Heran yang Futuristis
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Beranda Nitapleat; menuju kabar dan informasi tentang rumah Nitapleat (surga tempat mata air akan membasuh air matamu). Salam dari kami semua.
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Sungguh
Tuhan tak sekejam laki-laki, bukan?
(Oleh : Chan Setu,SVD)
Di kamar, ia merasakan ada yang
mengintainya. Dekat dengannya. Ini malam keempat sejak hari senin kemarin, ia
merasakan ada bayangan mata yang mengintainya begitu dekat.
"Malam itu, Antonella meyakinkan
dirinya bahwa pintu kamarnya telah ia kunci. Kain gorden dan jendela kamarnya
sudah rapat ia tutup dan tak ada celah bagi siapa pun untuk mengintainya,
sekalipun itu nyamuk", batinnya.
Usai membaca sebuah novel karya Ahmad
Tohari, Antonella lekas-lekas membereskan meja belajarnya. Matanya yang mulai
kantuk membuatnya untuk segera terlelap. Seperti biasa, Antonella sudah dididik
oleh orangtuanya agar mencuci kaki dan tangan terlebih dahulu sebelum tidur.
Di atas tempat tidur ia memperhatikan
sekeliling kamarnya tak ada yang mencurigakan. Pintu kamar sudah ia kunci.
Jendela dan gordennya sudah ia tutup rapat-rapat. Lampu kamar juga sudah ia
padamkan.
"Tuhan, terima kasih untuk seluruh
cinta dan kasih yang telah Engkau berikan kepadaku sepanjang hari ini. Untuk
semua pengalaman yang kudapatkan. Untuk semua kasih-sayang yang kuterima. Aku
mohon, jagalah aku malam ini, agar esok aku dapat bangun kembali dan menikmati
anugerah terindahmu. Amin" doanya, membatin.
& & &
Antonella tidak memiliki adik atau pun
kakak. Ia anak tungal dan perempuan satu-satunya di dalam keluarga mereka.
Ayahnya adalah seorang petani dengan status sosial yang penting di kampungnya.
Sedangkan ibunya hanyalah seorang wanita biasa yang hari-harinya adalah
mengurus rumah.
Sebagai keluarga terpandang di kampung,
Antonella selalu dididik oleh ayah dan ibunya untuk mandiri, berjuang dan
berani menghadapi segala tantangan yang ada.
Ayahnya adalah salah satu dari dua atau
tiga orang dengan kepemilikan tanha yang besar di kampungnya, karena itu
ayahnya sangat disegani oleh masyarakat. Meskipun demikian, ayah Antonella
tidak pernah mempraktikkan secara ekstrim sistem-sistem budaya yang kaku. Bagi
ayahnya, setiap manusia punya pilihan atas hidupnya. Sehingga apa pun yang diinginkan
dalam hidupnya jangan biarkan keadaan menjadikannya terkurung apalagi terpuruk
dan pasrah.
Konsep pemikiran ayah Antonella sedikit
lebih maju dari kebanyakan orang-orang tua di kampung mereka. Budaya yang
kental menjadikan kehidupan sedikit lebih lambat untuk dikatakan berkembang.
Adat membelenggu kemiskinan demi kemiskinan. Memupuk kekayaan demi kekayaan.
Sistem yang berakar dalam sejarah kapitalis dan feodal membuat mereka masih
berada dalam bayangan-bayangan itu. Akibat sistem feodal membagi manusia dalam
golongan-golongan kedudukan membuat mereka menjadi tuan atas Tuhan. Pembagian
kelas antara yang kaya, menengah dan miskin seakan-akan menjadikan status dan
kedudukan sosial menjadikan tuan atas penciptanya.
Sudah lama ditekan dengan konsep-konsep kaku
lalu dipraktikkan secara ekstrim. Melarang, menentang dan mengekang sepertinya
menjadi kosa kata yang sering didengar oleh anak-anak perempuan. Padahal hidup
terus berjalan, masa demi masa berlalu. Berbagai warna kehidupan telah datang
dan pergi. Musim demi musim berganti. Namun Biduk* masih saja sama, sebuah
kampung tanpa perubahan apa pun.
Situasi demi situasi yang dialami ayah
Antonella, membuat ia tak ingin memperkaya kosa kata anaknya dengan kata
"jangan, tidak boleh, diam atau kata-kata yang membatasi pilihan
hidupnya".
Sebagai anak perempuan, Antonella tahu
persis apa yang perlu ia lakukan. Sistem budaya yang mengikat perempuan dalam
konsep bahwa perempuan harus memasak, mengurus rumah, menyiapkan kopi atau teh
dan berbagai hal seperti yang dilakukan ibunya seakan-akan memaksanya untuk
terbiasa. Namun tidak jarang ia dimarahi oleh ayah dan ibunya.
"Hidupmu masih panjang. Masih harus
mengejar mimpi bukan mengurung mimpi dalam kepalamu. Ayah dan ibu tidak pernah
menginginkanmu untuk tetap seperti ayah dan ibu. Tugasmu adalah belajar dan
jangan berhenti bermimpi untuk sampai kepada apa yang kau inginkan", ucap
ayah dan ibunya berulang-ulang kali.
Antonella sadar betul bahwa ia ingin
menjadi seorang Penulis. Keinginannya ini selalu membuatnya betah berada di
perpustakaan sekolahnya. Membaca berbagai buku baik itu novel, artikel atau pun
koran. Tidak pernah sehari pun ia lewatkan waktunya tanpa membaca. Membaca
seperti menjadi adik dan kakak buatnya.
Antonella sadar bahwa ayah dan ibunya
menginginkan ia untuk menjadi seperti apa yang diinginkannya.
Ibunya pernah bertanya tentang apa yang
diinginkan Antonella dalam hidupnya. Ia pun menjawab aku ingin jadi penulis.
"jika ingin jadi seorang penulis,
jangan biarkan keadaan meremuk keinginanmu" kata ibunya.
Pada umumnya perempuan-perempuan di
kampungnya sudah banyak yang menikah di usia muda dan tidak sedikit yang
dijodohkan lalu kumpul kebo. Bagi kebanyakan orang-orang tua, perempuan tidak
jauh berbeda dengan barang. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana
orang-orang tuanya mendidik anaknya agar bisa menanak nasi, mencuci pakaian,
mengurus anak dan bagaimana menyiapkan diri saat memiliki suami.
Selain itu, perempuan-perempuan yang jika
tertangkap basah sedang berpacaran atau sedang berduaan dengan laki-laki di
tempat yang sepih dan sunyi, sulit untuk ditanyai soal kebenaran yang terjadi.
Karena itu, biasanya mereka langsung disuruh untuk menikah atau dijodohkan.
Ayah menjadi peranan penting dalam
kehidupan keluarga. Selain sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah, seorang
ayah berperan penting dalam memutuskan siapa laki-laki yang cocok dan pantas
untuk dijadikan pendamping hidup anak perempuannya. Cinta tidak didasari oleh
dua orang namun lebih sering, cinta menjadi paksaan oleh keberpihakan ego demi
meng-eksploitasi keinginan seorang ayah. Karena itu, Ayah selalu memegang
kendali atas hidup anak perempuannya.
Namun yang menyedihkan adalah tidak
sedikit Om* berperan penting dalam menentukan berapa jumlah mas kawin (belis)
yang perlu disiapkan oleh seorang laki-laki.
Kehidupan seorang perempuan seperti
mainan yang mudah didapatkan di pasar. Perempuan dieksploitasi demi
kepentingan-kepentingan tertentu. Karena itu ayah Antonella tak ingin anaknya
menanggung nasib seperti ibunya dan juga perempuan-perempuan seusianya yang
lain di kampung itu.
Antonella mengenang semua pengalamannya
di Biduk. Ceritanya cukup membuat buku hariannya basah. Ia menulis ceritanya
itu persis ketika usai membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Novel yang hampir persis sama dengan pengalaman yang dialaminya. Perempuan
selalu tak diberi kesempatan, keinginannya diremuk oleh keadaan. Hanya saja
Antonella beruntung ia hidup di tengah keluarga yang ayah dan ibunya tak sekaku
dan seekstrim orang-orang tua temannya.
Ia membayangkan pahitnya penderitaan
teman-teman perempuannya di Biduk. Ia membayangkan bagaimana ibunya dulu ketika
dipaksakan untuk menikah dengan ayahnya. Bagaimana opanya menawarkan ibunya
kepada keluarga ayahnya. Lalu bagaimana Om" mamanya yang mendapatkan
keuntungan dari perjodohan ayah dan ibunya. Tanpa disadari bahwa mamanya tidak
pernah diperhatikan oleh Om mamanya sendiri (barangkali).
Mungkinkah perempuan hanya menjadi alat
pelengkap dalam kehidupan laki-laki? Perempuan memang rapuh, mungkinkah
kerapuhan perempuan adalah kelemahannya? Apakah karena konsep teologis dalam
kisah penciptaan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki,
sehingga laki-laki berhak untuk menguasainya? Apakah karena Hawa yang digodai
oleh ular untuk memetik buah terlarang dan menghasut Adam memetik buah
terlarang itu yang kemudian membuat Tuhan marah serta menjadikan sejarah dari
dosa asal, sehingga perempuam dianggap berdosa dan mudah digodai? Berbagai
pertanyaannya ini membuatnya diusir oleh dosennya saat masih berstatus
mahasiswa.
"Sungguh Tuhan tentunya tak sekejam
laki-laki, bukan? Namun seandainya Tuhan adalah laki-laki bisa jadi ia juga
sekejam itu", batin Antonella.
"Bukan, Tuhan bukan laki-laki.
Perempuan? Tidak! Lalu?" desah Antonella.
Pertanyaan-pertanyaan itu diam-diam
mengintainya dari berbagai sudut kamarnya. Ia memikirkan semua pertanyaan itu
sejak hari senin kemarin dan ini hari kelima sejak ia merasakan bahwa dirinya
sedang diintai. Begitu banyak mata yang mengintai dan ia tak berani keluar
menjawabinya. Sebab Antonella yakin ia akan diusir bahkan dianggap sebagai
perempuan tak taat adat dan iman.
Nitapleat, 2021.
Rapuhnya Kultur Perjumpaan dan Solidaritas Bersama
Vincent
Wedjo
Dok. Aldo Sila |
Ikhtisar
Realitas kekerasan akibat rasa curiga dan keengganan untuk mengapresiasi perbedaan menghantar orang kepada sikap intoleran dan perpecahan antarmasyarakat. Penyebab, sekaligus akibat nyata dalam kultur perjumpaan kita yang rapuh; perjumpaan interkultur, inter-religius, dan perjumpaan antar-ideologi dan generasi ialah bahwa ada kecenderungan untuk menguasai orang yang berbeda dengan kita.
Rapuhnya kultur perjumpaan membawa kita pada otonomi diri yang angkuh; saya adalah saya, dan anda adalah anda. Saya dan anda bisa menjadi kita apabila rasa solidaritas bersama itu menyata dalam sikap tanggung jawab sosial.
Paus Fransiskus, dalam dokumen Patris Corde, menggambarkan peran St. Yosef sebagai seorang tokoh sentral dalam kesederhanaan hidup. Baginya, kesederhanaan hidup itu tidak dimiliki semua orang, tetapi sungguh tampak pada “orang-orang yang biasanya terlupakan” (Patris Corde).
Dalam dan melalui hidup yang sederhana, kita belajar untuk mengolah kerapuhan individualistis kita menjadi sikap solidaritas yang tidak basa-basi atau disetting begitu manis agar terlihat harmonis. Solidaritas dan persaudaraan manusia universal tidak dibatasi oleh perbedaan baju, kulit, ekspresi, pemikiran dan makanan.
Demi melahirkan solidaritas bersama, kita tidak perlu menciptakan massa yang besar, cukup saja dimulai dari realitas hidup kita setiap hari —solidaritas dengan tetangga, misalnya.
Kita Sedang Rapuh
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), pada 30 November 2020, mengutarakan sikap terhadap kekerasan yang menghilangkan nyawa di Lewonu, Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Akhir dari sikap KWI sendiri itu berupa ajakan bersama untuk memerangi terorisme dan harapan agar peristiwa ini tidak melemahkan semangat kita untuk hidup harmonis antarsesama umat beragama di Indonesia.
Sebetulnya, masih banyak peristiwa yang menggambarkan ketidakharmonisan dalam hidup bersama. Orang sedang menjadi rapuh, baik fisik, maupun psikis sebab bukan saja mereka di sana, melainkan juga semua orang yang sedang hidup dan yang turut merasakannya sebagai bencana bersama.
Sebagai sebuah bencana bersama, peristiwa ini menggoncang semua orang. Syukurlah apabila orang tidak terprovokasi sensasi-sensasi picik dan tidak menciptakan kesenjangan antarmasyarakat.
Bila yang terjadi adalah sebaliknya, barangkali tendensi-tendensi separatis akan lahir dan berkembang sampai ke pelosok-pelosok. Ia bisa menjadi virus yang berkembang dengan pesat, dan inangnya adalah orang-orang yang pemikirannya masih terkungkung pada zaman dan situasi tertentu.
Banyak orang yang menjadi fanatik karena peristiwa-peristiwa semacam ini, baik secara ideologis, maupun dalam sikap dan tindakan. Bahayanya ialah bahwa bila terpicu ideologi-ideologi miring, bukan saja keharmonisan yang tidak akan pernah terjembatani, melainkan juga kehidupan antartetangga pun penuh kecurigaan dan keretakan.
Orang tersentuh, dan bukan hanya tersentuh, ada yang terprovokasi karena isu-isu sensitif yang mereka alami. Orang bisa bertindak anarkis ketika rasa kemanusiaannya (sense of humanity) dilecehkan. Orang Papua, misalnya, melakukan demonstrasi besar-besaran dan serentak di hampir seluruh Indonensia karena terlukanya rasa kemanusaian mereka.
Keadilan dan kesetaraan di Indonesia sedang menjadi sorotan banyak orang sebab kerap menuai problem. Pengejawantahannya pun dilaksanakan dengan praktik ketidakadilan, dan melahirkan segregasi dan diskriminasi di dalam masyarakat.
Dok. Aldo Sila |
Paus Fransiskus menerbitkan dokumen Patris Corde pada peringatan 150 tahun St. Yosef sebagai Pelindung Gereja Semesta. Tujuannya supaya kita tidak lupa bahwa ada orang biasa dan sederhana yang memiliki peran sangat penting dalam kehidupan Sang Penyelamat.
Dasar ajakan Paus Fransiskus ini ialah untuk melihat bahwa “hidup kita dijalin bersama dan ditopang oleh orang-orang biasa –yang biasanya dilupakan— yang tidak muncul pada berita-berita utama surat kabar-surat kabar dan majalah-majalah, atau juga dalam catwalk besar dari pertunjukan-pertunjukan terakhir, tetapi tak diragukan lagi,…” (Patris Corde).
Orang-orang biasa itu memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh mereka yang kerap disoroti publik karena ketenaran dan sikap individualistisnya.
Ada beberapa hal menarik yang dapat kita lihat bersama. Pertama, bahwa ada begitu banyak orang kecil dan sederhana yang hidup jauh dari perhatian banyak orang. Ini bukan berarti bahwa mereka tak memiliki peran bagi keberlangsungan hidup komunitas umat manusia, atau tak memiliki andil yang cukup untuk melahirkan sebuah sejarah peradaban bersama.
Santo Yosef, pribadi sederhana yang memungkinkan terlaksananya kehendak Allah di dunia. Pribadinya menjadi representasi nyata kehadiran Allah dalam diri orang biasa; Allah yang sungguh-sungguh mencintai manusia dan segala aspek kemanusiaannya.
Kedua, Santo Yosef menjadi “seorang bapak dalam bayang-bayang” (Patris Corde). Realitas kultur kita yang cenderung mengagung-agungkan laki-laki dikritik secara halus oleh Paus Fransiskus melalui penghormatan khusus kepada St. Yosef. Sebagai pribadi yang hidup di tengah budaya patriarkat di kampungnya kala itu, St. Yusuf tidak menggunakan otoritas kelaki-lakiannya untuk meninggalkan Maria begitu saja –meski hal itu bisa saja terjadi.
Yusuf malah meninggalkan kemapanan patriarkatnya untuk menjadi pribadi ‘belakang layar’, yang berjuang untuk keselamatan Maria dan Yesus. Konteks sekarang, banyak yang menjadi orang belakang layar, semisal orang pinggiran; kaum migran, minoritas, perempuan, LGBT, dan kelompok-kelompok rentan lainnya.
Pada tahun 2018, Komsos Keuskupan Agung Ende merilis sebuah film dokumenter berjudul, “Magepanda: Unity in Diversity (Potret Indah Toleransi Beragama di Bumi Nusa Bunga)”. Film ini menampilkan dialog kehidupan orang-orang Magepanda, daerah Utara Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Dialog yang mereka buat bukan merupakan sikap basa-basi, melainkan praktik hidup yang sudah menyejarah di sana, jauh sebelum idea tentang toleransi antar-orang beragama itu muncul. Apa yang menyatukan perbedaan-perbedaan di sana? Sense of belonging sebagai sesama manusialah yang membuat mereka bersatu, serentak yang memungkinkan dialog kehidupan itu terlaksana.
Bahwasannya nilai kemanusiaan universal itu lebih tinggi. Agama, budaya dan ideologi dipakai sebagai sarana –sumber dan inspirasi– agar kemanusiaan itu memiliki tempat yang semestinya. Tujuannya bukan melahirkan sikap menyembah manusia, melainkan demi membangun suatu kesungguhan untuk menghargai sesama manusia sebagai saudara dan saudari.
“Dunia menolak para penguasa, yakni menolak mereka yang ingin memanfaatkan sikap posesif terhadap orang lain untuk mengisi kekosongan mereka sendiri; menolak mereka yang mengacaukan otoritas dengan otoritarianisme, pelayanan dengan penghambaan, perlawanan dengan penindasan, amal kasih dengan ketergantungan pasif pada bantuan, kekuatan dengan perusakan” (Patris Corde).
Dok. Aldo Sila |
Kesimpulan: Kita Buat Apa?
Hemat penulis, dialog yang komprehensif dan bermartabat itu tidak meyoalkan benar-salah, tetapi lebih kepada solidaritas bersama untuk melahirkan hidup yang lebih harmonis. “Solidaritas bersama itu merupakan sebuah prasyarat martabat manusia, dasar suatu keteraturan, dan suatu pendekatan yang berpusat pada manusia untuk mengembangkan, dan memiliki peran sebagai penghubung semua perbedaan yang ada” (Intercultural Living, Vol. 1, 228). Kita dapat belajar dari orang-orang biasa, yang kesehariannya tertutup narasi-narasi besar, dan sensasi-sensasi provokatif dari para pemburu otoritas.
Solidaritas bersama merupakan sebuah panggilan yang holistik kepada semua orang untuk menjaga dan melestarikan nilai kemanusiaan kita. Keresahan yang kita alami karena pertarungan-pertarungan ideologi dan kepentingan picik mengharuskan kita untuk berpikir dan bertindak kreatif demi menjaga keharmonisan rumah kita bersama.
Dokumen Ekonomi Fransiskus merupakan jawabannya atas panggilan untuk memperbaiki rumah yang hampir rubuh, dan tentang tawaran-tawaran kreatifnya agar rasa solidaritas kita terhadap orang-orang biasa semakin terpupuk, termasuk terhadap alam, yang dijalin dalam dialog lintas segala batas.
Semua yang meninggal karena memperjuangkan kemanusiaan juga merupakan St. Yosef, yang tidak menjadi bapak karena melahirkan, tetapi menjadi bapak yang senantiasa merawat kemanusiaan secara bertanggung jawab.
Salut buat semua pencinta keharmonisan. Tetap perkuat rasa solidaritas. Keresahan kita tidak seharusnya dibarengi sensitivitas, tetapi dilengkapi dengan solidaritas bersama sebagai sesama manusia yang memiliki tujuan hidup yang sama.
Solidaritas itu mungkin apabila kita membangun solidaritas dalam hidup harian, hidup yang biasa-biasa saja. Small is beauty; yang biasa-biasa itu akan punya makna bagi banyak orang.
Hujan yang Jatuh ke Bumi
Jangan bilang kalau waktu sudah habis untuk buat kau tersenyum. Rintik hujan saja masih benar-benar merindukan awan, meski sudah menetes ke bumi. Seperti hujan yang jatuh ke bumi, yang tiada pernah lelah membiarkan dirinya terus bersaluir pada debu yang berjubel.
“Mei, apa gunanya mencintai orang yang memaksanya mencintai orang lain.”
Coba sekali saja kau merasakan jatuh cinta.
“Itu sulit. Ketika kau hendak cari bahagiamu sendiri, jangan lupa kalau itu juga bahagiamu.”
Semoga.
Orang sedang rindu turunya hujan, Se.
“Bukan itu saja. Orang juga menunggu mata air yang mampu basahi jiwa yang kering, Mei.”
Jiwa hampa dan hati haus. Hampa karena tiada serintik pun senyum yang tergores dari bibirmu.
“Lalu haus?”
Itu ada di hatimu sendiri, Se. Barangkali kau sendiri pahami itu.
“Kau sudah nonton film Story of Kale?”
Ia. Itu cinta yang tidak saling melukai. Cinta sejati, namanya. Tapi, semua berawal dengan jatuh pada ketukan-ketukan cinta, namanya kebebasan. Dan kau belum sampai di situ, Se. Jangan bilang kau pergi karena kau tak mau sisakan gores di hatimu.
“Sudahlah. Kalau memang jatuh kepada cinta, saya lebih memilih tenggelam dalam kenangan. Di dalamnya, saya hanya bisa mengenang dirimu.”
Kau bilang apa, Se.
“Saya mau titip hati ini di hatimu, Mei. Bawa ke mana saja kau suka. Tapi, jangan kau bawa pada kenangan. Biar saya saja yang mengenang.”
Lokasi: Kampung Adat Maghilewa Sumber: Leganz Parera |
Tujuh tahun yang lalu, ketika gerimis pertama membaui bumi, sedang aroma debu melayang sampai ke wajah mulusmu, hanya ada sepasang sapu tangan yang bisa diberikan padamu. Masih sangat jelas. Kau pakai itu untuk menutup kepalamu. Tapi, sasmitamu hendak bilang kalau kau ingin simpan agar itu tetap abadi, tak termakan debu. Sudahlah, sapu tangan itu untuk membersihkan. Yang abadi itu hanya kenangan.
Mungkin, kalau kita hidup pada tahun-tahun setelah proklamasi, sapu tangan itu sudah diawetkan di dinding rumahmu. Tepat di sebelah pintu rumahmu. Mamamu dulu bilang kalau kamu itu suka menyimpan surat dekat pintu rumahmu. Biar tetap harum, katamu. Juga sapu tangan itu. Barangkali kau juga mau simpan kenangan itu saat kau masuk dan keluar rumahmu agar kau tetap tahu artinya merindu. Itu saat pertama kita saling tersenyum.
Saya tertawa terpermanai melihat kau mengunyah sirih pinang yang buat bibirmu kian meranum. Katamu, itu satu bahasa untuk mengenal seluruh daerahmu, termasuk orang-orang di dalamnya. Mungkin ramah, mungkin tidak. Pastinya, kau selalu ceritakan kalau itu cara orang masuk dan akrab dengan orang-orangmu. Saya mau akrab. Bukan saja hanya akrab biasa. Saya mau benar-benar menjadi bagian di dalamnya.
“Saya mau coba sedikit.”
Jangan. Nanti kau mabuk. Ini bisa bikin orang pusing dan demam.
“Sudahlah, saya hanya mencoba sedikit. Barangkali akrab dengan itu.”
Jangan salahkan saya kalau kau pusing nanti.
“Tak apa. Toh, ini tak sebanding dengan penantian yang tiada akhir. Asalkan jangan sampai bicara nama orang.”
Dan kau pun tertawa. Semoga bukan yang terakhir.
“Di luar hujan, Mei.”
Sudah biasa di sini. Kalau hujan tak turun, sekurang-kurangnya kabut selalu menutupi pandangan kita. Syukur-syukur matamu terang. Jika tidak, kau bisa terantuk.
“Kau jangan mengada-ada. Kau suka hujan, Mei?”
Sangat suka, Se. Siapa yang tidak suka hujan di daerah dingin seperti ini? Para petani, ibu-ibu penenun, para barista kopi, apalagi anak-anak. Di sini tak sama dengan kota-kota besar, Se. Hujan bukan jadi banjir yang bikin rumah semrawut. Hujan itu berkat. Muda-mudi suka sekali jatuh cinta saat hujan turun. Saya tak tahu pastinya kenapa.
“Saya suka sekali aroma sirih pinang ini Mei.”
“Di pedesaan memang nikmat. Suatu saat nanti, kalau memang saya punya kesempatan, saya mau tinggal di pedesaan. Bukan saja karena suhu yang tenang. Orang-orangnya juga murah tuk mencintai,” saya berjanji.
Memang jarak selalu punya akibat pada guncangnya janji. Saya terguncang, dia juga terguncang. Apa gunanya rindu kalau ia hanya buat jarak menjadi semakin pelik. Mulanya biasa-biasa saja.
Saya sudah menetap di pedesaan, di rumah sederhana, bergaya klasik. Saya sangat suka rumahnya, dan juga sekitarnya. Tak terkecuali seorang penghuni pedesaan itu.
Sumber: Kelasaralanga |
Hari itu, kira-kira tujuh tahun berjubel dengan jarak, saya benar-benar mendiami pedesaan dingin itu. Kopi arabika khas daerah itu temani sore yang tenteram. Remang lampu dari pelita bambu memanjakan mata yang haus akan rupa sore yang temaram. Saya duduk sendiri menghadap jendela. Sekali-kali memalingkan wajah di jalan-jalan panjang itu. Ada ibu, ayah, dan anak yang sedang bergegas dari kebun. Masing-masing dengan jinjingannya. “Untuk temani makan malam,” cerita Piu suatu sore, ketika menemani saya menghabiskan senja.
Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Lebat sekali. Dingin, dan berbadai. Halilintar ikut menyambar. Saya yakin, cerita Mei tentang muda-mudi yang jatuh cinta pasti tak mungkin terjadi malam ini. Kopi hangat dan jagung goreng saya kunyah sampai habis. Tak ada sisa. Hanya ampas di gelas, yang kemudian saya balik untuk sekedar mencari ‘petunjuk’. Orang sering bilang begitu. Saya ikut saja, lumayan untuk menghiasi pinggiran gelas dengan pola-pola yang tak saya pahami.
Tiga hari berturut-turut hujan deras, badai dan petir turun membasahi bumi pedesaan. Tak ada aktivitas yang luar biasa ramai di jalanan. Anak-anak tak berani bermain gasing di depan rumahnya. Muda-mudi tak kunjung lewat. “Hari ini hari istirahat,” pikir saya. Di ujung jalan sana, tak ada orang muda yang duduk nongkrong, sekedar bercanda. Meski tak jelas yang mereka cakapkan, tapi yang penting buat desa jadi ramai.
Dan dari ujung jalan pula, muncul segerombolan orang-orang tua. Lelaki semuanya. Mereka berpakaian adat; tubuh berbalutkan kain hitam bermotif kuda, sampai ke ujung mata kaki. Kepala mereka berdestar merah. Tangan menggenggam parang panjang, dengan bulu-bulu di bawah gagangnya. Sementara mereka berjalan, hujan mulai mereda. Tepat di belakang rombongan orang-orang tua itu. Itu baru bagi saya.
Saya hendak beranjak menuju rumah Mei, setelah tiga hari hujan-angin turun begitu derasnya. Saya kaget dan terkejut melihat bahwa ada seorang perempuan di dalam rombongan orang-orang tua itu. Ia berada di tengah-tengah mereka, juga berbalutkan kain hitam bermotif ayam, tanpa destar di kepalanya. Ah, untuk apa ia di sini. Saya mulai paham bahwa ini daerah pedesaan.
“Barangkali ada upacara-upacara pendewasaan seorang wanita,” saya menduga. Sudahlah, saya tak jadi berkunjung ke rumahnya. Mungkin malam nanti.
‘Mei sudah pergi, Ose. Dia takkan kembali lagi. Untuk selamanya. Raganya boleh tetap ada, tapi terpisah abadi dari pedesaan ini,’ jelas mamanya. ‘Dia hanya bilang agar kau tak usah mengenangnya.’
Saya paham kalau Mei sudah buat sesuatu yang dilarang di pedesaan ini. Ia, saya tahu kalau ini pedesaan. Masih ada tabu. Untuk itu, dia mesti pergi dan tak boleh kembali, kalau tak mau buat semua orang di sini menderita lagi.
‘Mei sudah pilih untuk mencintai dengan jalan pergi. Ia tak mau kalau kau terima hati yang sepotong darinya. Kau tak layak dengan sepotong hati itu', mamanya berpesan.
Rumah sederhana yang saya bangun dengan harapan itu tak berguna, sekurang-kurangnya hanya untuk menjaga agar kenangan itu abadi. Sudah mati nyala pelita yang sederhana untuk warnai siang dan malam. Saya menangis. Lama sekali. Tak ada air mata lagi. Setiap hujan jatuh, saya hanya bilang bahwa saya selalu menjaga agar kenangan itu tetap abadi, meski rumah bambu sederhana ini layu termakan matahari. Asalkan hujan tetap menyeimbangi panasnya.
Saya bangun dan berjalan. Tetap menjaga agar rumah sederhana itu, saban hari, tetap ditetesi hujan. Jaga dia, dan jaga semuanya tetap abadi.
Semakin hujan merintik, semakin saya jatuh pada cinta.
Wanita Terhebatku
(Yohan Rudin-06)
HERAN
Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga |
Filippo Tommaso Marinetti (1876-1944), seorang satrawan Italia, menulis, dalam 'Manifesto Futurisme', "We want not part of it, the past", "We the young and strong Futurists". Ia secara elegan-linguistik, menolak masa lalu, dan melahirkan pemikiran tentang kecepatan, mesin, pemuda dan industri. Siapa dapat mengira kalau, seyogianya, Filippo justru mengekspresikan kebenciannya pada tradisi lama; bidang politik dan seni.
Banyak orang merasa heran tentang adanya gerakan baru, yang tentu membuat konsep mereka agak semerawut. Keheranan ini menjadi tak sepatutnya ada lagi sebab para seniman sekaliber Umberto Boccioni, Carlo Carra, Giacomo Balla, Antonio Sant'Elia, Tullio Crali, dan Luigi Russolo bergabung. Manifesto Futuris itu mereka tandatangani.
Pada lain waktu, dubium methodicum yang kita kenal, pernah mengalami masa kejayaannya sebagai sebuah metode kritis-eksploitatif, kalau bersoalan dengan proses mencari. Saya kira, ia tidak hanya 'pernah' mengalami. Ia selalu elok dan asfar untuk 'dipakai' pada berbagai konteks oleh para filosof. Dalam ajang yang lebih futuristis, metode meragukan ini, dieksplisitkan pada konsep yang akan membawa kita menuju istilah yang agak ambigu, heran. Kalau kita gunakan frasa heran, tepat, saat menanggapi argumen-argumen kontradiktifnya Rocky Gerung, kita pasti dibilang dungu.
Momentum risalah ini mengajak kita untuk sejenak bertetirah pada kedalaman suatu tanda heran dalam konteks futuristis. Heran, sebagaimana yang melahirkan sikap antitradisional, anti terhadap yang kaku, yang mengutamakan ketakutan pada otoritas-otoritas semu. Tak lepas juga ketakutan pada menjadi pribadi futuristik yang tak gampang nimbrung dalam kubangan massa.
Di Rumah Saja. Lokasi: Cafe Nitapleat |
Melawan Kematian
Masa lampau itu hanya satu kemungkinan yang sudah menjadi nyata, tentu pada ruang dan waktu yang silam. Ia bisa mati kalau ditelan kapitalisme lupa. Kapitalisme akan mengubah labirin-labirin waktu jadi ruang yang bisa dipertukarkan. Kemudian didandani semasyuk mungkin, lalu diiris perlahan-lahan. Diiris juga punya makna dibuat menjadi ludes. Kita masuk dalam pasir apung lupa.
Ada semacam gaya kolektif yang sedang dan akan menjambret hampir seluruh roadmap dari kemandirian individu. Seolah-olah ada jalan baru yang diupayakan untuk tetap bertahan atas nama kebebasan personal. Kebebasan yang kerap mengalami proses reduksi sebatas kesenangan diri. Bukan pada keharusan untuk membebaskan diri dari sistem reduksi diri ke dalam kegandrungangan kolektivistis. Kita masuk pada ranah momentum yang majal sebab kebebasan diri tak pandai lepas dari keramaian. Pada galibnya, setiap pathway masuk juga dalam lorong-lorong paradigma yang mati.
Pada faset yang silam, sebatang keris Pangeran Diponegoro telah menjadi milik Raja Willem I. Setelah Pangeran Diponegoro dikalahkan. Keris Kiai Nogo Siluman itu nyata sebagai sejarah yang memang terjadi (histoire realite). Realitas baru terjadi juga bahwa keris itu telah dikembalikan kepada Indonesia, termasuk artefak-artefak kepunyaan Indonesia. Kita lupa akan sejarah ini. Lantas, cerita apa yang telah dan akan dilahirkan? Saya berpandangan bahwa kisah, pun pandangan, tiap insan itu berbeda, dan senantiasa menarik. Selalu dalam ruang dan waktunya sendiri.
Maut sudah menanti bila tak ada sejengkal langkah untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan baru —ketakutan pada hilangnya pujian dari luar diri. Ketakutan akan penerimaan diri dalam rumah yang kerap tertutup pada impresi-impresi rasa. Ketakutan akan 'pengucilan' dalam keramaian. Yang menggiring muruah personal, bersama banjir, pada selokan-selokan kesenangan komunal.
Maut justru, dengan manisnya, tertawa pada kegirangan untuk 'pura-pura lupa' —judul lagunya Mahen— akan kemestian dari menjadi diri sendiri itu. Sebab maut telah mengintip kesukaan diri untuk takluk pada opini-opini yang subur dalam kerumunan.
TimurPerpustakaan Futuristis.
Sumber: The Journey of Mrs. Masturdating
Timur itu satu kontur linguistik yang sangat digandrungi para pemikir kritis, serentak idealis. Maximilian —tokoh dalam film Eiffel I'm in Love, pun sangat nekat memakai instrumen cahaya untuk menyatakan kritik pada kegandrungannya akan mimpinya —mencinta. Para pemikir pun bermimpi untuk mencintai mimpinya, mencipta. Mencipta berarti melahirkan sesuatu, manjadikan sesuatu itu baru. Dalam konsep para futuris, mencipta berarti membuat segala yang ada menjadi berbeda. Mereka menyuguhkan kesungguhan ada dari suatu ketiadaan, dengan langkah sebagai yang muda —the young futurists.
Sekedar mencuri cerita pada novel Jejak Langkah. Kita menemukan satu kisah inspiratif dari sekian cerita inspiratif yang bergelimangan. Bali sesungguhnya tidak membiarkan diri masuk dalam barisan yang terjajah oleh para kolonialis Belanda. Mereka mau bebas, serentak tak mau terikat pada aliran yang menghanyutkan. Mereka bertarung. Tentu demi menjaga keluhuran muruahnya. Kita bingung sebab Bali sukar terkalahkan, termasuk perkelahian oleh bangsanya sendiri. Bali, seolah, diasingkan dari cipratan nama bangsa, yang terlampau mapan oleh asupan-asupan kenyamanan Hindia. Bali akhirnya terkalahkan. Seperti kerumunan laron yang menyerang api, mereka jatuh. Tetapi perang Puputan, perang sampai akhir, tetap terkenang sebagai usaha tiada sudah hingga membiarkan jiwa menuju keabadian.
Timur selalu berdiri sendiri dalam kemandiriannya. Berdiri dalam persatuan yang tak terpecahkan. Kesatuan para pendobrak yang memilih diam demi terlahirnya kemajuan, pertama-tama, kemajuan paradigma. Yang berseberangan dengan paradigma kolektivistis. Asyiknya, ada ketakutan baru, yang mematikan metode meragukan kita. Kualitas keraguan epistemis direduksi demi melahirkan pilihan yang melayani kesenangan massa. Pantang bahwa keraguan itu jadi satu titik yang dipakai demi memaksa diri keluar dari sistematisasi kenyamanan itu.
Akhirnya kita tahu kalau Bali begitu mandiri. Justru Bali jauh lebih terkemuka dibandingkan bangsanya sendiri. Tak lain tak bukan, Bali tahu artinya kemandirian yang lawan arus. Mereka juga tahu kalau massa —atau paradigma kolektif, tak senantiasa sebagai titik, yang darinya mereka berpijak. Ada titik futuristik yang mereka simpan dalam sukma. Titik melawan yang lampau, merelakan pergi kenyamanan yang sedang digauli massa. Ramai tak selalu berintegritas. Mungkin lebih mempercepat jurang antara kehidupan dan kematian pribadi dalam kehidupan itu sendiri. Banyak orang jadi heran. Heran pada pilihan, heran pada meragukan.