Suatu
waktu, dalam sebuah chattingan whatsapp dengan seorang teman, saya
tanya ke teman itu, “Kau ada buat apa, la”.
Dia jawab begini, ‘Saya gabut’. Wah, saya heran, serentak bingung. Heran sebab, saya tanya lain, kok, orang ini bisa jawab lain. Apakah
dia maksud dengan gugup? Tak mungkin dia gugup. Pertanyaan itu yang buat saya
bingung.
Karena saya
tak mau bingung terus, saya langsung tanya ke dia. Ternyata itu akronim dari
frasa gak ada buat. Orang Manggarai
bilang toe manga pande, meski saya
bukan orang Manggarai. Tentu, sebelum dia menjawabnya, saya telah dicerca
habis-habisan. Katanya, saya tidak ikut perkembangan zaman. Sudahlah.
Saya
kemudian teringat akan seorang nenek moyangnya para pencinta filsafat, Descartes. Dia dikenal dengan semboyannya, ‘Cogito ergo sum’ (Saya berpikir, maka
saya ada). Dalam konteks kekinian, mungkin, Cogitonya
Descartes berubah menjadi, ‘Saya update,
maka saya ada’. Kalau dipikir-pikir lebih lanjut, berarti saya yang tidak update ini berarti tidak ada –tepatnya,
keberadaan saya sekarang itu tidak diakui. Sekali lagi, sudahlah.
Sangat
disayangkan kalau Cogito itu tak kita
sandingkan dengan satu kelompok lain lagi dalam sejarah pemikiran, humanisme. Dalam pemahaman saya, dan bisa dibantah lagi kalau ingin, kelompok ini
sangat mengagung-agungkan diri manusia, entah dia sedang berpikir atau sedang
tak berpikir.
Menariknya,
konteks saya sedang berpikir dan sedang tak berpikir itu diadopsi –atau lebih
tepatnya–berubah bentuk dalam konteks Milenial dewasa ini, misalnya dalam frasa
keren, gabut, tersebut di atas.
Secara gamblang ini merupakan sebuah language
games (permainan bahasa). Kita dimudahkan untuk pahami banyak makna dalam
satu frasa singkat itu. Atau juga bisa dianggap terlalu berlebihan, khususnya
bagi mereka yang anti Milenial.
Saat saya
membayangkan frasa gabut yang teman
saya lontarkan di atas, satu pikiran agak garing terlintas. Pasti dia sedang
tidak bernafas atau mati. Mana mungkin dia tidak buat apa-apa tu. Saya tambah bingung. Sebenarnya, apa
yang hendak dia jelaskan dengan frasa ini? Oke, saya coba terka-terka sedikit
sebelum saya bertanya lebih lanjut ke dia. Atau sebelum saya dicerca lebih
pedis, sepeti lombok kecil orang Bajawa.
Dalam
durasi singkat itu, saya coba meramunya dalam dua konteks pemahaman atau makna.
Pada satu sisi, gabut itu menunjukkan
suatu kemandekan berpikir, bahasa kita: kurang kerjaan, dan di sisi lain, gabut sebagai ruang rekreasi; suatu
ruang kosong yang memungkinkan kita untuk melahirkan sesuatu yang baru. Menarik
bukan?
Pertama, tentang kaitannya dengan kemandekan berpikir. Saya tidak memasukkan
perbedaan tentang orang yang sedang berpikir dan yang sedang tak berpikir,
sebagaimana yang kita pahami tentang Cogito.
Ini lebih merupakan satu basa-basi yang tajam berkaitan dengan makna yang ada
di balik semboyan gabut.
Kemandekan
berpikir dipahami dengan berhentinya usaha untuk berjuang keluar dari persoalan
hidup. Kembali, saya batasi diri pada konteks kaum Milenial yang menggandrungi
istilah-istilah keren. Itu artinya bahwa, saat berhadapan dengan
persoalan-persoalan, pribadi maupun global, kita senang untuk menghindar, atau
tidak mau repot, cuek bebek. Apapun
makna aslinya, gabut itu adalah satu
pilihan sadar kita untuk tidak berpikir, dan sama juga dengan tidak bertindak. Berarti
benar bahwa teman saya itu sedang tidak buat apa-apa. “Tapi, dia balas chat saya” (saya pikir dalam tanda
heran).
Kedua, sebagai ruang rekreasi, ruang kosong untuk berekreasi. Sengaja saya
pakai istilah ini sebab rekreasi itu semacam suatu aktivitas romantik.
Melaluinya, saya dibawa kepada penyegaran kembali. Saya tenggelam di dalam
labirin kenangan. Daripadanya saya dan kita bisa menimba inspirasi baru untuk,
sekurang-kurangnya, berlangkah lagi, sebelum kita benar-benar mewujudkan mimpi.
“Ia seperti puisi yang,….”. Ah, terlau puitis juga tak enak.
Ruang
kosong yang saya maksudkan ialah ruang untuk menimba semangat baru. Dan saya
lebih suka (rasa suka bisa berbeda) untuk melihat gabut itu dalam konteks ruang kosong ini. Di dalamnya, saya dan
kita bisa menarik diri, mengevaluasi diri, dan mengumpulkan amunisi untuk
menembaki ketakutan dalam hidup. Tak hanya menembaki, tapi untuk merebut asa
dan cita yang kita simpan rapi pada sanubari, dan suatu hari akan kita raih. Sebut saja, tokoh-tokoh muda, lebih enak
daripada disebut sebagai orang-orang muda, yang senantiasa kembali ke dalam
ruang kosong untuk kemudian berekreasi.
Ada Mr. Djii, youtuber dengan kekhasan
milenialnya, Valentino Luis, seorang traveller-journalist
yang handal dan pandai meramu kata-foto-video dalam satu narasi yang manis, pun
seorang Yose Bataona, peramu kata nan estetis, juga Reinard L. Meo. Sejatinya, masih terlampau banyak tokoh muda yang
bisa disebutkan di sini. Mereka, dan mesti kita juga, memaknai gabut itu sebagai suatu space, ruang-jarak, yang daripadanya
bisa ‘dicuri’ banyak hal, tak terkecuali inspirasi.
Gabut bukan berarti kita mesti tidur –dan berlatih untuk matikan kreativitas
kita. Setelah dipikir-pikir, frasa itu tak mesti kastau kita satu makna saja. Barangkali kita bisa –sekali lagi,
kalau mau— memaknainya bukan sebagai momen untuk jeda, lalu mati. Tapi, coba
kita melampaui batas yang tak wajar itu. Biar tetap update, tapi ada plusnya. Update
yang kreatif dan kritis.
Kira-kira
dua hal ini yang terus ada dalam pikiran saya selama durasi singkat itu.
Akhirnya, saya kembali chat dengan
teman saya itu.
Wala,
ternyata, setelah chatting lebih
lanjut, dia sedang meraciki nasi goreng dengan aneka bumbu tradisional. Dia
bilang itu resep khusus dari Mamanya di kampung. Saya hanya bisa membauinya
dalam imajinasi. Padahal, dia sedang berpikir dan berkreasi. Saya tambah
bingung. Gabut itu sejenis frasa atau
sejenis aktivitas meramu cinta Mama dalam nasi goreng? Saya tambah emoji
linglung untuk menutupi chattingan
kami. Sudahlah untuk suatu waktu itu.
Permainan kata dari penulis, membuat pembaca langsung gabut. Ahha, salam.
ReplyDeleteOm Bro, yg penting gabut yang kreatif dan rekreatif...☕
DeleteJangan lupa untuk berkunjung terus. Masih banyak ilham yang membuat para pembaca menjadi gabut....
DeleteGabut yang bernas dan imajinatif. Semoga daya imajinasi kita selalu terasah☕
ReplyDelete