ILHA COMPRIDA; SEBUAH KENANGAN SALIB
(P. Yanto Naben, SVD)
Kembali ke beberapa tahun yang lampau.
Saat saya mengikrarkan kaul kekal dalam Serikat Sabda Allah (Societas Verbi
Divini/SVD). Saya mendapat berita bahwa tanah misi pertama saya nantinya adalah
Provinsi SVD Brasil Sentral. Provinsi ini berpusat di kota São Paulo.
Seperti apakah Brasil
dan São Paulo? Saya hanya tahu Brasil adalah negeri para legenda sepak bola.
Ada Pele, Romario, Ronaldo, Ronaldinho, juga Neymar dan sederetan nama beken
lainnya. Saya berangan-angan, suatu saat mungkin saja saya bertemu mereka atau
menonton langsung permainan mereka di lapangan hijau.
Usai ditahbiskan
menjadi imam pada Oktober 2009, saya mempersiapkan diri ke tanah misi Brasil.
Saya mengurus paspor dan mengajukan permohonan visa ke Brasil. Urusan ini
beres. Maka, saya berangkat ke Brasil.
April 2010 saya tiba di São Paulo,
Brasil. São Paulo adalah salah satu kota
terbesar di Brasil. Di kota inilah saya memulai perjalanan misi. Saya dijemput
di Bandara Guarulhos oleh saudara saya, Pater Clemens Naben. Kami bersaudara
kandung. Kami bergabung di kongregasi yang sama dan berkarya di provinsi SVD
yang sama. Ini suatu kebetulan. Seingat saya, waktu melamar dulu saya hanya
menempatkan Brasil sebagai destinasi misi di urutan ketiga tanpa jelas menulis
Brasil Sentral, Brasil Utara atau Selatan atau Regio Amazon. Ternyata pilihan
ketiga itu menjadi milik saya. Bekerja bersama saudara sekandung di wilayah
yang sama adalah satu kebahagiaan tersendiri. Saya tidak merasa sendirian dan
merasa dikuatkan untuk bermisi dalam situasi yang serba baru.
Sebelum
terjun di medan misi, saya mempersiapkan diri dengan belajar bahasa Portugis. Berkutat kembali
dengan kata-kata baru dan mencoba untuk berbicara. Waktu enam bulan bahkan
terasa terlalu singkat. Tak mungkin saya menguasai dengan fasih bahasa yang
sangat berbeda dengan bahasa ibu saya, juga bahasa Indonesia. Cuma, satu dua
kata dari akar kata yang sama di bahasa Latin, yang bisa saya pahami dengan
cepat.
Dengan
lidah masih berkelu, saya akhirnya terjun juga ke paroki. Dalam hati, saya
mengatakan, “terserah apa mau Roh Kudus, saya akan berusaha berbicara.” Paroki
pertama yang saya lalui adalah Paroki Nossa Senhora das Neves, Iguape. Letaknya
di bagian selatan São Paulo. Di paroki ini ada satu basilika yang dibangun pada tahun
1760. Di dalamnya ada patung Bom Jesus yang ditemukan di pesisir pantai Juréia pada tahun 1647. Sejak saat itu, dimulai tradisi
prosesi untuk menghormati Yesus yang pestanya dirayakan setiap tanggal 6
Agustus.
Iguape memberi saya kesempatan untuk
belajar memahami situasi sepotong kecil wilayah Brasil. Saya
berjumpa dengan banyak orang yang sabar. Saya punya banyak kesempatan untuk
beradaptasi dengan Brasil. Dimulai dengan memperkaya kemampuan bahasa Portugis,
mengenal kebiasaan serta kebudayaan orang Brasil, dan membangun komunikasi dengan
orang Brasil dari berbagai latar belakang, asal usul dan budaya.
Menarik ketika
saya mulai mengenal komunitas orang-orang Indian dan komunitas orang
Quilombola, yaitu komunitas orang-orang yang berasal dari keturunan kaum budak
yang dulu melarikan diri atau bebas dari tuannya dan tinggal di pedalaman atau
daerah terpencil. Orang Indian yang ada
di Iguape berasal dari suku Guarani. Mereka hidup berkelompok dan terpisah dari
perkampungan penduduk. Mereka lebih suka hidup di tengah hutan dan hidup dari bercocok
tanam dan mengumpulkan hasil hutan. Perawakan mereka seperti orang Asia yang berkulit
kuning langsat, tidak seperti orang Eropa yang tinggi dan berkulit putih.
Sedangkan orang Quilombola umumnya adalah keturunan Afrika. Mereka juga tinggal
di pedalaman yang jauh dari keramaian kota. Mereka juga hidup dari bercocok
tanam dan mengumpulkan hasil hutam.
Empat tahun
sudah berlalu, kemudian saya dipindahkan ke Paroki Nossa Senhora Estrela do
Mar, Ilha Comprida. Ilha Comprida adalah sebuah pulau kecil yang memanjang. Ia
dipisahkan oleh laut dan sungai. Kedua
ujung pulau ini adalah pertemuan laut dan sungai. Sungai Ribeiro bermuara di
Ilha Comprida. Di depan pulau ini terbentang samudera Atlantik.
Ilha Comprida adalah sebuah paroki yang
mekar dari Iguape pada tahun 2004. Paroki ini dibangun oleh Pater Bertoldo Kramer SVD,
seorang misionaris Jerman. Umatnya berjumlah kurang lebih enam ribu orang yang
tersebar di berbagai komunitas. Sebagian besar umat hidup dari usaha dagang,
restoran dan penginapan karena Ilha Comprida adalah salah satu daerah tujuan
wisata pantai. Sebagian lagi menjadi nelayan untuk menunjang hidup.
Sayang, hanya
seumur jagung saya tinggal di Ilha Comprida. Belum banyak jejak
kaki yang saya tinggalkan di paroki ini. Terpaksa. Yah, kata itu paling tepat
mewakili jejak kaki saya yang terakhir di paroki ini. Saya terpaksa harus keluar dari paroki ini karena pengalaman
salib. Peristiwa ini menjadi titik balik perjalanan misioner di Brasil. Saya menerima pengalaman salib itu sebagai bagian dari
hidup saya sebagai seorang misionaris.
***
Maret 2016. Jam
dinding di pastoran menunjukkan pukul
19:30. Sama
seperti malam-malam sebelumnya. Tak ada yang istimewa. Saya baru saja melayani
pengakuan pribadi dua umat di gereja. Selesai dengan Sakramen Pengakuan, saya
masuk ke rumah pastoran. Terali dan
pintu depan saya kunci. Begitu
juga pintu di depan tangga yang menghubungkan lantai bawah dan lantai
atas.
Saya sendirian. Rekan kerja saya, Pater
Danilo, berada di São Paulo untuk urusan kesehatan. Maklum dia sudah tua,
berumur 85 tahun. Saya panaskan makanan untuk santap malam, lalu duduk di depan
TV. Saya memutar saluran NatGeo. Cerita petualangan dan liputan tentang
binatang liar atau keindahan alam adalah favorit saya.
Cuaca malam itu agak panas. Gerah. Saya
membiarkan pintu yang menghubungkan dapur-kamar makan dengan teras lantai atas
terbuka. Setelah makan malam saya mencuci piring dan kembali menonton. Kali ini
sambil berbaring di sofa. Lampu di ruang TV saya matikan. Hanya di lorong tengah yang saya
biarkan menyala. Sambil menonton saya memeriksa pesan di ponsel.
Waktu terus berlalu. Cerita petualangan
di NatGeo terus berlanjut. Tiba-tiba saya melihat gerakan bayangan orang di belakang saya. ¨Kok Pater Danilo sudah pulang dari São Paulo tanpa memberi
kabar terlebih dahulu?¨ bisik saya dalam hati. Spontan saya terbangun, lalu
menoleh ke belakang. Tak disangka, dua tamu tak diundang sudah ada di belakang
saya. Entah dari mana
mereka masuk. Yang satu tinggi, berjaket coklat muda. Yang satu perawakannya
kecil, setinggi kurang lebih 1,30 cm dan berbaju biru. Keduanya berkulit sawo
matang.
Yang tinggi
langsung mengeluarkan pistol dari saku jaketnya. Ia menodongkan pistol ke arah saya. “Diam saja di situ. Jangan bergerak,” perintah dia
dengan suara pelan. Saya menurut. “Aduh Tuhan, saya sudah dirampok.”
Yang berpostur
tubuh kecil langsung mengambil ponsel dari tangan saya. Ia berjalan ke arah
jendela dan melihat ke luar. Yang berpostur tubuh tinggi mendekati saya dan
menodongkan pistol. Ia membuka silindernya serta menunjukkan peluru. Ia mencoba
meyakinkan saya bahwa pistol yang ada di tangannya itu bukanlah mainan.
Belakangan saya tahu itu revolver kaliber 38.
“Sudah lihat?”
gertaknya setengah berbisik dengan intonasi menekan. Saya mengangguk diam dalam
ketakutan. Jantung saya berdegup semakin kencang dan berdebar menghadapi
situasi buruk yang mungkin terjadi.
Yang berpostur
tubuh kecil langsung bergerak ke laci lemari arsip. Rupanya dia sudah tahu
kalau di sana kami biasa menyimpan uang. Yang berpostur tubuh tinggi
mengintimidasi saya untuk bertiarap di lantai. Saya patuh dalam kepasrahan.
Dalam hati saya mulai memanjatkan doa memohon kekuatan Tuhan.
Dia lalu
memasuki kamar saya dan kembali dengan kabel mikrofon di tangannya. “Kita ikat
dia saja,” ujarnya tenang dengan ekspresi wajah dingin. Tangan saya dipelintir
ke belakang punggung lalu diikat. Kaki saya juga demikian.
Saya mencoba
melihat-lihat keadaan di sekeliling. Si
kecil muncul dan .... prakkk... Sebuah tendangan telak mendarat di kepala dari kakinya
yang bersepatu kets putih buram. Kaca mata saya terlepas dan terlempar ke
kolong meja.
“Jangan lihat
muka saya!” Si kecil berkata dingin. Saya diam menahan sakit. Sejak saat itu
saya tidak lagi memandang ke arah dua tamu tak diundang itu. Hanya suara pelan
mereka yang berbisik rahasia penuh rencana.
Mereka
mengambil kumpulan kunci membuka pintu dekat tangga. Barangkali juga pintu dan terali di depan sudah dibuka.
Sudah pasti anggota gerombolan mereka yang lain ikutan masuk. Mereka mulai
beraksi dan mencari apa saja yang berharga untuk dibawa.
Salah satu dari mereka mendekati saya.
Dia bertanya, “Di mana kau simpan uang...!?”
“Kami punya banyak uang. Hanya uang itu
saja yang kami punya,” jawabku.
Mereka tidak
mempercayai jawaban saya. Sekali
lagi kepala saya ditendang. Saya hanya bisa menahan sakit. Ditanya lagi. Saya berikan jawaban yang
sama. Lagi-lagi saya ditendang. Kali ini menghujam
bagian rusuk kiri.
“Di mana pastor tua itu!?” tanya
seorang dari mereka.
“Dia tidak ada di sini. Dia sedang
berobat di São Paulo,” jawabku. Rupanya mereka sudah mengintai dan mempelajari
rutinitas kami dan tahu pasti berapa orang penghuni pastoran ini.
“Saya akan bunuh kau kalau tidak segera
tunjukkan di mana brankas!”.
Saya mempersilahkan dia mencari di
kamar-kamar. Ada tiga kamar tidur di lantai atas. Lalu, dia melepaskan ikatan
kaki dan menggiring saya ke kamar dalam keadaan kepala tertunduk. Saya buka
laci lemari pakaian, menunjukkan satu tas jinjing yang terbuat dari kain
berwarna hitam. Ada uang di dalamnya. Tas diambil, lalu saya dipaksa untuk
tiarap lagi. Mereka menutup
kepala saya dengan sebuah celana pendek yang mereka temukan di tempat tidur.
Seorang
bertanya pelan di telinga saya. “Di mana kamu sembunyikan brankas uang. Dulu
saya lihat di kolong tempat tidur kamar sebelah. Sekarang tidak ada lagi. Di
mana brankas itu?” Rupanya mereka ini yang Desember tahun lalu menyatroni
pastoran ini. Makanya dia tahu betul seluk beluk pastoran. Saya hanya menjawab
singkat. “Kami tidak punya brankas. Hanya uang itu yang kami punya.”
Dia mulai marah. Dia todongkan moncong
revolver di bagian belakang kepala saya. Tidak puas dengan itu, moncong revolver dimasukkan ke
mulut. Saya makin ketakutan. Mereka
mengancam akan membunuh saya. Berkali-kali mereka menendang kepala saya. Bagian rusuk juga jadi sasaran empuk
kaki mereka. Mereka menginjak-injak punggung saya. Saya sempat susah bernapas.
Saya hanya
mendengar suara gaduh ketika kamar-kamar lain diobrak-abrik. Mereka mencari
keberadaan brankas juga barang-barang berharga lainnya.
Tidak puas
dengan apa yang ditemukan, seorang kembali mendekati saya. Dia mendesak sekali lagi supaya saya mengaku di mana brankas
disembunyikan. Saya tetap memberikan jawaban yang sama. Dan kepala saya tetap
jadi sasaran empuk kaki mereka. Entah sudah berapa kali mereka menendang kepala
saya.
“Saya ini pastor. Sumpah demi Tuhan. Saya sudah bilang
yang sebenar-benarnya. Tidak ada brankas.”
Dan mereka
tetap tidak percaya.
“Saya
potong jarimu. Saya cabut kukumu,” gertak seorang dari mereka dengan suara
tetap pelan menekan. Seketika saya merasakan sakit di jarà kelingking kanan.
Saya merasakan sayatan pisau. Sekuat tenaga saya menahan sakit dan mengerang
kesakitan.
Lalu saya
ditendang lagi. Tutupan kepala saya disingkap. Seorang dari mereka menyumpal
mulut saya dengan kaos kaki. Dia bertanya lagi di mana brankas itu
berada. Saya tidak bisa menjawab.
Mereka semakin
brutal dengan menempelkan besi panas di lengan kanan saya. Sakitnya luar biasa.
Saya dicekoki dengan pertanyaan yang sama. Namun saya tidak punya jawaban lain.
Lagi-lagi mereka tidak mempercayai jawaban saya. Siksaan pun berlanjut. Kali
ini kaki kiri yang merasakan pisau panas. Dua sayatan besar di paha kiri
belakang dekat lipatan kaki. Saya hanya bisa mengerang kesakitan. Mereka
bertanya lagi. Saya tidak bisa berikan jawaban yang lain selain bahwa memang
tidak ada brankas. Mereka tetap tidak puas dan kian beringas. Kelingking kiri
saya kembali jadi sasaran empuk. Setelah disayat-sayat, kini dijepit dengan
tang. Saya merasakan sakit yang luar biasa. Tidak puas dengan itu, pisau panas didekatkan ke mata saya.
Saya pejamkan mata. Menahan panas dari pisau yang hanya berjarak beberapa
milimeter dari bola mata saya.
Siksaan dan
penganiayaan ini makin menjadi-jadi. Saya sudah tidak mampu bertahan. Putus
asa. Rasanya ingin menangis. “Tuhan,
kapan mereka akan keluar dari sini?” doa saya dalam hati.
Seorang mendekat lagi. Ia bertanya,
apakah di gereja ada brankas. Saya mempersilahkan mereka mencarinya sendiri di
gereja. Kunci saya tunjukkan. Mereka pun ke gereja yang hanya berjarak beberapa
meter dari pastoran. Saya tetap telungkup di lantai. Seorang dengan revolver di
tangan tetap menjaga saya. Dia bertanya sekali lagi di mana brankas saya
sembunyikan. Saya diam saja. Dia menginjak-injak kepala saya sembari memukulkan
popor revolver itu tepat di ubun-ubun. Panggg!!! Telinga saya terasa tuli. Mata
berkunang-kunang. Saya membalikkan kepala dan terasa ada tetes darah yang
mengalir dari pelipis mata kanan yang ternyata sudah sobek dan berdarah.
Di gereja, para perampok itu masuk ke
sakristi. Mereka mengambil dua piala misa. Barangkali mereka berpikir
piala-piala itu terbuat dari emas. Mereka mencabut tabernakel, tempat
penyimpanan hosti kudus, lalu dibawa ke pastoran. Pintu tabernakel dicungkil
paksa. Mereka mengambil sibori berisi hosti. Hosti kudus dihamburkan begitu
saja ke lantai. Tindakan penodaan yang biadab. Hosti, bagi orang Katolik,
adalah simbol tubuh dan darah Yesus Kristus. Setiap kali orang Katolik merayakan
ekaristi, mereka akan menyambut hosti sebagai santapan rohani yang menguatkan
iman dan hidup mereka. Maka orang Katolik tidak akan menerima bila ada penodaan
terhadap hosti kudus karena hal itu berarti menodai iman mereka.
Mereka tetap
tidak menemukan brankas. Bebarapa
barang berharga sudah mereka ambil. Kamera Canon kesayanganku, laptop milik
paroki dan milik saya dan dua ponsel juga digasak. Dari kamar Pater Danilo
mereka mengambil satu kalung emas pemberian ibunya ketika ditahbiskan menjadi
imam lima puluhan tahun lalu.
Setelah sekian lama dalam genggaman
para bajingan ini, saya mendengar suara bisik-bisik di antara mereka. Lalu,
bunyi langkah menuruni tangga. Dan hening. Hanya saya sendirian di kamar dalam
keadaan tertelungkup dan terikat. Kurang lebih lima menit lamanya saya terus dalam
keadaan seperti itu.
Dengan susah
payah saya bangun. Sempoyongan dan nyaris terjatuh. Saya berusaha melepaskan
ikatan di tangan. Cukup kuat juga ikatannya. Saya berhasil melonggarkan ikatan,
lalu saya menuju pintu meskipun dalam keadaan sempoyongan. Dengan tangan masih
terikat, saya mencoba menutup dan mengunci pintu kamar. Saya duduk sebentar di
tepi tempat tidur sambil menarik napas panjang. Oh, ternyata saya masih hidup.
Setelah itu, saya membuka jendela untuk
minta pertolongan. Jendela terbuka sedikit. Tetapi kemudian saya melihat ada
telepon wireless di atas meja komputer. Saya mengambilnya dan mulai menekan nomor telepon
rumah salah satu umat paroki, Elzio Moraes. Panggilan saya tidak bersahut.
Sudah lewat tengah malam. Mereka pasti sudah tidur. Saya mengulangi sekali
lagi. Kali ini, Neidy, istrinya Elzio, yang menerima. “Saya Pater Cristiano.
Panggil Elzio. Saya dirampok. Segera lapor polisi dan cepat datang ke sini dan
tolong saya.”
Neidy
membangunkan Elzio. Kira-kira sepuluh menit berselang, belum juga ada yang
datang. Saya menelepon Neidy sekali lagi. Dia mengatakan, Elzio dan Sebastião Ferreira, dalam
perjalanan ke pastoran.
Beberapa saat berselang mereka berdua
tiba. Saya terharu
sangat dengan kehadiran mereka. Mereka diutus Tuhan untuk menolong saya. Ikatan
tangan saya dibuka. Tuhan telah mengabulkan doa saya.
Beberapa waktu
kemudian polisi dan ambulans tiba. Saya segera dilarikan ke rumah sakit. Elzio dan Sebastião membuat laporan polisi.
Dua hari setelah kejadian paling tragis
dalam hidup saya ini, polisi menciduk tiga tersangka. Saya mengenali dua di
antaranya. Ternyata mereka masih anak di bawah umur. Mereka pun ditahan untuk
diproses secara hukum.
Sebulan setelah
kejadian perampokan itu, saya berjuang untuk memulihkan diri. Yang tersisa
adalah luka-luka bakar yang mengering, sobekan di pelipis mata, dan sensasi
saraf yang aneh di jarà kelingking kanan akibat jepitan tang.
Hal terparah dari pengalaman tragis ini
adalah trauma. Saya masih
dibayang-bayangi ketakutan akan terulang lagi kejadian yang sama. Bertemu
pemuda jalanan saja saya sudah takut. Barangkali mereka juga penjahat, pikir
saya. Sebagian dari kemerdekaan jiwa saya
ikut terampas.
Saya perlu waktu untuk memulihkan
kondisi mental yang terpuruk dan senantiasa diliputi ketakutan. Karena itulah,
dengan berat hati saya meninggalkan paroki tempat saya bekerja setahun terakhir
ini, padahal saya merasa baru saja memulai aktivitas misioner di tempat
ini.
Saya mengalami peristiwa naas ini pada
minggu terakhir sebelum pekan suci. Ada makna spiritual di baliknya. Saya bisa
mengalami sedikit dari pengalaman salib Yesus. Dan setelah pengalaman salib,
selalu datang kebangkitan. Saya terlahir baru lagi. Memaknai hidup dan karya misioner
saya dalam peristiwa salib dan kebangkitan Yesus. Bermisi di tengah dunia yang
sakit. Itu tantangan. Itu salib.
Saya ingat nas
kitab suci ini: Sebab Allah setia dan
karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada
waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar sehingga kamu
dapat menanggungnya. (1 Kor 10:13). Saya sudah berhasil melewati satu fase
pencobaan. Tuhan akan memberikan saya kekuatan untuk memulihkan diri untuk
kembali menjadi alat-Nya mewartakan damai dan cinta. Saya percaya sepenuhnya
pada Tuhan. Karena, sesuai moto tahbisan saya, “Tuhanlah yang Menopang Aku”
(Mzm 54:6).
***
Itulah kenangan salib di Ilha Comprida
yang tidak terlupakan. Saya dirampok. Saya disiksa. Dan saya terlahir kembali.
Untuk itu, saya butuh situasi dan pengalaman baru dalam hidup saya. Eliana
Massih, psikolog yang membantu pemulihan saya, menganjurkan supaya saya keluar
dari situasi lama São Paulo untuk mengisi hidup saya dengan pengalaman baru. São Paulo ibarat tiga
hari yang mencekam. Setelah tiga hari, kubur itu kini kosong. Yesus ada di
jalan ke Emaus, ada di Galilea, ada di tengah para murid. Dia telah bangkit.
Maka saya memilih
Amazonas. Sejak tahun 2012, SVD Brasil Sentral mengembangkan sayap misi ke
Amazonas, tepatnya di Keuskupan Humaitá. Manicoré adalah salah satu paroki
dalam wilayah keuskupan ini.
Saya pun membuat
permintaan ke dewan provinsi. Permintaan saya disetujui. Saya pun memulai
episode hidup baru dalam perjalanan misioner di Brasil. Di Manicoré dan
Humaitá, saya mengalamani sebuah petualangan misi yang luar biasa setelah
sebuah pengalaman salib yang tak ´kan terlupakan.
No comments:
Post a Comment