Heran yang Futuristis
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Beranda Nitapleat; menuju kabar dan informasi tentang rumah Nitapleat (surga tempat mata air akan membasuh air matamu). Salam dari kami semua.
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
HERAN
Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga |
Filippo Tommaso Marinetti (1876-1944), seorang satrawan Italia, menulis, dalam 'Manifesto Futurisme', "We want not part of it, the past", "We the young and strong Futurists". Ia secara elegan-linguistik, menolak masa lalu, dan melahirkan pemikiran tentang kecepatan, mesin, pemuda dan industri. Siapa dapat mengira kalau, seyogianya, Filippo justru mengekspresikan kebenciannya pada tradisi lama; bidang politik dan seni.
Banyak orang merasa heran tentang adanya gerakan baru, yang tentu membuat konsep mereka agak semerawut. Keheranan ini menjadi tak sepatutnya ada lagi sebab para seniman sekaliber Umberto Boccioni, Carlo Carra, Giacomo Balla, Antonio Sant'Elia, Tullio Crali, dan Luigi Russolo bergabung. Manifesto Futuris itu mereka tandatangani.
Pada lain waktu, dubium methodicum yang kita kenal, pernah mengalami masa kejayaannya sebagai sebuah metode kritis-eksploitatif, kalau bersoalan dengan proses mencari. Saya kira, ia tidak hanya 'pernah' mengalami. Ia selalu elok dan asfar untuk 'dipakai' pada berbagai konteks oleh para filosof. Dalam ajang yang lebih futuristis, metode meragukan ini, dieksplisitkan pada konsep yang akan membawa kita menuju istilah yang agak ambigu, heran. Kalau kita gunakan frasa heran, tepat, saat menanggapi argumen-argumen kontradiktifnya Rocky Gerung, kita pasti dibilang dungu.
Momentum risalah ini mengajak kita untuk sejenak bertetirah pada kedalaman suatu tanda heran dalam konteks futuristis. Heran, sebagaimana yang melahirkan sikap antitradisional, anti terhadap yang kaku, yang mengutamakan ketakutan pada otoritas-otoritas semu. Tak lepas juga ketakutan pada menjadi pribadi futuristik yang tak gampang nimbrung dalam kubangan massa.
Di Rumah Saja. Lokasi: Cafe Nitapleat |
Melawan Kematian
Masa lampau itu hanya satu kemungkinan yang sudah menjadi nyata, tentu pada ruang dan waktu yang silam. Ia bisa mati kalau ditelan kapitalisme lupa. Kapitalisme akan mengubah labirin-labirin waktu jadi ruang yang bisa dipertukarkan. Kemudian didandani semasyuk mungkin, lalu diiris perlahan-lahan. Diiris juga punya makna dibuat menjadi ludes. Kita masuk dalam pasir apung lupa.
Ada semacam gaya kolektif yang sedang dan akan menjambret hampir seluruh roadmap dari kemandirian individu. Seolah-olah ada jalan baru yang diupayakan untuk tetap bertahan atas nama kebebasan personal. Kebebasan yang kerap mengalami proses reduksi sebatas kesenangan diri. Bukan pada keharusan untuk membebaskan diri dari sistem reduksi diri ke dalam kegandrungangan kolektivistis. Kita masuk pada ranah momentum yang majal sebab kebebasan diri tak pandai lepas dari keramaian. Pada galibnya, setiap pathway masuk juga dalam lorong-lorong paradigma yang mati.
Pada faset yang silam, sebatang keris Pangeran Diponegoro telah menjadi milik Raja Willem I. Setelah Pangeran Diponegoro dikalahkan. Keris Kiai Nogo Siluman itu nyata sebagai sejarah yang memang terjadi (histoire realite). Realitas baru terjadi juga bahwa keris itu telah dikembalikan kepada Indonesia, termasuk artefak-artefak kepunyaan Indonesia. Kita lupa akan sejarah ini. Lantas, cerita apa yang telah dan akan dilahirkan? Saya berpandangan bahwa kisah, pun pandangan, tiap insan itu berbeda, dan senantiasa menarik. Selalu dalam ruang dan waktunya sendiri.
Maut sudah menanti bila tak ada sejengkal langkah untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan baru —ketakutan pada hilangnya pujian dari luar diri. Ketakutan akan penerimaan diri dalam rumah yang kerap tertutup pada impresi-impresi rasa. Ketakutan akan 'pengucilan' dalam keramaian. Yang menggiring muruah personal, bersama banjir, pada selokan-selokan kesenangan komunal.
Maut justru, dengan manisnya, tertawa pada kegirangan untuk 'pura-pura lupa' —judul lagunya Mahen— akan kemestian dari menjadi diri sendiri itu. Sebab maut telah mengintip kesukaan diri untuk takluk pada opini-opini yang subur dalam kerumunan.
TimurPerpustakaan Futuristis.
Sumber: The Journey of Mrs. Masturdating
Timur itu satu kontur linguistik yang sangat digandrungi para pemikir kritis, serentak idealis. Maximilian —tokoh dalam film Eiffel I'm in Love, pun sangat nekat memakai instrumen cahaya untuk menyatakan kritik pada kegandrungannya akan mimpinya —mencinta. Para pemikir pun bermimpi untuk mencintai mimpinya, mencipta. Mencipta berarti melahirkan sesuatu, manjadikan sesuatu itu baru. Dalam konsep para futuris, mencipta berarti membuat segala yang ada menjadi berbeda. Mereka menyuguhkan kesungguhan ada dari suatu ketiadaan, dengan langkah sebagai yang muda —the young futurists.
Sekedar mencuri cerita pada novel Jejak Langkah. Kita menemukan satu kisah inspiratif dari sekian cerita inspiratif yang bergelimangan. Bali sesungguhnya tidak membiarkan diri masuk dalam barisan yang terjajah oleh para kolonialis Belanda. Mereka mau bebas, serentak tak mau terikat pada aliran yang menghanyutkan. Mereka bertarung. Tentu demi menjaga keluhuran muruahnya. Kita bingung sebab Bali sukar terkalahkan, termasuk perkelahian oleh bangsanya sendiri. Bali, seolah, diasingkan dari cipratan nama bangsa, yang terlampau mapan oleh asupan-asupan kenyamanan Hindia. Bali akhirnya terkalahkan. Seperti kerumunan laron yang menyerang api, mereka jatuh. Tetapi perang Puputan, perang sampai akhir, tetap terkenang sebagai usaha tiada sudah hingga membiarkan jiwa menuju keabadian.
Timur selalu berdiri sendiri dalam kemandiriannya. Berdiri dalam persatuan yang tak terpecahkan. Kesatuan para pendobrak yang memilih diam demi terlahirnya kemajuan, pertama-tama, kemajuan paradigma. Yang berseberangan dengan paradigma kolektivistis. Asyiknya, ada ketakutan baru, yang mematikan metode meragukan kita. Kualitas keraguan epistemis direduksi demi melahirkan pilihan yang melayani kesenangan massa. Pantang bahwa keraguan itu jadi satu titik yang dipakai demi memaksa diri keluar dari sistematisasi kenyamanan itu.
Akhirnya kita tahu kalau Bali begitu mandiri. Justru Bali jauh lebih terkemuka dibandingkan bangsanya sendiri. Tak lain tak bukan, Bali tahu artinya kemandirian yang lawan arus. Mereka juga tahu kalau massa —atau paradigma kolektif, tak senantiasa sebagai titik, yang darinya mereka berpijak. Ada titik futuristik yang mereka simpan dalam sukma. Titik melawan yang lampau, merelakan pergi kenyamanan yang sedang digauli massa. Ramai tak selalu berintegritas. Mungkin lebih mempercepat jurang antara kehidupan dan kematian pribadi dalam kehidupan itu sendiri. Banyak orang jadi heran. Heran pada pilihan, heran pada meragukan.
About Arnoldus Nitapleat
Templatesyard is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design. The main mission of templatesyard is to provide the best quality blogger templates which are professionally designed and perfectlly seo optimized to deliver best result for your blog.
Ramuan yang sungguh renyah. Enak setelah "dicicipi"
ReplyDeleteMantap Kk. Jangan lupa terus dicicipi suguhan-seguhan selanjutnya.
Delete