Heran yang Futuristis
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Beranda Nitapleat; menuju kabar dan informasi tentang rumah Nitapleat (surga tempat mata air akan membasuh air matamu). Salam dari kami semua.
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Suatu senja, sebelum mentari berpamitan kepada bumi untuk beristirahat, aku duduk berpangku kaki di kursi tua yang diletakkan di pelataran rumah. Sambil duduk meneguk kopi pahit yang dibuat oleh tangan kasih ibu, aku bercurhat bersama rintikkan air mata hujan yang saat itu sedang membasahi pipi bumi. Tiba-tiba mata kecilku tak sengaja melihat setangkai mawar di depan pelataran rumah tetanggaku.
Mataku tak pernah berpamitan dari jiwaku yang lapuk untuk memandangnya, hingga hati tak henti-henti memuji-muji keindahannya, dan hidungku selalu mencium aromanya. Bunga mawar itu telah berhasil mencairkan hatiku yang sudah lama beku akibat rasa benci dari pengalaman masa lalu yang cukup melukai. Ia telah berhasil mengalihkan perhatianku dan membuat gelora cintaku mekar kembali. Aku terus memandang dan memandangnya, hingga secangkir kopi yang aku genggam sejak tadi tak habis-habis aku teguk.
Dari dalam pikiranku terlintas suatu niat untuk menggengamnya erat-erat, namun waktunya belum mengizinkan untuk melakukan hal itu. Dengan alasan yang cukup simpel bahwa mataku baru melihatnya dan hati baru menggamuninya, sedangkan jiwa belum mengenalnya lebih mendalam. Oleh karena itu detik jarum jam yang ada di dinding kamar kecilku berbisik, “Belum saatnya aku memberikanmu kesempatan untuk mengenalnya.”
Saat malam tiba, aku terus mencium aromanya yang khas dan menggairahkan hidupku. Panggilan ibuku di dapur tak sempat aku dengar. Ibu terpaksa menghampiriku dan menepuk bahuku yang kurus, serta berkata, “Nana, tolong pergi beli gula di kios dulu.” Serentak saya kaget dan berkata kepada ibu, “Pergi buat apa di rumahnya mereka ibu?” Mendengar jawaban itu, ibu langsung tersenyum dan mengelus kepalaku sambil berkata, “Nana pikir apa saja dari tadi?” Saya kaget dan tersenyum tersipu malu, serta bertanya pada Ibu, “Ibu bilang apa tadi?” Ibu ku menjawab dengan penuh kesabaran bahwa, “Nana tolong pergi beli gula di kios.” Saya pun langsung bergegas pergi menuju kios yang letaknya berhadapan dengan rumah tetangga baruku.
Sebagai seorang laki-laki yang dikenal dengan pendiam dan jarang keluar rumah, tentu ibu sangat kaget akan tingkahku belakangan ini, sejak memandang bunga mawar di rumah tetanggaku itu. Bahkan orang-orang di kampungku juga heran. Namun keinginan hatiku untuk selalu menatap mawar itu tak dapat aku bendung. Oleh karena itu aku terus membiarkan hatiku untuk berglora ria bersama jiwaku. Dan sejak saat itu kakiku selalu mengajak aku untuk bertamasya ke rumah tetanggaku itu, dan ibu dari bunga mawar itu sangat senang menerima diriku saat bertamu. Ibunya selalu menyediakan secangkir kopi kepadaku saat bertamu dan ayahnya selalu bersemangat untuk berdiskusi tentang situasi politik. Saat kami menikmati kopi yang diletakkan di atas meja kaca.
Bunga mawar selalu tersenyum. Mekar bibir yang manis. Sifat keluarganya yang begitu rama dalam menerimaku saat bertamu, telah merasuki hatiku dan telah membobolkan jiwaku yang sudah lama terkunci dari kata cinta terhadap wanita, selain ibuku.
Bunga mawar belum lama ada di kampung halamanku. Tentu ia membutuhkan guide untuk mengenal alam di sekitarnya, agar ia dapat bertumbuh dengan subur, sehingga ia selalu dapat memberikan aromanya kepada semua orang di sekitar dan bermekar dengan gembira. Saya cukup kenal dengan keluarganya, sehingga orang tuanya mempercayakanku untuk memperkenalkan alam di sekitar kepadanya. Berawal dari situ, detak jamtungku selalu berdenyut dengan cepat saat berjalan berdua bersamanya. Dan selalu ada rasa rindu untuk terus berjalan sambil berbagi kisah dengannya. Setiap kenangan yang kami rangkai setiap hari selalu aku lukiskan dalam kertas jiwaku dan aku bagikan bersama ragaku, agar kenangan itu tidak luntur bersama usia, melainkan ia selalu berkembang bersama waktu.
Sejak saat itu kisah cinta kami pun mulai bermekaran, dan kami mulai saling memperhatikan dan mengingatkan satu sama lain. Kunjung mengjungi pun selalu kami lakukan dari hari ke hari. Dan kedua orang tua kami pun sudah mulai mencurigai akan hubungan yang kami bangun dari hari ke hari. Hubungan yang semakin erat. Kadang kala juga mereka berkomentar, “ Kamu dua sangat serasi.” Setiap kali mendengar itu kami hanya bisa tersenyum tersipu malu dan menampilkan muka merah bagaikan bara api.
Rasa cemburu mulai timbul dari dalam diri kami masing-masing. Hal ini ditunjukkann saat dirinya bergaul dengan pria lain ataupun saat diriku bergaul dengan wanita lain. Pasti selalu ada pertanyaan tentang kejelasan hubungan antara dia dengan pria itu atau aku dengan wanita lain. Kami dua percaya bahwa dengan melakukkan hal yang demikian pertumbuhan cinta yang sedang bermekar dalam diri kami itu tidak akan gugur, melainkan ia akan selalu bermekar ria bersama aroma kesetiaan. Namun demikian perasaan yang ada dalam diri kami masing-masing belum diungkapkan melalui kata-kata romantis dan penuh makna.
Pada hari minggu bertepatan dengan hari lahirnya yang ke-24 aku mengajaknya pergi ke pantai. Aku memilih waktu yang tepat. Saat senja mulai tenggelam, karena aku tahu bahwa dengan begitu nanti, cinta kami akan selalu tenggelam dalam kesetian dan terbit dalam keharmonisan serta kebahagian. Waktu berpamitan dengan orangtuanya aku mendengar pesan, dari orang tuanya, “Sebentar jangan pulang malam.” Mereka berkata demikian karena dalam sebentar malam akan ada acara ulang.
Ketika tiba di pantai, aku mengajaknya untuk menelusuri pesisir dan berkejaran kian kemari, sambil menanti senja tenggelam. Pada waktunya, senja berpamit, aku mulai menggengam tangannya dan hendak mengutarakan seluruh isi hatiku kepadanya. Saat itu pantai sangat sepi, kami hanya ditemani oleh deruan ombak dan tiupan angin pantai selatan. Cahaya lampu di kampung sekitar mulai bersinar, dan kami hanya di temani oleh lampu langit yang masih setia menerangi hati kami berdua. Namun saat jiwaku berkata tentang cinta, tiba-tiba gerimis tiba dan bunyi guntur berdering. Romantika yang dihambat cuaca. Kami pulang dan kuyup bedua. Aku ingat, gadis itu namanya, MAWAR!
Wisma Arnoldus, 21 September 2020
PUISI-PUISI Sr. Ella Talan, SSpS
AMIGO
Kutemui rindu bermekaran di setiap tuturmu
Kubaca kata-kata manja merayu pada bola matamu
Di setiap jarak dan waktu yang ingin menjenguk pertemuan
Aku hanya bisa menitipkan kabar dan doa
Amigo,
Aminkan terlebih dahulu setiap semoga
Yang kita ciptakan di hadapan Tuhan
Ku titipkan sajak gelisah untuk Tuhan
Ketika tiada lagi kabar yang kutemui
Dalam sujud paling khusuk
Ku pastikan kita bertemu di ujung doa
jangan segan menitip kabar lewat Tuhan
karena segala semoga tidak luput dari amin.
Jika harap jadi gaduh
Jangan menanam benci pada ladang hati
Yakinlah,
pertemuan adalah cara paling sederhana merawat rindu
TETIRAH
Terdiam dalam waktu
adalah manusia yang berkelana
Menyusur lorong tanpa arah
Pada titik ke sekian masih dengan rupa yang sama
Anganku meronta-ronta
Memarahi waktu, mengusik kebisingan
Masih terlalu dini kau kibas embun di dedaunan
Ku ingin lebih lama lagi bercinta dengan hawa pagi
Masih pada titik yang sama
Menyulam rasa dengan enggan bersuara
Tenggelam dalam pekatnya kebisingan
Sepi yang ditenun bumi tidak ditemukan
Hilir mudik nalar di kepala
Mengalir menembusi sumsum keheningan
Berusaha terus merongrong asa
Tak peduli sedang tidur atau berdoakah kau
Suasana tenang beraroma hening nan syahdu
Tidak lagi mendiami raga ini
Gita diri yang polos dan teduh
Tidak lagi kutemukan
di sudut malam yang temaram
dengan harap yang entah
kubisikkan pada pemilik semesta
izinkan kebisingan ini pergi walau sehasta
Tiga Cara Mencintai Secara Damai
Mengingat
kau sering lupa menyelesaikan pertengkaran
Aku
ingin berbisik ke telingamu
Memberitahukan
beberapa cara mencintai secara damai
1/ Percaya
Pandanglah
langit dan bayangkan
Kau
adalah cahaya yang menerpa
Disetiap
percakapan yang terlupa
Dengan
rindu yang selalu membaru dan memburu di dada
Sebab
telah kupilih sungguh mempercayaimu
Dari
jarak terbilang jauh
Seperti
langit kepada bumi
Seperti
gelisah kepada merpati
Untuk
meyakinkan Tuhan yang adalah kepercayaan itu
Kau
tak perlu takut tersesat
Tentang
ingatan yang ranum
Atau
sesuatu yang telah rampung
Sebab
aku selalu kalah dalam keheningan
Juga
dalam segala kemenanganku
Tapi
tenanglah
Aku
telah belajar memahamimu
Meski
terburu-buru
Menanam
hujan dari embun
Membangun
batu dari runtuh
Untuk
menjaga rindu tetap sehat dan berumur panjang
Demi
yang setia
Tiada
usai
Serupa
gerimis bertangga-tangga
Denga
rindu yang selalu melebat dan menghebat
Memburu
asa setinggi terbatin
Aku
selalu mencintaimu
Dengan
tabah dan rahasia
Hingga
antara kucing dan tanduk
Tumbuh
kemungkinan yang tak selesai
Seperti
itulah aku padamu yang tiada usai
***
Semua
pengakuan di atas adalah puisi jatuh cinta padamu
Tanpa
harus melibatkan negara dan agama
Meski
pada akhirnya kau lupa
Kau pasti pahama
Mengapa kita harus berjalan dari arah kehidupan?
Jawaban kita mesti sabar
Sadar ada suara kembali
Berseru jauh di ujung
padang
Lalu kita memandang ke entah yang masih menjadi sesuatu
Barangkali itu panggilan dari gunung
Menandakan hidup harus mulai dari berjalan
Sebab sabda yang paling dingin adalah perintah Tuhan
Untuk bertolak ke luka yang lebih dalam
Dan menabur di situ perihal benih yang jatuh
Ke pinggir jalan
Juga benih paling rindu yang jatuh di tanah subur
Awal mula kehidupan yang masih menjadi rahasia sebuah puisi
Perihal Lupa
Pada sebuah diam
Di musim yang pergi
Aku akhirnya mengerti
Langit ternyata lebih putih dari laut
Lebih setia dari kemarau
Sebab sesungguhnya gelap yang datang memeluk
Tentang janji seribu tahun
Hanyalah ramalan
Tak terhingga yang beralamatkan lupa
Dan kita tak lebih dari doa
Nitapleat itu 'sunyi,' celoteh Fr. Aldo Sila. |
Katanya, mereka sedang mengekspresikan ekspresi natural. |
Siap untuk belajar hal-hal baru di sini. Senyum itu membuktikan. |