Ekaristi bersama. Mungkin di luar sana, hari ini adalah hari pertama menghadiri Ekaristi saat new normal. Frater Randy dengan cekatan mempersiapkan semua hal yang berhubungan dengan perayaan Ekaristi hari Minggu. Dari kejauhan, ia sangat menikmati tugas barunya sebagai Seksi Liturgi sebab matahari pagi mengudarakan aroma padanya, laiknya anggur yang saban hari ia baui.
|
Seksi Liturgi sedang mempersiapkan segala perlengkapan Perayaan Ekaristi. |
|
Bermusik itu sebuah persembahan. Fr. Dominggo sedang mengiringi nyanyian dengan melodi merdu. |
SEPERTI lazimnya, setelah perayaan Ekaristi, kami bersama-sama menikmati hidangan yang telah tersedia. Kopi dan teh selalu menemani pagi yang merdu itu.Pisang goreng jadi teman yang paling pas. Barangkali (tanpa sepengetahuan kami) ada yang berminat menyesap asinnya air laut. Itu urusan privat; sapa mau help.
Para edafolog dadakan lahir di sini. Yah, bedeng-bedeng yang berjejer estetis ramai dikunjungi oleh, sekurang-kurangnya, setengah dari populasi kami. Ada yang duduk berjemur. Katanya untuk membuat virus-virus takut. Ada yang bersenda gurau dan bercengkerama, sembari menunjuk-nunjukan jari, pertanda mereka sedang asyik berbagi. Tapi, edafolog sejati itu tampak dalam diri, tak banyak orang, yang dengan sigapnya mengayunkan penyiram-penyiram air pada tanaman-tanaman yang sedang akan bertumbuh. Tentunya, ada juga yang berbagi tugas untuk bersihkan seluruh perlengkapan makan-minum.
Di sudut Barat, seorang anak sedang asyik melambai-lambaikan tangannya pada kami. Ia sedang memandang kami dengan penuh keheranan, sembari mengayun-ayunkan kakinya di lautan. Rumahnya itu ada di tengah laut; rumah apung. Frater Timo bertanya gusar tentang alas rumah apung itu. 'Barangkali alasnya terbuat dari gentong-gentong plastik,' jawab teman bicara Frater Timo. Anak itu masih memandangi kami. Entah kali ini dengan rasa heran, atau dengan rasa sengan, kami sukar menebaknya sebab saat menatap ke arah sana kami seolah sedang menembusi suatu fatamorgana pagi. Kami kalah.
|
Frater Timo sedang memandangi rumah apung yang dibatasi oleh fatamorgana. |
TUJUAN awal kegiatan ini ialah untuk melepaskan segala kepenatan setelah sekian lama dibatasi oleh Covid-19. Tentu, bukan hanya kami. Semua orang mengalaminya. Tapi, ini cara kami untuk menghalau yang namanya kesepian itu. Dengan segera, kami mengawali pertemuan untuk membahas program-program setengah tahun ke depan. Kata staf unit, 'program-program yang tak terlalu melangit, tapi yang selalu membumi.' Begitulah kami mengawali proses diskursus kami tentang hidup nyata, yang tak butuh rencana yang muluk-muluk. Sederhana saja, tetapai yang kreatif dan bernas.
Begitulah hidup kami selalu terencana dengan matang. Tentu, dengan harapan besar agar program-program itu dapat membantu kami sendiri dalam mematangkan dan memantapkan pilihan kami masing-masing, dan dalam mengembangkan anek talenta yang kami punya.
Untuk tak memakan dan membuang-buang waktu, kami segera mengakhiri perbincangan-perbincangan ini. Tepat, setelah kata penutup dari Pater Fredy, kami semua langsung menuju tempat rekreasi masing-masing. Ada yang bergoyang, ada yang bersetubuh dengan laut, ada yang bermain kartu. Konsekuensinya kocok berkali-kali, mungkin Pater Fredy e.. Tak kalah seru, ada beberapa orang yang turut berkreasi di dapur untuk menciptakan nilai cita rasa makanan dan minuman yang estetis, serentak atraktif.
Adalah suatu kerugian bila kami tak mengakhirinya dengan ngepantai bersama dan bergoyang bersama. Yang tak tahu berenang, pastinya akan selalu menonton di pinggir pantai, sembari meneriaki jagoannya yang sedang bertarung dalam ajang berenang cepat.
Setelah ngepantai, dilanjutkan dengan ngelantai. Sekali lagi, yang tak tahu bergoyang akan duduk di pinggir arena, serentak merekam mereka yang sedang berselosor pada pasir.
Sebelum senja muncul, kami mesti bergegas sebab masih ada tugas besar yang menanti dan menantang. Setelah rehat sejenak ini, kiranya spirit baru terlahir kembali.
|
"Saya juga mesti punya program pribadi, mesti kecil-kecilan," celoteh Pater Fredy, sembari mengakhiri pertemuan kami. |
Mantap e...
ReplyDeleteTerlalu ok
ReplyDeleteKeren ama...
ReplyDelete