Heran yang Futuristis
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Beranda Nitapleat; menuju kabar dan informasi tentang rumah Nitapleat (surga tempat mata air akan membasuh air matamu). Salam dari kami semua.
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Rapuhnya Kultur Perjumpaan dan Solidaritas Bersama
Vincent
Wedjo
Dok. Aldo Sila |
Ikhtisar
Realitas kekerasan akibat rasa curiga dan keengganan untuk mengapresiasi perbedaan menghantar orang kepada sikap intoleran dan perpecahan antarmasyarakat. Penyebab, sekaligus akibat nyata dalam kultur perjumpaan kita yang rapuh; perjumpaan interkultur, inter-religius, dan perjumpaan antar-ideologi dan generasi ialah bahwa ada kecenderungan untuk menguasai orang yang berbeda dengan kita.
Rapuhnya kultur perjumpaan membawa kita pada otonomi diri yang angkuh; saya adalah saya, dan anda adalah anda. Saya dan anda bisa menjadi kita apabila rasa solidaritas bersama itu menyata dalam sikap tanggung jawab sosial.
Paus Fransiskus, dalam dokumen Patris Corde, menggambarkan peran St. Yosef sebagai seorang tokoh sentral dalam kesederhanaan hidup. Baginya, kesederhanaan hidup itu tidak dimiliki semua orang, tetapi sungguh tampak pada “orang-orang yang biasanya terlupakan” (Patris Corde).
Dalam dan melalui hidup yang sederhana, kita belajar untuk mengolah kerapuhan individualistis kita menjadi sikap solidaritas yang tidak basa-basi atau disetting begitu manis agar terlihat harmonis. Solidaritas dan persaudaraan manusia universal tidak dibatasi oleh perbedaan baju, kulit, ekspresi, pemikiran dan makanan.
Demi melahirkan solidaritas bersama, kita tidak perlu menciptakan massa yang besar, cukup saja dimulai dari realitas hidup kita setiap hari —solidaritas dengan tetangga, misalnya.
Kita Sedang Rapuh
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), pada 30 November 2020, mengutarakan sikap terhadap kekerasan yang menghilangkan nyawa di Lewonu, Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Akhir dari sikap KWI sendiri itu berupa ajakan bersama untuk memerangi terorisme dan harapan agar peristiwa ini tidak melemahkan semangat kita untuk hidup harmonis antarsesama umat beragama di Indonesia.
Sebetulnya, masih banyak peristiwa yang menggambarkan ketidakharmonisan dalam hidup bersama. Orang sedang menjadi rapuh, baik fisik, maupun psikis sebab bukan saja mereka di sana, melainkan juga semua orang yang sedang hidup dan yang turut merasakannya sebagai bencana bersama.
Sebagai sebuah bencana bersama, peristiwa ini menggoncang semua orang. Syukurlah apabila orang tidak terprovokasi sensasi-sensasi picik dan tidak menciptakan kesenjangan antarmasyarakat.
Bila yang terjadi adalah sebaliknya, barangkali tendensi-tendensi separatis akan lahir dan berkembang sampai ke pelosok-pelosok. Ia bisa menjadi virus yang berkembang dengan pesat, dan inangnya adalah orang-orang yang pemikirannya masih terkungkung pada zaman dan situasi tertentu.
Banyak orang yang menjadi fanatik karena peristiwa-peristiwa semacam ini, baik secara ideologis, maupun dalam sikap dan tindakan. Bahayanya ialah bahwa bila terpicu ideologi-ideologi miring, bukan saja keharmonisan yang tidak akan pernah terjembatani, melainkan juga kehidupan antartetangga pun penuh kecurigaan dan keretakan.
Orang tersentuh, dan bukan hanya tersentuh, ada yang terprovokasi karena isu-isu sensitif yang mereka alami. Orang bisa bertindak anarkis ketika rasa kemanusiaannya (sense of humanity) dilecehkan. Orang Papua, misalnya, melakukan demonstrasi besar-besaran dan serentak di hampir seluruh Indonensia karena terlukanya rasa kemanusaian mereka.
Keadilan dan kesetaraan di Indonesia sedang menjadi sorotan banyak orang sebab kerap menuai problem. Pengejawantahannya pun dilaksanakan dengan praktik ketidakadilan, dan melahirkan segregasi dan diskriminasi di dalam masyarakat.
Dok. Aldo Sila |
Paus Fransiskus menerbitkan dokumen Patris Corde pada peringatan 150 tahun St. Yosef sebagai Pelindung Gereja Semesta. Tujuannya supaya kita tidak lupa bahwa ada orang biasa dan sederhana yang memiliki peran sangat penting dalam kehidupan Sang Penyelamat.
Dasar ajakan Paus Fransiskus ini ialah untuk melihat bahwa “hidup kita dijalin bersama dan ditopang oleh orang-orang biasa –yang biasanya dilupakan— yang tidak muncul pada berita-berita utama surat kabar-surat kabar dan majalah-majalah, atau juga dalam catwalk besar dari pertunjukan-pertunjukan terakhir, tetapi tak diragukan lagi,…” (Patris Corde).
Orang-orang biasa itu memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh mereka yang kerap disoroti publik karena ketenaran dan sikap individualistisnya.
Ada beberapa hal menarik yang dapat kita lihat bersama. Pertama, bahwa ada begitu banyak orang kecil dan sederhana yang hidup jauh dari perhatian banyak orang. Ini bukan berarti bahwa mereka tak memiliki peran bagi keberlangsungan hidup komunitas umat manusia, atau tak memiliki andil yang cukup untuk melahirkan sebuah sejarah peradaban bersama.
Santo Yosef, pribadi sederhana yang memungkinkan terlaksananya kehendak Allah di dunia. Pribadinya menjadi representasi nyata kehadiran Allah dalam diri orang biasa; Allah yang sungguh-sungguh mencintai manusia dan segala aspek kemanusiaannya.
Kedua, Santo Yosef menjadi “seorang bapak dalam bayang-bayang” (Patris Corde). Realitas kultur kita yang cenderung mengagung-agungkan laki-laki dikritik secara halus oleh Paus Fransiskus melalui penghormatan khusus kepada St. Yosef. Sebagai pribadi yang hidup di tengah budaya patriarkat di kampungnya kala itu, St. Yusuf tidak menggunakan otoritas kelaki-lakiannya untuk meninggalkan Maria begitu saja –meski hal itu bisa saja terjadi.
Yusuf malah meninggalkan kemapanan patriarkatnya untuk menjadi pribadi ‘belakang layar’, yang berjuang untuk keselamatan Maria dan Yesus. Konteks sekarang, banyak yang menjadi orang belakang layar, semisal orang pinggiran; kaum migran, minoritas, perempuan, LGBT, dan kelompok-kelompok rentan lainnya.
Pada tahun 2018, Komsos Keuskupan Agung Ende merilis sebuah film dokumenter berjudul, “Magepanda: Unity in Diversity (Potret Indah Toleransi Beragama di Bumi Nusa Bunga)”. Film ini menampilkan dialog kehidupan orang-orang Magepanda, daerah Utara Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Dialog yang mereka buat bukan merupakan sikap basa-basi, melainkan praktik hidup yang sudah menyejarah di sana, jauh sebelum idea tentang toleransi antar-orang beragama itu muncul. Apa yang menyatukan perbedaan-perbedaan di sana? Sense of belonging sebagai sesama manusialah yang membuat mereka bersatu, serentak yang memungkinkan dialog kehidupan itu terlaksana.
Bahwasannya nilai kemanusiaan universal itu lebih tinggi. Agama, budaya dan ideologi dipakai sebagai sarana –sumber dan inspirasi– agar kemanusiaan itu memiliki tempat yang semestinya. Tujuannya bukan melahirkan sikap menyembah manusia, melainkan demi membangun suatu kesungguhan untuk menghargai sesama manusia sebagai saudara dan saudari.
“Dunia menolak para penguasa, yakni menolak mereka yang ingin memanfaatkan sikap posesif terhadap orang lain untuk mengisi kekosongan mereka sendiri; menolak mereka yang mengacaukan otoritas dengan otoritarianisme, pelayanan dengan penghambaan, perlawanan dengan penindasan, amal kasih dengan ketergantungan pasif pada bantuan, kekuatan dengan perusakan” (Patris Corde).
Dok. Aldo Sila |
Kesimpulan: Kita Buat Apa?
Hemat penulis, dialog yang komprehensif dan bermartabat itu tidak meyoalkan benar-salah, tetapi lebih kepada solidaritas bersama untuk melahirkan hidup yang lebih harmonis. “Solidaritas bersama itu merupakan sebuah prasyarat martabat manusia, dasar suatu keteraturan, dan suatu pendekatan yang berpusat pada manusia untuk mengembangkan, dan memiliki peran sebagai penghubung semua perbedaan yang ada” (Intercultural Living, Vol. 1, 228). Kita dapat belajar dari orang-orang biasa, yang kesehariannya tertutup narasi-narasi besar, dan sensasi-sensasi provokatif dari para pemburu otoritas.
Solidaritas bersama merupakan sebuah panggilan yang holistik kepada semua orang untuk menjaga dan melestarikan nilai kemanusiaan kita. Keresahan yang kita alami karena pertarungan-pertarungan ideologi dan kepentingan picik mengharuskan kita untuk berpikir dan bertindak kreatif demi menjaga keharmonisan rumah kita bersama.
Dokumen Ekonomi Fransiskus merupakan jawabannya atas panggilan untuk memperbaiki rumah yang hampir rubuh, dan tentang tawaran-tawaran kreatifnya agar rasa solidaritas kita terhadap orang-orang biasa semakin terpupuk, termasuk terhadap alam, yang dijalin dalam dialog lintas segala batas.
Semua yang meninggal karena memperjuangkan kemanusiaan juga merupakan St. Yosef, yang tidak menjadi bapak karena melahirkan, tetapi menjadi bapak yang senantiasa merawat kemanusiaan secara bertanggung jawab.
Salut buat semua pencinta keharmonisan. Tetap perkuat rasa solidaritas. Keresahan kita tidak seharusnya dibarengi sensitivitas, tetapi dilengkapi dengan solidaritas bersama sebagai sesama manusia yang memiliki tujuan hidup yang sama.
Solidaritas itu mungkin apabila kita membangun solidaritas dalam hidup harian, hidup yang biasa-biasa saja. Small is beauty; yang biasa-biasa itu akan punya makna bagi banyak orang.