Cerpen (3)

Kunang-Kunang di Malam Minggu

(Karya: Chan Setu)

SAAT-SAAT terakhir menjelang pernikahan, Rian menyempatkan dirinya untuk bertemu dengan Ibunya di perkuburun. Seperti seorang anak usia dua hingga lima tahun-nan Rian merajuk bahkan memaksa sepi dan ketiadaan untuk kembali dilahirkan. Beberapa kali, air mata jatuh menghitung tangis yang berada di seluruh dirinya.

Ibu, baru kemarin kita merayakan sweetseveten Liany. Dan sekarang, di hari berbahagiaku ini ibu meninggalkan aku dan Liany seorang diri tanpa saksi. Jangan tanyakan di mana ayah, bu.

Cukup ibu hadir dan menyaksikan senyum di bibirku saat-saat janji diucapkan dari bibir yang berkali-kali ibu cubit sewaktu masih kecil dulu. Ketika, dengan lantang dan lancarnya bibir-bibir kecil ini mengeluarkan kata-kata kotor.

Bahkan, ibu masih ingat bagaimana air mataku ketika aku mengeluarkan kata-kata kotor teruntuk seorang ibu tetangga rumah kita yang sewaktu-waktu mengata-ngatai ibu sebagai seorang pengaduh, pengutang dan sebagainya.

Apakah benar, waktu itu aku salah mencaci makinya? Habis aku sebagai anakmu tak tahan dengan umapatan dari ibu itu. Mengapa ibu diam? Tidakkah ada kesempatan buat ibu untuk membalasnya? Dan bukankah dia sendiri yang tiap hari menjajah tubuhnya ke sana – ke mari bahkan mungkin ibu masih ingat ketika ia datang merayu ayah di depan ibu, aku dan Liany.

Ayah dengan pasrah dan nafsunya meninggalkan kita.Tak ada satu ucapanpun dari mulut yang sering mengunyah sirih pinang itu. Diam dan menangis lalu memeluk kami, seperti rindu dan ketakutan akan kehilangan. Waktu itu, ibu hanya bisu dan tak ada satu pun jawaban hingga saat ini.

Di hari pernikahanku ini, apakah harus aku menagih jawaban darimu, ibu. Mengapa kau tetap diam, bu? Bangun, bu. Bu, bagun.

Suara teriaknya pecah bersama air mata yang menghitung tangisnya. Jas, dasi dan sepatu fantovel yang telah mengilap lusuh di bawah bias derai air mata. Di perkuburan itu, Rian seorang diri terpekur oleh bayangan masa kanak-kanaknya. 

Menghitung kemesraan bersama ibu dan adiknya, Lianny. Hingga menghitung kebenciaannya terhadap ayah mereka. Ayah yang telah hilang tenggelam ke dalam kedengkian, ke dalam mata yang begitu rapuh namun masih begitu membencinya.

“Terima kasih ibu. Aku dan Liany menyayangimu. Jangan tanyakan kepada kami di mana ayah. Tinggal ibu dan hanya ibu dalam lubuk hati kami. Selamat jalan Ibu, doakan aku dan Liany, juga doakan pernikahan aku dan Mira. Semoga abadi hingga maut memisahkan kami. Sampai jumpa di surga nanti.”

Itulah doa terakhir Rian ketika pintu depan gereja terbuka. Ia bergandengan dengan Mira, calon isterinya dan diapiti oleh Liany, adik semata wayangnya, tanpa kedua orang tuanya. 

Di pintu masuk itu, seorang Imam tersenyum elok dan agung, di belakangnya telah dipadati sanak saudara, sahabat, kenalan, anggota keluarga, teman-teman Liany. 

Para ajuda dan para malaikat kecil terasa menawan dan cantik dibalut gaun putih dan bersih.

“Mira, surga kecil itu begitu indah. Aku ingin selalu menjagamu. Selalu.” Bisik Rian di telinga Mira.

****
Malam minggu di bulan purnama, Rian sedang mengaduh pada bintang, katanya, "Di antara ribuan bintang di langit sana, pada cahaya yang paling mesra ada ibu yang sedang menatap penuh tangis kepada anak-anaknya."

Itu yang pernah didengar Rian dari Kakeknya sewaktu ia masih kecil. Ia mengaduh hingga gaduh. Air mata berserakkan pecah di bawah lantai. 

Mira isterinya hening di dalam kening yang mulai kerut. “Sayang, Ibu sedang tersenyum menatap kita.” ucap Mira berusaha menenangkan hati suaminya, Rian.

Malam minggu terasa sepi, meski di ruang keluarga ada Lianny yang sedang asyik mengerjakan tugas online sebagai siswi Sekolah Menengah Atas pada salah satu sekolah swasta di ibu kota.

Mira memahami situasi sang suami. Bukan pertama kali dan bukan hal baru bagi Mira untuk memahami situasi Rian, suaminya. Mira menjadi satu-satunya wanita yang mampu meluluhkan hati Rian, sekalipun ia sedang marah. Belenggu yang masih tersisip di dalam saku hatinya membuat Rian belum mampu memahami kehidupannya.

Kepergiaan ibu tanpa pesan. Ayahnya yang lebih mementingkan nafsu kelaki-lakiannya ketimbang melihat air mata ibu dan tangisan dari kedua anak yang telah dilahirkannya. Semuanya berkecambuk membentuk rumah tersendiri di dalam kehidupan Rian.

Malam minggu, purnama begitu terang. Embun di atas genteng begitu gemerincing jatuh menjuntai di bawah rumput. Lampu-lampu lorong sepanjang kompleks guru tempat tinggal mereka begitu bersinar. Kopi hangat yang telah diseduh dari bibir istrinya. 

Mira begitu romantis, aroma nyengatnya membakar hati Rian begitu teduh. Ditemani sebatang dupa yang sempat diizinkan Mira, tapi terasa begitu tawar pada bibir Rian.

Malam itu, sepi di ruas-ruas jalan kompleks terasa begitu nikmat. Anak-anak muda yang sering duduk main kartu di pos kamling barangkali sedang asyik mengerjakan tugas atau sedang asyik mendengukur di atas halar-halar tempat tidur rumah mereka.

Orang tua-orang tua yang sering bertamu di rumah Pak Klemens begitu kosong, barangkali siaran sinetron Ganteng-Ganteng Serigala di SCTV telah tamat. Ibu-ibu yang sering mencari anak-anak mereka di depan gang tak lagi terdengar suaranya. Tinggal, suara jangkrik dari luar jendela yang menemani malam sepih dan sunyi itu.

"Kak Rian, ini ada tugas dari sekolah tentang mewawancarai seorang penulis. Soalnya begini kak, wawancaralah seseorang yang memiliki pengalaman dalam menulis (sastra) dan yang pernah tulisan-tulisannya dimuat di surat kabar-surat kabar baik cetak maupun online tentang proses menulis, pengalaman dalam menulis, karya-karya yang dihasilkan; bagaimana cara menghasilkan sebuah tulisan; apa yang memotivasi beliau hingga menulis; apakah ada tips-tips dalam menulis yang barangkali bisa diberikan sebagai bekal bagi kalian (peserta didik)." tanya Lianny memecahkan keheningan di antara Rian dan Mira.

"Akh, Lianny kakak bingung mau jawab bagaimana. Coba kamu tanyakan pada kakak Iparmu itu." jawab Rian.

“Hem sayang, kamu ini ada-ada aja. Kan yang punya pengalaman dalam menulis kamu toh sayang. Apalagi selain memiliki pengalaman, kamu juga rajin menulis dan mengirim karya-karyamu kepada media-media. Jadi pas sekali jika adikku yang cantik menanyakan langsung kepada kakaknya.” Sambung Mira, dengan nada kelakar.

"Owh iya Lianny. Kamu belum tahu apa yang membuat kakak jatuh cinta dengan kakakmu itu, bukan? Sewaktu kakak masih kuliah dulu, kakak hobby sekali baca buku, baik fiksi maupun non-fiksi. Bukan hanya buku yang kakak baca, bahkan koran dan majalah-majalah yang menjadi langganan kampus kakak dulu sering juga kakak baca setiap jam kosong di perpustakaan atau di kantin-kantin sekolah.

Dan pada suatu pagi, kakak ingat hari itu, hari selasa di bulan Maret 2017 saat itu kakak masih berada di bangku kuliah semester delapan. Ya sedang sibuk-sibuknya kakak menulis skripsi waktu itu. 

Saat kakak Membaca Surat Kabar Harian Umum Flores Pos edisi minggu itu, kakak begitu tertarik pada kolom sastra hari itu. ketertarikan itu jatuh pada sebuah puisi yang berjudul 'Teka-Teki Seorang Gadis.'

Kakak masih hafal betul puisi itu yang terdiri dari dua bait puisi dengan sepuluh baris dalam dua larik sajak.

Setelah membaca, kakak begitu penasaran dengan penulis puisi itu. Entah mengapa, rasa penasaran itu seperti candu dan rindu yang akhirnya menghantar kakak untuk selalu melihat koran-koran dan majalah-majalah di kampus setiap minggu untuk membaca karya-karya dari penulis itu.

Menariknya ketika kakak hendak Yudisium semester itu, baru kakak tahu bahwa ternyata sang penulis se-Unniversitas dengan kakak dan dalam fakultas yang sama hanya beda jurusan. Lianny, mau tahu siapa penulisnya? Dia adalah kakakmu, Rian," cerita Mira sambil tertawa kecil saat mengenang masa-masa itu.

“Tapi, kakak Ipar. Boleh kan kalau kakak membacakan puisi kakak Rian. Soalnya saya penasaran ni, hehehe.” Tanya Lianny, lanjut.

“Akh, jangan-jangan. Itu sudah lama sekali dan puisinya sama sekali tidak menarik. Toh kakak tulis waktu itu, hanya sambil lalu begitu saja. Bahkan kakak kaget loh, ketika tulisan tanyang di Surat Kabar Harian Umum Flores Pos” jawab Rian.

Tapi kan, kak. Saya mau dengar, tidak salah kan? “Tanya, Lianny lanjut.”
Baikla Lianny, kakak akan membaca tapi sejauh kakak masih ingat. Semoga bisa. Hehehe.

“Teka-Teki Seorang Gadis” 

Dari gang-gang kumuh, berserakkan aroma parfum

Gincuh yang meyalah pada bibir-bibir pintu kos-kossan
Bertebaran keluar, satu dan dua orang lengak-lengok menari-kan pinggul
Lainnya, asyik menenum alis matanya dengan berbagai motif pensil alis
Cermin jadi karat, meng-kirat – kerat, prakkk, retak. Pecah. 

Musim-musim bergulir, ayah dan ibu di tanah lahir,
Berjanji sumpah, debu dan keringat berpiluh aduk terasa karam.
Legam kulitnya dilalap mentari.
Beberapa pecahan mendesir jatuh,
Bu, bagaimana anak kita malam ini? Jatuh pertanyaan, terbawa air mata. 

Teka-teki jatuh seperti sioTender menender, lengak-lengok tumit mengunyit kuning di kening
Ayah dan ibu, maafkan uangmu yang habis didandan rias tubuhku di kota.

         Baca Juga: Kasur 

Air mata jatuh. Lianny, telah menangis. "Kakak, aku rindu Ibu". Suara Ryan, getar-getir menahan tanggisnya. Sedang Mira pun turut menangis mengimbangi Lianny. Ketiga orang itu saling pecah dalam tanggis.

Air mata menghitung bulir-bulir embun di bawah nipan secangkir kopi. Kopi pahit telah lama dicuri oleh malam dalam aroma sepih gang-gang kompleks. 

Tangis yang pecah berserakkan di sepanjang ruas gang-gang kompleks. Mengaduh pun gaduh. Tercecer mengapung di atas ubin. Sepasang suami saling menguatkan tak mampu menahan air mata dan tangis sang adik, Lianny.

Malam minggu, beberapa orang di daerah lain, barangkali sedang berada dalam harmoni sebuah keluarga. Mungkin juga yang lain sedang duka dalam tangis yang sama. Beberapa yang lain, mungkin tertawa ria, mengabaikan luka dalam kerumunan massa. 

Menyembunyikan tangis, sedang air mata mereka telah jatuh ribuan bulir. Rumah ibu telah direnovasi, kelak Lianny menjaganya kekal seperti ibu merawat keduanya.

"Sayang, ajak Lianny bobo. Untuk tugasnya, biarkan saya yang kerjakan. Dan esok tinggal ia kirim ke Ibu Susi guru Bahasa Indonesia mereka," ucap Rian.

Usai tangis. Lianny dihantar kakak Iparnya terlelap dalam mimpi malam minggu. Sedang Mira dan Rian menghitung kunang-kunang yang datang hinggap di atas gelas kopi yang baru saja diseduh lagi oleh Mira.

“Sayang, air mata ibu, ada di depan kita,” ucap Mira.

Nita Pleat, 2020

Tentang Penulis

Chan Setu adalah putera bungsu dari lima bersaudara, kelahiran Detusoko 29 April 1998. Penulis merupakan seorang mahasiswa STFK Ledalero. Saat ini menetap di Wisma Arnoldus Nita Pleat, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Maumere. Beliau merupakan penulis buku Antologi Cerpen dan Puisi Embun Pada Sepasang Mata Lebam dan merupakan karya perdanannya. Fb: Pirres Setu, WA/Telepon: 082236035772.

Cerpen Lainnya: Air Mata Kemarau