Bapa, sudah lama sekali kau tak pesonakan ranummu
Ibu, terlampau uzur pencarian nafkahmu
Sebilah belati yang kau pakai tuk obati kekalutanmu
Biar darah, asal bahagia itu punyamu
Katamu
Itu
SIANG terasa sejuk. Aroma debu nan suntuk. Mungkin dia begitu penat serentak sesak saat hidung membauinya. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan kita sampai puncak. Saya harap kita jumpai orang-orang ataupun pemandangan fotogenik di atas sana", usul Argon dengan senyum sumringahnya. Harapnya juga agar di atas sana akan ada sebuah harap yang tak perlu diminta. Harap yang menjanjikan air mata. Harap kalau siang itu benar-benar sejuk.
"Kita sampai di sini saja," protes teman seperjalanannya Argon, ketika mereka sudah mencapai titik terakhir dari sebuah menara, yang sering disebut tower itu. Dengan wajah yang agak lusuh, Argon mencoba mengajak teman perjalanannya untuk berani selangkah lagi mendekati sebuah bale-bale bambu. Ada seorang kakek yang asyik menari-nari di tengah alam mimpinya, dengan permadani yang terbuat dari bambu, dilatarbelakangi pepohonan bambu, serta kemiri, yang menambah kaharmonisannya dalam permainan itu. Kakek itu sedang tidur, dan asyik bermimpi.
Ada hasrat untuk kembali, tetapi hasrat untuk tetap itu mendominasi khazanah siang sejuk itu. Tanpa ada maksud untuk menyadarkan kakek, keduanya bergerak mendekati bale-bale itu.
Usianya 74 tahun. Sambil menunggu istrinya, Kakek itu bercerita sekelumit tentang pemilihan tempat, yang bisa dibilang sangat strategis, juga fotogenik. Namanya Kakek Darius Mundus. "Aduh, anak-anak, jangan marah. Kakek tak punya apa-apa untuk disilakan kepada kamu berdua. Oma masih dalam perjalanan dari gereja tadi."
"Tak apalah, kek... Kami bukan pigi bertamu juga. Kita santai-santai saja. Kita foto bareng dulu ka, biar buat kenang-kenangan", sambar Argon selepas Kakek Darius berkisah. Senyumnya lebar, selebar suasana yang menyambut kedatangan kedua pelancong ini.
"Saya suka sekali musik, apalagi musik kampung. Dulu, waktu masih muda, saya bersama teman-teman lain, membawakan nyanyian-nyanyian di berbagai kampung. Dulu, musik kampung sangat laris, apalagi saat mengiringi lagu-lagu di gereja, atau di pesta-pesta", kenang Kakek Darius. Sekali lagi, ia meminta maaf kalau tak sempat mencicipi umbi-umbian yang ditanamnya sendiri di belakang rumah sederhananya, tepat di atas ketinggian sebuah perkampungan mungil-bervista, yang senantiasa puaskan asa.
Kau Suka Fermentasi? (Fermentasi Rindu tu la)
Awalnya, kami suka bercengkerama laiknya seorang anak yang baru tahu menyebutkan kata 'bapak'. Sangat melonjak kegirangan. Kami diam, dan tak pandai lagi berkecumik mesra ketika mata kami harus memilih untuk dikalahkan suguhan fajar, sebelum benar-benar disuguhkan kopi hangat pada bukit tinggi tak berurat. Padat, tapi tak penat. Riit.
|
Fajar: Dia harus berani menawarkan dua pilihan --atau dirinya, atau kopi hangat. Dan kami semua tak tertarik untuk memilih satu. Kami pilih dua-duanya. |
Kami harus membuka mata, sebab saat awal menjejaki kaki pada bukit ini, kami hanya punya pilihan perasaan yang sama; jalanannya sangat mencekam. Kami harap, jalan yang mencekam itu hanyalah tiras-tiras yang kebetulan lengket di ingatan kami. Tapi, kami harus mengingatnya seperti kami mengingat bahwa ada jalan terjal menuju gunung Tabor. Kami mau ke Tabor. Barang sejenak membakar obor, menyulut hasrat untuk maju.
Jumat, 18 Oktober 2019
Kaki-kaki tak bisa tenang karena harus beranjak selangkah lagi menuju proses yang selalu masih belum. Selangkah lagi menuju tanah yang asing bagi kami. Mungkin kami akan tidak asing lagi kalau kami berani memanjat tebing-tebing terjal di atas sana. Kami berpergian hari ini. Pergi mengunjungi buana baru. Asyik bukan.
Sekali lagi, kami harus mendaki, sebelum benar-benar menjejaki kaki kami di atas sana. Kata orang, pendakian ini akan membawa kami pada sebuah pakem penuh dengan cerita-cerita yang buat kami benar-benar anteng. Kami hanya bisa mencerap dalam diam, berimaji hanya pada pinta agar kami tiba aman-aman saja. Tapi, syukurlah, kami mendaki dengan menggunakan truk andalan kami, truk manis namanya.
Senja dalam pendakian menantang kami. Ia tertawa karena tahu kalau kami sedang deg-degan pada liku-liku dan terjalnya jalan itu. Selalu ajek untuk membuat kami getir.
Kami tiba.
Dan selalu masih ada yang belum. Kami belum kembali lagi ke rumah. "Jangan dulu pikir kembali. Pikir dulu dan rasakan dulu aroma-aroma di sini. Siapa tahu akan terlampau jatuh cinta pada tempat baru ini", cetus seseorang dalam keremangan malam.
|
Dalam balutan busana malam. Mungkin seseorang itu adalah salah satu di antara yang membalutkan diri pada kehangatan busana malam ini. |
Sabtu, 19 Oktober 2019
MALAM SUDAH BERLALU, dan malam masih tak mau lalu-lalu juga. Kapan malam berlalu? Pagi saja belum berani lahir, apalagi malam mau datang.
Semalam, ada yang bernyanyi menghibur dingin hingga malam larut. Dengar-dengar, para frater dan umat yang tinggal di KUB St. Maria Ratu Kontas tuh. Mereka bernyanyi lagu-lagu nostalgia. Yang lebih sendu lagi, ada yang pesan lagu-lagu Timor Leste, Bapak Yan. "Dulu pernah tinggal di Timor Leste".
|
Beliau bercengkerama puitis Pada akhir perjumpaan, beliau menitipkan pesan pada kami.... |
Suatu Hari
Hari ini adalah kemarin
Hari ini adalah suatu hari; penuh mimpi dan harapan. Penuh persaudaraan. Berkumpul untuk apa, saya kurang tahu.
Jadilah suatu hari itu menjadi kenyataan.
Kisah kami belum habis pada malam temaram lalu.
Ayam masih murni untuk berkokok membangunkan, sebagai ganti alarm handphone masing-masing yang saling bersahutan. Kami suka pada kokokan ayam. Embun dan rinai-tirasnya bersama fajar, kompak berkata pada kami bahwa hari sudah pagi, dan mesti berpergi. Pergi kepada hari yang tak pandai berelegi.
Kami sudah bersepakat hendak mengadakan kerja bakti bersama umat di lingkungan kapela dan sekitarnya. Dengan hasrat yang tak pernah padam untuk memandang yang baru, parang, sapu dan sabit kami ayunkan. Tangan-tangan pun turut membubut rumput-rumput yang rindu tuk dicabut. Memang susah kalau letak kapela tepat di atas puncak, yang di atasnya, kami dapat memandang bestari yang anggun pada pantai Selatan -Lela dan Sikka. "Kapan ke sana lagi, melepaskan sebersit asa, sekedar ber-rendezvous pada gulungan-gulungan ombak yang genit", harap Fr. Carlo dan Fr. Isman, ketika mata mereka tak pelak menatap ke arah Selatan.
|
Kk no berdua cool parah. Apalagi dengan jempol dan dua jari di depan dada. Yang memandang pasti bilang tak kalah dengan coolnya pantai Selatan. |
|
Loka yang sederhana ini, membuat kami merasa kalau ebonit-ebonit yang terbakar di hutan tak mampu memutuskan hasrat burung-burung nuri untuk tetap tinggal dan berteduh di balik hitamnya. Huma ini memberi kami inspirasi baru untuk sejenak menyinggahi suasana kapela di sebelahnya. |
Minggu, 20 Oktober 2019
Lonceng sudah berbunyi tiga kali sejak seduhan terakhir kopi pagi berakhir. Tepat. Semua orang yang mendengar bunyi mungil itu tahu ke mana, setelah seduhan itu, mereka pergi. Tak akan ada seorangpun yang kan bertanya apa maksud bunyi itu. Mereka tahu kalau tiga kali berarti beranjak meninggalkan kepenatan malam lalu, dan membawa pagi yang penuh harapan itu pada Dia yang membangunkan mereka semua.
Ratusan orang berbondong-bondong menyeretkan kaki mereka pada lorong-lorong yang sesak dipadati kaki-kaki yang sedang merindukan harapan. Kata mereka, itulah saat yang paling indah sebab mereka saling menukar asa di sana. Di Kapela, mungil, indah nan eksotik. Ditemani fajar yang masih akan beranjak remaja, mereka memasuki, satu demi satu, lorong-lorong penuh purnama di depannya.
Lonceng kecil memamerkan keriuhan yang syahdu, pertanda bahwa semua harus berdiri, mengarahkan seluruh harapan yang dibawa kepada Dia, Sang empunya kabul.
Kami suka suasana ini. Suasana yang tidak gaduh, suasana yang tak menyayat panggilan. Kami menikmatinya. Bahwa kebimbangan yang sempat mengunjungi kami itu tak punya arti lagi. Sebab kegaiban pagi ini membangunkan kami bahwa berharap itu suatu keharusan. Kami haus akan harapan.
Perayaan Ekaristi, sebuah perayaan liturgi cinta kasih, dirayakan dengan amat elegan. Kami bernyanyi bersama, memuji Sang Pencipta yang kami imani. Kami berbagi kasih dalam iringan doa dan pujian, yang mengharuskan kami tuk tahu dan pandai mencintai sesama manusia, bukan kata-kata manis para pengkhotbah, tapi perbuatan sederhana yang kerap memantik ritus-ritus romantik.
Lorong itu tetap bernyala, memantulkan cahaya derap langkah para manusia yang haus akan Tuhan. 'Aku rindu akan Tuhan, aku rindu akan kedatanganMu, ya Tuhan'. Semoga adventus selalu menggema dalam sanubari rapuh kami. Agar kami tahu, dari siapa kami ada, dan kapada siapa kami tuju.....
Matahari sudah dewasa. Sebentar lagi akan uzur. Kami kembali pada rumah masing-masing, tuk sekedar menyeruput ampas kopi yang tersisa pagi tadi. Nikmat sekali, apalagi dibarengi jagung titi, khas Flores Timur. Kembali ke rumah tuk merayakan hari Minggu. Merayakan sukacita dan cinta kasih yang kami timba pada sumurnya Yesus. Bersama serpihan air kopi yang masih melekat di gelas, kami bercengkrama mesra.
Matahari benar-benar sudah uzur. Kami tinggalkan seluruh keceriaan di rumah masing-masing, tuk kembali ke loka depan Kapela. Perhelatan bola volley akan segera dimulai. Berbekalkan aroma tuak nan menggiurkan, kami berjalan seolah meneliti jumlah kerikil di sepanjang jalan yang kami lalui. Kami tahu ini puncak ekstasi tertinggi; ketika kami tahu rasanya tak menjadi diri sendiri. Kami jadi bayang-bayang diri kami sendiri.
Para pemain bola volley mempersiapkan diri untuk beradu nasib bersama putera-putera terbaik Riit. Mereka punya semangat yang melejit, kami punya segudang rindu untuk tenggelam dalam syahdunya permainan.
Permainan selalu menyisakan kemenagannya tersendiri sebab hasil menang atau kalah bukanlah prioritas utama dalam pertandingan hari ini. Kami bertanding sebagai momentum untuk mencapai keharmonisan yang sejati dalam sebuauh pertandingan itu sendiri.
TEPAT, setelah pertandingan, kami semua berkumpul di tenda sederhana untuk santap malam bersama. Rupanya waktu sudah beranjak, dan kami semua tak menyadari kalau hendak berpamitan. Santap malam diisi dengan tembang-tembang manis oleh para penyanyi profesional guna mencairkan suasana terakhir. Sebenarnya, siapa pun yang bernyanyi malam itu, dialah penyanyi profesional.
Sambutan demi sambutan disampaikan, baik dari pihak kami, maupun dari pihak umat Riit sendiri. Satu hal yang amat menarik pada penghujung perjumpaan ini ialah pesan-pesan yang dilagukan kepada kami. Judulnya 'Ibu'. Kami benar-benar tersentuh.
Semoga suatu hari itu tetap abadi.......
Kami pulang kembali, sebab hidup selalu berarti kembali pulang . Kata RIIT: Rindu Ingin Tinggat tetap bergema..
No comments:
Post a Comment