Wanita Terhebatku
(Yohan Rudin-06)
Sejenak aku merenung dalam kesepian, guna menyusun
kalimat agar kata menjadi sempurna, saat bibir mencium ide. Saat itu, aku duduk
tertunduk lesu di depan laptopku yang masih menyala tanpa disentuh dan
buku masih berserakan; tak dibuka dan dibaca serta. Bolpoin hitam; kubiarkan tintanya bocor berserakan di atas lantai yang sudah tua
termakan usia.
Saat hatiku masih tertunduk lesu di dalam kesepian, tiba-tiba
jiwa dan ragaku dikagetkan oleh deringan HP yang kuletakkan di atas
tempat tidurku. Dengan kaki yang sedikit berat aku beranjak dari tempat duduk menuju tempat tidur untuk mengecek handphone. Sontak hatiku
kaget saat melihat layar handphone-ku itu. Terdapat sebuah pesan whatsapp yang masuk dari
seorang wanita tua.
“Anak, saat ini
aku cukup lelah dan ingin berontak serta mengadu ke alam. Namun, hatiku belum
cukup untuk menerima semua amukan dari alam jika aku menceritakan semua
keluh kesa yang sedang aku alami saat ini. Karena itu, jiwaku terus meneteskan
air mata dari mata yang sudah cukup rusak untuk menatap segala tindakan tak
bertangung jawab dari saudara-saudaramu, yang dengan sengaja menghancuri hidupku.
Benakku cukup lelah memikirkan segala omong kosong yang tidak pernah diwujudkan. Telingaku sudah mulai tuli karena terlalu
sering mendengarkan janji manis yang digantungkan di atas bibir saudaramu. Janji itu tidak pernah diciumkan dalam kening kenyataan.
Anak, kira-kira apa
yang aku perbuat dalam menghadapi semuanya ini, karena aku melihat bahwa
tindakan tidak bertanggung jawab saudaramu telah menghancurkan jiwaku, juga kalian semua. Ibu, meminta maaf kepada kalian yang
tidak bersalah, namun bersengsara atas tindakannya.
Ibu belum mampu untuk menyembuhkan diri dari luka yang digoresi oleh
tindakkan saudaramu. Ibu belum mampu menghadapi berbagai macam kejahatan yang secara terus menerus menerobos pagar kehidupan yang ibu
bangun selama ini.”
Pesan singkat yang
berupa keluhan akan kesedihan yang dialami wanita tua itu saat ini membuat
hatiku jadi dingin akibat tangisan yang aku ratapi dalam kesendirian.
Kutulis kontaknya dengan nama
yang cukup sederhana; Wanitaku. Aku menulisnya dengan demikian karena aku
menyadari bahwa ia adalah seorang wanita yang cukup tangguh dalam melahirkan
aku dan sanak saudaraku yang lain. Ia juga yang bertanggung jawab dalam
menghidupiku selama ini, serta dengan gagah berani menghadapi
segala tindakan kejahatan yang dibuat oleh saudaraku yang lain.
Meski tindakan itu telah melukainya, ia tidak pernah memberontak dan mengeluh. Ia selalu bersabar dan berusaha untuk tetap memberikan kenyamanan
serta kebahagian pada anak-anaknya. Sebab, ia selalu berpikir bahwa, kejahatan
apapun yang dilakukan oleh anaknya, sekalipun itu menyakitinya dan menyakiti
saudara yang lain, ia tetap menganggap bahwa mereka adalah anak-anak yang
lahir dari rahimnya dan yang telah menguras air susunya.
Sejenak, setelah membaca pesan yang cukup bermakna
untuk aku refleksikan dalam kehidupan ini, aku tertunduk dalam kesedihan dan
merenung dalam penyesalan yang cukup mendalam. Air mataku perlahan-lahan
membasahi pipiku yang cukup kering karena terlalu banyak tar dan nikotin yang
aku poleskan selama ini.
Aku bersedih dan menyesal bukan karena aku telah
berbuat jahat terhadap wanita itu, tetapi karena aku merasa bahwa tindakan
yang dilakukan oleh saudaraku terhadap wanita itu merupkan suatu tindakan yang
tak bertanggung jawab serta, tindakan yang tak berpendidikan. Pantaslah mereka mendapat hukuman.
Namun harapanku untuk membantu wanita tua
itu untuk memberikan hukuman kepada saudaraku yang telah menggoreskan luka
yang mendalam terhadap wanita tua itu belum terwujud. Tidak terwujudnya harapan
itu, bukan karena aku tidak berusaha untuk membantu wanita tua itu, tetapi
karena saudaraku itu memiliki tangan yang cukup kuat dan
banyak dalam melawan musuh yang ingin melawannya.
Dalam tangisan kesepian
itu dan dengan tangan bergetar menahan amarah, aku mencoba memilih kata
yang cukup waras dari dasar ide ku yang masih aktif, guna menyusun sebuah
kalimat yang cukup sederhana dari bibir yang kering. Setelah menyusunnya, kucoba tuangkan dalam layar HP yang masih setia menunggu
tegukan kalimat untuk membalas setiap chat yang masuk melaluinya. Ia juga setia menunggu tegukan sebagai balasan chat yang dikirimkan oleh wanita tua itu.
“Aku telah
membaca keluhan yang dilukiskan dalam pesan yang telah engkau kirimkan tadi. Setelah aku membacanya, aku temukan pesan yang perlu aku refleksikan
dalam menjalani kehidupan ini, bahwa betapa pentingnya untuk berterima kasih
kepada seorang yang telah bersusah payah melahirkan kebahagian dan
kesejahteraan. Yang dengan tangan hampa membesarkan dalam kedamaian.
Tentu ia akan menyesal jika kata terima kasih tak terucapkan padanya. Beterima kasih yang ia perlukan itu, bukanlah sebuah ucapaan kata
yang terangkai indah, melainkan sebuah tindakan yang dilukiskan dengan
kesetian dan tanggung jawab.
Karena itu, aku mengucapkan maaf yang sebesarnya kepadamu wanita hebatku, karena mungkin selama ini, aku
telah banyak melukai hatimu. Saat ini aku ingin berjanji untuk membangun
sebuah komitmen yang cukup sederhana, yaitu siap menjaga dan merawatmu, dengan
kekosongan yang aku miliki saat ini.
Aku sadar bahwa banyak
saudaraku yang memiliki kekuasaan lebih daripada diriku, karena itu aku akan
berusaha untuk menjagamu dari tindakan kejahatan yang mereka lakukan untuk melukaimu”.
Setelah membalas chatnya itu, jiwaku terus meronta
dan ingin berteriak karena ketidakpuasan atas tindakan yang dilakukan oleh
saudaraku terhadap wanita tua itu. Aku merasa tidak nyaman, untuk hidup dalam
ketidakadilan itu, namun aku belum punya daya untuk bersikeras melawan saudaraku
yang telah melukai jiwa wanita itu. Ragaku terus berprotes dalam
kesendirianku untuk melawan mereka yang telah berani melukai wanita tua itu.
Dalam
pemberontakan kesendirian itu, tiba-tiba dalam benakku lahir sebuah pertanyaan
yang cukup sederhana untuk dijawab dengan kalimat, namun sangat sulit untuk
dijawab dengan tindakan nyata, bahwa “sama saudaraku yang memiliki kekuasaan
itu sebenarnya memiliki hak yang penuh untuk melindungi wanita tua itu
dari serangan musuh yang tak terduga. Tetapi, kenapa justru mereka yang melukai wanita tua itu? Tidakkah mereka sadar bahwa kehidupan mereka itu lahir dari rahim wanita tua itu?"
Belum sempat aku melahirkan
sebuah jawaban, tiba-tiba handphone-ku kembali berdering. Dengan siaga aku cepat mengambilnya. Ternyata ada telefon masuk dari wanita tua
itu.
“Hay anakku”,
sahutnya dengan suara yang sedikit terasa sedih dan sedikit menghibur jiwa yang
terus terluka.
“Hay”,
jawabku dengan penuh kecemasan dan penyesalan. Kecemasan timbul dari dalam
jiwaku, karena aku takut kalau ia tiba-tiba bilang menyerah untuk menghadapi
perilaku anak-anaknya yang memiliki watak yang berbeda.
“Anak, kau tidak
perlu cemas pada keadaanku saat ini. Yang perlu kau cemaskan saat ini adalah
keadaan dirimu dan saudara-saudaramu yang tidak bersalah, namun tertindis oleh
banyak masalah akibat saudaramu yang tidak bertanggung jawab itu”.
Dalam tangisan aku menjawabnya.
“Ia, wanita terhebatku. Aku tak mampu membantumu dalam menghadapi semuanya ini. Aku hanya mampu membantumu
dalam setiap bisikanku kepada Tuhan saat berada dalam kesendirian. Meski aku tak berdaya, aku tetap memiliki kekuatan
Tuhan”.
Setelah berbisik lewat media sosial itu, ia pun
menutup telefonya. Namun, sebelum itu, ia sempat mengucapkan
sebuah pesan yang cukup mendalam. "Damaikanlah
dirimu dalam kesendirian dan bahagiakanlah jiwamu dalam rutinitas keseharianmu”.
Pesan singkat itu terus terlintas dalam benakku, dan aku terus berusaha menumukan artinya agar menjadi jelas.
Setelah lama berbincang dengan wanita tua itu,
aku coba keluar dari kamar kecilku menuju ke halaman depan rumahku. Di teras
rumah aku mengambil tempat duduk di sebuah sofa yang sudah mulai kelihatan
rusuknya. Aku duduk sambil menikmati keindahan bunga pohon mangga, ditemani kesepian dan berdiskusi dengan
keheningan batin guna menemukan jawaban yang pasti akan
pertanyaan-pertanyaan yang secara terus-menerus merasuki jiwaku.
Aku belum menemukannya. Aku coba
bertanya kepada keindahan alam yang kunikmati saat itu dan berteriak dalam
kesepian jiwa, hingga angin kebahagiaan menhgantarkan surat suara yang aku
tuliskan dalam keheningan kepada wanita tua yang berada dalam ragaku.
Keren kae
ReplyDeleteKeren nana 😇😇
ReplyDeleteDi tunggu lanjutan nya