Heran yang Futuristis
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Beranda Nitapleat; menuju kabar dan informasi tentang rumah Nitapleat (surga tempat mata air akan membasuh air matamu). Salam dari kami semua.
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Surat Untukmu,
Gadis Merah Jingga
Bukit Sandar Matahari
29 Tahun, Suatu Musim Semi
“Engkau masih menabur mawar di wajahmu. Merah parasmu bagai remaja. Jiwa asmara tak pernah tua. Engkau 29 tahun, suatu musim semi. Wajahmu mawar merah cemerlang aurora purnama. Warna-warni perncintaan terbit di kedua pipimu. Bibirmu merah delima, matamu kelopak tulip. Suatu musim semi membentang manis di segenap gambar mukamu. Aku ingin ia tetap musim semi dan mataku tak lelah memandangnnya.”
~Edy Soge Ef Er~
Na,
Kita memiliki hari-hari hidup yang istimewa. Kita
lahir, beranjak dewasa, lalu suatu hari menjadi tua dan mati. Mudah kita
bayangkan kita mati secara fisik sebab tubuh kita begitu rapuh. Namun kita
memiliki suatu ‘daya’ hidup yang membuat kita menjadi seperti kanak-kanak
kembali, menjadi muda lagi, menjadi remaja kembali. Daya hidup itulah yang kita
sebut eros, kekuatan jiwa yang
menghidupkan dan meneruskan generasi manusia, bahkan menurut Plato eros-lah yang mendorong orang
berilsafat.
Saya menyadari kita berbeda. Namun tentang eros, tidak ada perbedaan dan persamaan. Eros adalah daya keutuhan yang selalu memadukan harmoni, berpadu dengan yang lain menjadi sempurna. Eros adalah sesuatu yang sulit kita bayangkan secara konkret, tetapi ada, mendorong dari dalam, membangkitkan kekuatan tubuh yang tersembunyi. Ia menunjukkan bahwa kita hidup dan memiliki perasaan.
Saat percakapan saling pandang via video call wajahmu memerah bagai delima merekah. Aku tahu rahasia
tubuh perempuan hidup lagi tampak di wajahmu. Engkau gugup dan malu-malu.
Engkau menjadi remaja kembali sebagaimana engkau mengakuinya. Pada saat itu
saya paham ada sesuatu dalam dirimu yang hadir, eros seorang perempuan di
hadapan seorang lelaki. Betapa itu merupakan suatu momentum tentang jiwa yang
saling membutuhkan. Kita memang tak benar-benar sendiri. Eros membuat manusia
menjadi satu melampaui perbedaan dan persamaan fisik.
Na,
Sejak pertama percakapan kita sampai detik ini saya merasakan ada semacam koneksi mistis yang menghubungkan dua pribadi. Saya merasakan keterhubungan dengan kamu. Terlepas dari kamu pribadi merasakannya atau tidak. Saya merasa dekat dan akrab bahkan ingin lebih dekat lagi sampai keberduan itu jadi satu. Saya ingin menyentuh kulit tubuhmu merasakan hidupmu adalah hidupku. Tubuhmu adalah tubuhku.
Barangkali ini suatu impian konyol,
tapi saya merasa lebih mudah mengakui kemanusian saya, daripada menyembunyikan
sesuatu yang sangat benar tentang hidup saya. Saya sulit berbohong tentang
sesuatu yang alamiah, yang kodrati.
Kita hidup dalam suatu rumah yang diliputi doa. Kita berjalan di jalan sunyi ziarah panggilan. Kita hanya terus belajar menjadi sendiri seperti Sang Guru. Namun mengapa hal keinginan untuk berdua tetap ada dalam sanubari setiap kita? Mengapa kita merindukan jumpa mesra?
Saya tetap terus mengakui bahwa lebih baik saya terbuka bahwa saya manusia memiliki keinginanan dan hasrat seksual, daripada saya memendamnya dan suatu waktu itu menjadi bom waktu, meledak tiba-tiba karena lepas kontrol. Pada kenyataan ini saya tetap menyadari bahwa saya terus belajar untuk menjadi lebih baik; bahkan saya sangat menghormati engkau, Na. Saya sangat hormat pada perempuan.
Saya
mengenal kamu dan merasa begitu terhubung secara personal karena saya sedang
belajar mencari pemahaman dan pengertian tentang hidup yang baik di bumi. Saya
belajar menjadi manusia yang bertumbuh secara baik dan benar di hadapan Tuhan
dan sesama.
Na,
Saya bangga menemuimu dalam keadaan yang begitu jujur.
Engkau tampak begitu tulus secara afeksional. Engkau mengakui dirimu, terlepas
dari saya tahu secara lebih penuh, apakah engkau jujur atau berbohong. Namun
engkau tetap menjadi suatu musim semi yang terus menerus hadir di depan matamku.
29 tahun, suatu musim semi adalah gambaran eros yang takkan pernah mati. Musim
semimu adalah kekayaan dirimu. Engkau memiliki keindahan. Saya hanya memandang
dan tersenyum dan merasakan jatuh cinta itu sederhana.
Na,
Engkaulah musim semi rinduku di jalan sunyi ziarah firman. Aku rindu memetik satu helai bunga di wajahmu dengan ciuman puisi dan dekapan prosa yang bebas.
Oktober, 2020
~Edy Soge Ef Er~
Oleh Edy Soge
Mahasiswa Semester V STFK Ledalero
Fakta
kematian global akibat pandemi covid-19 menyentuh rasionalitas kita untuk
memikirkan ulang makna kehidupan dan tentu afeksi emosional kita disentuh begitu
rupa untuk ber-compassio terhadap
yang lain yang menderita dan mati. Pada baris riwayat duka derita ini cita rasa
kemanusian kita dipertaruhkan. Kita hidup dalam dunia (in der Welt sein) bersama yang lain (mitdasein) dan karena ada dalam keterhubungan ini kita hidup dari
dan untuk empati kemanusian. Kita turut merasakan penderitaan (compassion) sesama kita di mana pun
mereka berada. Karena itu solidaritas global dan toleransi universal menjadi imperatif
kategoris di tengah situasi pandemi yang melanda dunia. Kita wajib berbela rasa
untuk yang lain karena kemanusian dan demi peradaban bangsa manusia. Kita tentu
juga wajib bertoleransi terhadap setiap ketentukan dan kebijakan pemerintah meskipun
itu begitu mungkin menyusahkan aktivitas normal sehari-hari. Kita bertoleransi
secara rasional terhadap hal-hal yang sulit disesuaikan dalam keadaan hari-hari
ini. Toleransi masa pandemi adalah menerima dengan penuh hormat dan bertanggung
jawab terhadap setiap aturan dan tata tertib yang diberikan pemerintah.
Toleransi bagi tim medis adalah berani merawat pasien meski besar kemungkinan
tertular. Toleransi yang radikal dan saleh. Radikal karena memang harus mempertaruhkan
nyawa dan keahlian demi keselamatan pasien. Saleh karena berjuang demi nilai
kehidupan dan kemanusian yang tentu memuliakan nama Tuhan.
Transmisi
covid-19 menjangkau benua-benua. Ia sudah merupakan sebuah kenyataan pandemi.
Perhatian dunia menghadapi situasi ini adalah suatu tanggapan global dengan
sikap sosial yang juga berjejaring secara universal. WHO memberikan instruksi
hidup bersih dan sehat selama masa pandemi. Cina mengirimkan bantuan alat dan
tenaga medis ke sejumlah negara yang hadapi virus corona. Negara lewat instansi
kesehatan mengirimkan sejumlah masker untuk masyarakat dan menetapkan berbagai
kebijakan untuk mengurangi penyebaran virus. Perhatian dunia global juga
pemerintahan partikular masing-masing negara menunjukkan kepedualian dunia dan negara
kepada warga huniannya. Namun masih ada warga negara yang apatis terhadap pemerintah.
Sikap ini tentu intoleran karena tidak bersedia menerima instruksi yang diberikan oleh organisasi
kesehatan dunia (WHO) dan pemerintah.
Wuhan, salah satu kota tersibuk di Cina dengan
kualitas pendidikan dan penelitian laboratorium yang memadai, menjadi tempat
pertama berkembangnya virus korona. Di kota ini terdapat pasar seafood yang dikenal dengan Huanan Seafood wholesale Market yang
menjual juga hewan-hewan seperti kelalawar, ular, tikus, babi, dan lain
sebagainya. Pasar Huanan, Wuhan, kemudian dikenal sebagai tempat pertama
menyebarnya virus corona. Dicurigai virus ini berasal dari kelawar sebagai
reservoir yang potensial untuk SARS-Cov atau SARSr-Cov (severe acute respiratory syndrome related corona virus). Virus ini
mirip dengan virus corona pada kelalawar dan bersifat zoonotik. Awalnya
menyerang binatang, tetapi kemudian tranmisinya kepada manusia dengan menyerang
sumber pernapasan. Virus Korona menyebabkan sindrom penapasan akut berat
sehingga jumlah kematian kian meningkat dari waktu ke waktu. Keberadaanya
hendak membenarkan apa yang dikatakan Martin Heidegger, sejak kelahiran setiap orang sudah cukup tua untuk mati. Kematian
terasa begitu akrab sekali.
Covid-19 bisa kita sebut sebagai malum (keburukan) yang menyebabkan
penderitaan penderitaan. Jika ia dibuat oleh manusia, penyakit virus ini kita
sebut malum morale. Keburukan moral
yang ada karena aksi manusia. Jika virus hadir secara alamiah, kita menyebutnya
malum physicum. Keburukan alamiah
yang ditimpahkan alam kepada manusia. Ada semacam pencarian alam semesta
terhadap sebuah harmoni kosmos. Pada sisi yang sulit diterima pandemi covid-19
fungsional untuk kerja laboratorium para ilmuwan dan distribusi obat-obat yang
memberi profit bagi negara yang maju dalam bidang kesehatan seperti Cina dan
Amerika.
Ada
kemungkinan jawaban bahwa pandemi global ini terjadi karena suatu keterbatasan
fakta kehidupan alam semesta. Boleh jadi kita sebut malum metaphysicum. Keburukan metafisis, yang melampui pengertian
fisis dan moral, keburukan yang ada secara ontologis pada struktur dasar
keterbatasan manusia dan dunia. Manusia terbatas, dapat salah, melakukan
kejahatan, menderita, dan dapat mati. Alam pun terbatas sehingga selalu mencari
keseimbangan kosmis dengan berbagai benturan dan bencana.
Barangkali
tragedi virus mengafirmasi suatu pencarian alam semesta akan sebuah harmoni
universal. Virus corona telah merusak tatanan dasar hidup manusia dan segala
bentuk peradabannya. Dunia yang damai dan harmonis telah digoncang oleh virus
ini. Lukisan dunia yang anggun dirusak oleh penyakit global covid-19. Ia seolah
menjadi bagian dari suatu keutuhan dan keteraturan yang lebih tinggi. Dengan
ini kita belajar untuk melihat secara terbuka gambaran akan keseluruhan yang
proposional. Kita sedang berada dalam ziarah menuju harmoni yang lebih tinggi.
Menghadapi
situasi ini dibutuhkan toleransi global dengan unsur dasar compassio (belas kasih). WHO
memberikan instruksi, pemerintah membuat kebijakan dan tugas warga negara
sekaligus warga dunia ialah wajib toleran. Warga Negara harus menerima secara
rasional setiap instruksi dan wajib bertegang rasa terhadap penderitaan orang
lain. Toleransi harus didasari oleh empati kemanusian dan rasionalitas
komunikatif supaya jangkauan penerimaan dan respek sanggup menyentuh batin
setiap orang dan melampaui prasangka individual dan kolektif.
POLEMIK PILKADA DI TENGAH PANDEMI COVID-19
Pandemi covid-19 kian meresahkan kehidupan
masyarakat. Para ahli medis terus berusaha mencari solusi terbaik untuk
mematikan virus berbahaya ini atau memutuskan rantai penyebarannya. Namun dalam
pengamatan-pengamatan sederhana bisa dikatakan bahwa usaha-usaha ini kurang
mendapat perhatian yang serius dari masyarakat pada umumnya. Dan kalau ditinjau
lebih dalam sebenarnya bukan hanya masyarakat yang tidak mempedulikan usaha
dari para ahli ini, tetapi juga para politisi dan pemerintah. Atas dasar ini,
lahir sebuah pertanyaan yang cukup sederhana, yaitu: kira-kira siapa yang
bertanggung jawab sepenuhnya atas masalah pandemi covid-19 ini, apakah
masyarakat, para medis ataukah pemerintah?
Setiap orang mungkin saja bisa menjawab pertanyaan
di atas dengan berbagai alasan dan pendasaran-pendasaran logis. Namun penulis
berpendapat bahwa persoalan pandemi covid-19 semestinya menjadi tanggung jawab
semua orang. Mengapa demikian? Karena pandemi ini tidak hanya menyerang
masyarakat, atau menyerang para medis saja atau hanya menyerang pemerintah,
tetapi menyerang semua manusia. Lalu, jika pandemi covid-19 ini menyerang kita
semua, mengapa masih ada masyarakat yang belum memperhatikan dan menjalankan secara
serius protokol kesehatan? Dan pertanyaan yang lebih urgen dan mendesak,
mengapa pemerintah dengan tahu dan mau tetap menyelenggarakan pilkada di tengah
pandemi covid-19 ini? Pertanyaan terakhir ini akan menjadi fokus perhatian
penulis dalam tulisan ini.
Semua orang tahu bahwa untuk terselenggaranya suatu
pilkada membutuhkan dana yang besar dan persiapan yang relatif lama.
Persiapan-persiapan terutama dibuat oleh para calon. Salah satu hal yang dibuat pada masa sebelum
pilkada itu adalah pemaparan visi dan misi dari setiap calon. Kesempatan
pemaparan visi misi tentu momen yang tidak bisa dilewatkan baik oleh masyarakat
maupun oleh calon itu sendiri. Masyarakat bisa menentukan pilihan yang baik dan
mungkin benar bisa saja karena masyarakat sendiri menilai calon saat
berkampanye atau sebaliknya saat kampanye menjadi kesempatan yang baik bagi
para calon untuk mengarahkan pilihan masyarakat. Oleh karena itu pilkada tanpa
kampanye tentu mustahil dan kampanye tanpa massa mungkin sulit.
Gambaran di
atas melahirkan suatu situasi kontradiktif. Pada satu sisi pemerintah
mempropagandakan pelaksanaan protokol kesehatan secara ketat tetapi di sisi
lain memberi peluang terciptanya situasi yang mengumpulkan banyak orang. Dalam
situasi ini, pemerintah memutuskan untuk tetap mengadakan pemaparan visi-misi,
tetapi tanpa tatap muka dan coba menerapkan kampanye lewat daring.
“Saat ini, KPU masih menyiapkan revisi peraturan KPU
tentang kampanye pilkada 2020. Anggota komisi pemilihan umum (KPU) Republik
Indonesia, I Dewa Kade Wiaras Raka Sandi, dalam diskusi daring, senin (21/9),
menjelaskan, KPU akan mengatur kampanye daring. Salah satunya, terkait akun
resmi para calon kepala daerah dan pengawasan terhadap materinya. Pasngan calon
gubernur dan wakil gubernur bisa memiliki 30 akun resmi. Sementara kepala
daerah bisa memiliki hingga 20 akun resmi.” Kompas, Rabu, 23 September 2020,
hlm., 2.
Pertanyaannya,
apakah mungkin kampanye daring bisa berjalan mencapai tujuan yang diharapkan? Dan
apakah semua masyarakat bisa mengambil bagian dalam kampanye daring itu? Dengan
minimnya kemungkinan keterlibatan masyarakat dalam kampanye daring maka
pemerintah tentu berada dalam situasi dilematis antara tetap menerapkan
kampanye seperti biasa selama ini dengan kemungkinan penyebaran virus corona
yang tinggi atau menerapkan kampanye daring dengan kemungkinan keterlibatan
masyarakat yang rendah.
Ada kemungkinan lain yang dipikirkan bahwa kampanye
tetap berjalan seperti biasa tetapi dengan memperketat protokol kesehatan.
Penulis melihat hal ini tetap sangat berisiko. Kesadaran masyarakat untuk
menaati protokol kesehatan masih amat rendah. Hal ini terbukti saat pendaftaran
pasangan calon di beberapa daerah, Manggarai Barat, misalnya. Antusiasme
masyarakat dengan pilihannya mendorong mereka hadir dalam jumlah banyak padahal
sudah dihimbau untuk tidak menghadirkan massa. Pandangan yang mengganggu pun
terlihat jelas dimana banyak orang tidak menggunakan masker. Akankah pilkada
2020 berjalan aman dan bebas dari penyebaran covid-19?
Pemaparan visi-misi lewat daring, tentu akan menimbulkan
banyak persoalan baru, baik itu bagi para calon maupun bagi masyarakat. Kampanye
lewat daring seperti itu sangat tidak efektif karena kampanye merupakan kesempatan
yang sangat penting bagi para calon untuk bertatap muka dengan masyarakat
selain untuk memaparkan visi-misi mereka tetapi juga untuk mengetahui
situasi-situasi masyarakat yang membutuhkan perhatian dari para calon jika
terpilih. Ada beberapa persoalan yang ditemukan
jika kegiatan kampanye daring tetap dilakukan, di antaranya:
Pertama, para
calon tidak bisa mengunjungi wilayah-wilayah di daerahnya terutama wilayah
terpencil yang membutuhkan perhatian serius. Biasanya para calon mengunjungi
masyarakat dan berkampanye di beberapa wilayah jika hal ini ditiadakan maka
calon pemimpin daerah kurang memiliki gambaran mengenai wilayah-wilayah dan
kebutuhan penting dari masing-masing wilayah. Hal ini tentu amat berpengaruh
pada kinerja para pemimpin ke depannya. Mereka tidak mengetahui persis apa yang
dialami dan dirasakan oleh masyarakat akar rumput.
Kedua, tidak
dapat mendengar secara langsung apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Sekurang-kurangnya
pada saat pemaparan visi-misi seperti biasa selama ini ada diskusi antara
masyarakat dengan para calon terutama juga mungkin berkaitan dengan aspirasi
masyarakat yang menjadi kebutuhan mendasar mereka. Hal ini tidak bisa terjadi
jika kampanye dibuat daring.
Ketiga, kampanye
daring bisa berjalan mengandaikan masyarakat memiliki handpone android, listrik
dan jaringan internet. Jika beberapa komponen penting ini tidak ada maka
kampanye daring hanya akan diikuti oleh sebagian kecil orang terutama
orang-orang yang mampu dan memiliki jaringan internet. Oleh karena itu, kampanye
daring sesungguhnya tidak cocok dengan wilayah-wilayah kita yang nota bene
belum merata dalam hal pembangunan.
Persoalan-persoalan inilah yang perlu
dipertimbangkan secara serius dalam rangka penyelenggaraan pilkada di tengah
pandemi covid-19 ini. Selain persoalan-persoalan di atas tetapi juga pemerintah
perlu mempertimbangkan kerugian secara ekonomis bila tetap dijalankannya
pilkada dalam situasi sekarang ini. Pada umumnya pilkada membutuhkan dana besar
untuk pengadakan kotak suara, penggandaan kerta suara, honor untuk para petugas
yang bekerja memperlancar proses pilkada dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Lalu,
jika pilkada dilakukan di tengah situasi sekarang maka anggaran pun akan
melonjak naik karena ditambahkan dengan beberapa perlengkapan protokol
kesehatan. Sementara itu, di sisi lain banyak masyarakat yang menderita akibat
virus corona.
“Kenaikan anggaran signifkan di tengah pandemi
dipengaruhi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) yang perbanyak. Ini sebagai
konsekuensi dari pengurangan jumlah pemilih per TPS dari mula maksimal 800
orang menjadi maskimal 500 orang. Selain itu, biaya yang besar juga untuk
pengadaan alat perlindungan diri penyelenggaran pemilu ataupun untuk pemilih,
seperti masker, hand sanitizer, sarung
tangan, pelindung wajah, dan disinfektan.” (Kompas, Rabu, 23 September 2020,
hlm., 15.)
Melihat kenaikan dana yang akan digunakan dalam plikada
yang akan datang ini, maka adalah lebih baik jika penyelenggaraan pilkada
ditunda supaya segala dana yang dianggarkan untuk pilkada difokuskan untuk
membantu masyarakat akar rumput yang terkena dampak pandemi covid-19. Semua
pihak hendaknya bekerja sama untuk mencari solusi untuk memutus rantai
penyebaran pandemi covid-19.
Siapa saja di muka bumi ini memiliki kemungkinan
terpapar virus corona. Setiap orang bisa menjauhkan diri dari kemungkinan itu
kalau betul memperhatikan protokol kesehatan. Sebagian besar wilayah di
Indonesia tahun ini akan menyelenggarakan pilkada. Ini akan menjadi peluang
baik bagi para politisi tetapi peluang buruk bagi semua warga negara karena
kemungkinan besarnya tingkat penyebaran virus corona. Mari bersama kita
menghindarkan diri dari peluang buruk itu dengan mempertimbangkan penyelenggaraan
pilkada dengan bijaksana.
Sayembara Cerpen
Unit St Arnoldus Nitapleat
Seminari Tinggi St Paulus Ledalero
Tema : W A N I T A
Syarat Dan Ketentuan Umum
Ø Cerpen ditulis berdasarkan Tema yang telah ditentukan panitia dan disertakan dengan judul pilihan penulis sendiri.
Ø
Panjang
naskah cerpen berkisar antara 1000-1500 kata.
Ø
Cerpen
yang dilombakan harus merupakan karya orisinal penulis dan belum pernah
dipublikasikan di media apapun dan atau tidak sedang diikutsertakan dalam perlombaan
apapun.
Ø
Cerpen
ditulis menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, jika
menggunakan istilah tertentu, harus disertakan dengan arti atau maksudnya.
Ø
Cerpen
ditulis menggunakan jenis huruf Times New Roman, ukuran huruf 12, Spasi 2,5 dan
ukuran kertas A4.
Ø
Biodata
penulis ditulis dalam bentuk narasi singkat pada akhir naskah cerpen.
Ø
Naskah
cerpen dikirim dalam bentuk file via Email atau WA dengan subjek “Nama Panggilan_Judul
Cerpen.
Keterangan :
Ø
Lomba
Penulisan cerpen ini terbuka bagi Anggota Unit St. Arnoldus Janssen Nitapleat.
Ø
Timeline
dan Deadline naskah Cerpen mulai tanggal 01-30 Oktober 2020.
Ø
Penjurian
akan dibuat pada tanggal 01-08 November dan pengumuman kejuaraan digelar pada
tanggal 10 November 2020.
Ø
Naskah
dikirim ke Email wedjogili.vincent25@gmail.com
atau WA- 0822 4781 8483.
Ø
Semua
Naskah yang terdaftar dalam perlombaan akan dibukukan dalam buku Antologi “Sandal
Jepit” Wisma Nitapleat.
Ø
Peserta
yang keluar sebagai Juara 1-3 akan memperoleh uang pembinaan dan Sertifikat
Cetak.
Ø
Semua
Peserta yang berpartisipasi akan mendapat Sertifikat Cetak.
Selamat
Berjuang…!!!