Dua-Dua Tahun

KEMBALI

Karena Menatap Balik Tetap Beraroma Flamboyan 

Hari ini saya ulang tahun. Usia saya genap 50.

Saya duduk membaca di bawah jendela,

matahari sedang mekar berbunga.

Seorang bocah muncul tiba-tiba,

memetik kembang uban di kepala saya.

Ya, hari ini saya ulang tahun ke-50.

Tahun besok saya akan ulang tahun ke-49.

Tahun lusa saya akan ulang tahun ke-48.

Sekian tahun lagi usia saya akan genap 17.

Kemudian saya akan mencapai usia 9 tahun.

Pada hari ulang tahun saya yang ke-9

saya diajak ayah mengamen berkeliling kota.

“Hari ini kita akan dapat duit banyak.

Ayah mau kasih kamu sepatu baru.”

Karena kecapaian, saya diminta ayah

duduk menunggu di atas bangku

di samping tukang cukur kenalan ayah.

“Titip anakku, ya. Tolong jaga dia baik-baik.

Akan kujemput nanti sebelum magrib.”

Sebelum magrib ia pun datang.

Tukang cukur sudah pulang. Anaknya hilang.

“Ibu tahu anak saya pergi ke mana?”

tanyanya kepada seorang perempuan penjaga warung.

“Dia pakai baju warna apa?”

“Dia pakai celana merah.”

“Oh, dia dibawa kabur tukang cukur edan itu.”

Sampai di rumah, ia lihat anaknya

sedang duduk membaca di bawah jendela.

Kepalanya gundul dan klimis,

rambutnya yang subur dicukur habis.

“Ayah pangling dengan saya?” bocah itu menyapa.

Lama ia terpana sampai lupa bahwa uang

yang didapatnya tak cukup buat beli sepatu.

Gitar tua yang dicintanya terlepas dari tangannya.

“Anakku, ya anakku, siapa yang menggunduli nasibmu?”

Joko Pinurbo

“Menulis puisi tidaklah harus beranjak dari tema yang selalu serius seperti yang biasa muncul pada puisi yang tertulis dengan narasi besar, melainkan bisa juga bermula dari sekadar keisengan belaka untuk melukiskan sesuatu secara spontan, seperti anak-anak Jentera, yang dengan seketika itu juga menggoreskan kapurnya untuk mencoretkan sesuatu di sebidang lantai yang dihadapinya” (Heru Emka)

Menulis detik tak perlu bermula dari jam. Sedetik saja punya kemesraannya tersendiri yang tak dikantongi para pelancong. Menulis detik membuat jam bertanya-tanya, seberapa pentingkah hari tanpa penghayatan nan suntuk pada tiap detik?

Duapuluhdua tahun. Kemarin masih duapuluhsatu.

MALAM ini adalah malam yang sendu, tetapi sore tetap menampilkan kecantikan asfarnya. Selalu pada sasana yang melatih kami untuk mencintai proses. Bapak bilang, 'kalau kamu mau berenang, kamu harus tahu untuk tenggelam. Dan setelah sadar, kamu harus berenang di kolam ikan hias sebelah kamar makan. Itu namanya proses'.

Tetapi, malam ini, malam yang sendu. Sore tadi kami menyeruput aroma-aroma tak banal. Manis sekali dan buat kami kepingin agar malam tidak mencuri sore tadi. Sayangnya, malam telah mencubit sedikit kenangan sore tadi. Bagi kami, sore tetaplah sore. Itu ada pagar yang membatasi sore asfar, dalam balutan kehangatan perapian.

SEKALI LAGI, malam telah mencuri sore. Tetapi ia takkan pandai mencuri kemenangan kami pada sore. Kami telah melewati proses. 

Perjalanan memenangkan sore senantiasa menghanguskan kami. Bukan saja hangus oleh perapian, melainkan juga oleh kehangatan yang tak pernah kenal usai. Hangus karena wajah-wajah sore itu berbeda dengan wajah-wajah tengah hari. Tentunya, hangus karena kami membenamkan diri dalam perapian  -persiapan namanya.

Kemarin masih duapuluhsatu. Hari ini, 29 September 2019, tepat duapuluhdua.

Berawal dengan puisi 'Ulang Tahun'nya Joko Pinurbo, kami, bersama semangat yang tak pernah pudar, merayakan hari ulang tahun imamatnya Pater Kanis Bhila, SVD. Seorang empu proses, pecinta proses, dan proses itu sendiri. Bersama Joko Pinurbo, ia mengajak kami semua untuk sejenak berpelesir mesra pada memoar duapuluhsatu tahun sebelum duapuluhdua.  

Saya sangat suka ketika wajah fotogenik itu terus menghiasi deretan wajah orang-orang kelaparan, terutama kelaparan rindu. Dan tak pelak lagi kalau kerinduan akan tetap bersemi, mungkin kau takkan menyadarinya. Ia tetap berbaris rapi pada koridor manapun yang kau lalui. Entah kau menyadarinya atau tidak. 

Sambil menyeruput kopi pahit buatan sendiri, saya melihat dan juga merasakan kalau masa unyu-unyu telah berlalu, dan tidak berlalu begitu saja. Saya mengisinya dengan rangkaian perbuatan dan juga kasih kepada mereka, para pemilik wajah fotogenik itu.

Perjalanan memang tak semudah melangkah, tetapi perjalanan tanpa melangkah itulah yang susah. Saya melangkah, sejak duapuluhdua tahun silam hingga hari ini, pada koridor bernama imamat. Dan pada setiap koridor, saya selalu berpapasan dan berjumpa dengan semua orang. Sejak di paroki Reo, Manggarai, hingga saat ini. Itu perjalanan yang panjang dan melelahkan, dan saya harus, sebab saya yang pilih, menyelesaiknnya hingga pada koridor tak bertepi.

 

Banyak nuansa yang saya jumpai di sana. Sebab dengan nuansa-nuansa itu, saya tahu kalau sesungguhnya saya punya kerapuhan di dalam diri saya. Semakin saya bilang saya kuat, ternyata semakin saya begitu rapuh.

Satu pengalaman yang tak anyar lagi dalam koridor itu ialah bahwa saya selalu dihadapkan pada situasi disukai dan juga situasi tidak disukai. Ini saya rasakan sejak saya berada di Reo, Manggarai. Tidak banyak yang menyukai saya dan cara-cara saya. Tetapi tetap ada yang mencintai saya. Hal ini bersambung lagi saat saya menjadi kepala sekolah di SMAK Syuradikara, Ende. Tentu saya berbeda dengan yang lain. Saya berbeda sebab saya berpatokan pada aturan, pada prinsip yang saya hidupi. Itu saja. 

Pengalaman ini seakan menjadi semacam vista yang mesti saya lalui. Juga saat berada di Seminari Tinggi Ledalero. Tak sedikit yang membenci saya. Apalah gunanya kalau dibenci tanpa dasar yang jelas? Dan dasar saya adalah aturan dan prinsip hidup bersama. Gaya saya.

Juga Pater Fredy, punya stylenya sendiri dalam hidup dan dalam menghidupi imamatnya.

Sebagai yang berusia duapuluhduatahun hari ini, saya tidak menutup diri dari para senior saya. Saya belajar banyak dari Pater Kirchberger, Tuan Goris, begitu banyak orang menyapanya. Cara hidupnya, gaya hidupnya, juga kata-kata santai-bernasnya. Semuanya mengajarkan saya tentang arti hemat kata yang sesungguhnya. Itu gaya kesederhanaan yang beliau perlihatkan.

MEMANG malam selalu tak lengkap kalau tak ada keremangan. Juga kehangatan tak selalu menyejukkan bila tak dibaluti aroma-aroma gosong padat ketenangan. Syukur tanpa menenagkan suara keroncong gaduh takkan berasa elegan. Malam tak layak dikatai malam elegan bila tak dilengkapi dengan memoar-memoar sore kaya dandanan.

 

Di sana ada ayam panggang, ikan panggang, pisang panggang, juga ada alat panggang. Ini semua disebut, dan yang lain belum disebut sebab yang lain itu pasti. Nasi kuning, kuah asam, sayur rumpu-rampe; antara pahit dan manis. Juga tak pelak lagi es buah-buahan. Kalau disebut es buah saja itu tak layak. Toh terdapat berbagai macam buah, kecuali buah terlarang. 

Sore tadi, sore yang mengigaukan. Sore yang dirancang khusus untuk berada di beranda antara, antara mimpi dan sadar. Antara hidup dan mati. Uniknya lagi, yang berada di beranda antara ini adalah ayam-ayam di beakang kandang. 'Serasa berada di belantara antara (Mau diam mati, mau lari juga mati)'. Sore tadi, sore yang misterius bagi ayam-ayam piaraan di belakang kandang. 

Ini akibat kalau ayam-ayam lagi yang cemas. Akhirnya ada yang didulangkan dan ada juga yang sementara diasapkan. Bahkan kamera juga berasap.

Seorang penyanyi kondang sore tadi menari-nari. Katanya bahwa dia siap untuk menyampaikan sejuta harapan pada yang Maha Empu. 'Kita  bukan saja bernyanyi, serentak berdoa dua kali. Kita bernyanyi sebab kita camar bernyanyi; bernyanyi yang menandakan bahwa malam itu telah berawal'. Malam sudah terbuka, dan temaram tak ingin lekas khatam. Harap banyak orang, malam mesti tetap calak. Masih ada tetesan-tetesan bening yang menunggu tuk dicumbui. 

Malam ini, para mustamik tak mudah memalingkan telinga dan hati mereka tuk menyimak kata-kata reflektif Pater Kanis. Refleksinya panjang dan mendalam. Pada akhir refleksinya, beliau menelawa segenap anggota rumah untuk bersama-sama saling mendukung. Tentu dengan memerhatikan kekhasan-kekhasan setiap orang. 

Usia boleh bertambah, tetapi semangat mesti pantang usai. Sebab setiap hari adalah proses menjadi, terutama menjadi pecinta proses sejati. Ini harap para penghuni lainnya.

Tak ada yang lebih mengusik dari malam ini. Perut belum terisi, tetapi hati sudah terisi oleh peri-sabda bakir nan inspiratif. Tetap saja tak sempurna bila tak dibarengi dengan santapan dan tegukan-tegukan es buah yang memanjakan malam ini, serentak tetesan-tetesan bening yang tak sabar dibelai. 

Malam tak layak disebut malam. Malam mesti punya pagi, dan pagi masih menunggu di beranda esok. Beranda misterius; bangun atau tidur terus.

Profisiat buat Pater Kanis Bhila, SVD

Selamat merayakan ulang tahun imamat yang ke-22