Heran yang Futuristis
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Beranda Nitapleat; menuju kabar dan informasi tentang rumah Nitapleat (surga tempat mata air akan membasuh air matamu). Salam dari kami semua.
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Hujan yang Jatuh ke Bumi
Jangan bilang kalau waktu sudah habis untuk buat kau tersenyum. Rintik hujan saja masih benar-benar merindukan awan, meski sudah menetes ke bumi. Seperti hujan yang jatuh ke bumi, yang tiada pernah lelah membiarkan dirinya terus bersaluir pada debu yang berjubel.
“Mei, apa gunanya mencintai orang yang memaksanya mencintai orang lain.”
Coba sekali saja kau merasakan jatuh cinta.
“Itu sulit. Ketika kau hendak cari bahagiamu sendiri, jangan lupa kalau itu juga bahagiamu.”
Semoga.
Orang sedang rindu turunya hujan, Se.
“Bukan itu saja. Orang juga menunggu mata air yang mampu basahi jiwa yang kering, Mei.”
Jiwa hampa dan hati haus. Hampa karena tiada serintik pun senyum yang tergores dari bibirmu.
“Lalu haus?”
Itu ada di hatimu sendiri, Se. Barangkali kau sendiri pahami itu.
“Kau sudah nonton film Story of Kale?”
Ia. Itu cinta yang tidak saling melukai. Cinta sejati, namanya. Tapi, semua berawal dengan jatuh pada ketukan-ketukan cinta, namanya kebebasan. Dan kau belum sampai di situ, Se. Jangan bilang kau pergi karena kau tak mau sisakan gores di hatimu.
“Sudahlah. Kalau memang jatuh kepada cinta, saya lebih memilih tenggelam dalam kenangan. Di dalamnya, saya hanya bisa mengenang dirimu.”
Kau bilang apa, Se.
“Saya mau titip hati ini di hatimu, Mei. Bawa ke mana saja kau suka. Tapi, jangan kau bawa pada kenangan. Biar saya saja yang mengenang.”
Lokasi: Kampung Adat Maghilewa Sumber: Leganz Parera |
Tujuh tahun yang lalu, ketika gerimis pertama membaui bumi, sedang aroma debu melayang sampai ke wajah mulusmu, hanya ada sepasang sapu tangan yang bisa diberikan padamu. Masih sangat jelas. Kau pakai itu untuk menutup kepalamu. Tapi, sasmitamu hendak bilang kalau kau ingin simpan agar itu tetap abadi, tak termakan debu. Sudahlah, sapu tangan itu untuk membersihkan. Yang abadi itu hanya kenangan.
Mungkin, kalau kita hidup pada tahun-tahun setelah proklamasi, sapu tangan itu sudah diawetkan di dinding rumahmu. Tepat di sebelah pintu rumahmu. Mamamu dulu bilang kalau kamu itu suka menyimpan surat dekat pintu rumahmu. Biar tetap harum, katamu. Juga sapu tangan itu. Barangkali kau juga mau simpan kenangan itu saat kau masuk dan keluar rumahmu agar kau tetap tahu artinya merindu. Itu saat pertama kita saling tersenyum.
Saya tertawa terpermanai melihat kau mengunyah sirih pinang yang buat bibirmu kian meranum. Katamu, itu satu bahasa untuk mengenal seluruh daerahmu, termasuk orang-orang di dalamnya. Mungkin ramah, mungkin tidak. Pastinya, kau selalu ceritakan kalau itu cara orang masuk dan akrab dengan orang-orangmu. Saya mau akrab. Bukan saja hanya akrab biasa. Saya mau benar-benar menjadi bagian di dalamnya.
“Saya mau coba sedikit.”
Jangan. Nanti kau mabuk. Ini bisa bikin orang pusing dan demam.
“Sudahlah, saya hanya mencoba sedikit. Barangkali akrab dengan itu.”
Jangan salahkan saya kalau kau pusing nanti.
“Tak apa. Toh, ini tak sebanding dengan penantian yang tiada akhir. Asalkan jangan sampai bicara nama orang.”
Dan kau pun tertawa. Semoga bukan yang terakhir.
“Di luar hujan, Mei.”
Sudah biasa di sini. Kalau hujan tak turun, sekurang-kurangnya kabut selalu menutupi pandangan kita. Syukur-syukur matamu terang. Jika tidak, kau bisa terantuk.
“Kau jangan mengada-ada. Kau suka hujan, Mei?”
Sangat suka, Se. Siapa yang tidak suka hujan di daerah dingin seperti ini? Para petani, ibu-ibu penenun, para barista kopi, apalagi anak-anak. Di sini tak sama dengan kota-kota besar, Se. Hujan bukan jadi banjir yang bikin rumah semrawut. Hujan itu berkat. Muda-mudi suka sekali jatuh cinta saat hujan turun. Saya tak tahu pastinya kenapa.
“Saya suka sekali aroma sirih pinang ini Mei.”
“Di pedesaan memang nikmat. Suatu saat nanti, kalau memang saya punya kesempatan, saya mau tinggal di pedesaan. Bukan saja karena suhu yang tenang. Orang-orangnya juga murah tuk mencintai,” saya berjanji.
Memang jarak selalu punya akibat pada guncangnya janji. Saya terguncang, dia juga terguncang. Apa gunanya rindu kalau ia hanya buat jarak menjadi semakin pelik. Mulanya biasa-biasa saja.
Saya sudah menetap di pedesaan, di rumah sederhana, bergaya klasik. Saya sangat suka rumahnya, dan juga sekitarnya. Tak terkecuali seorang penghuni pedesaan itu.
Sumber: Kelasaralanga |
Hari itu, kira-kira tujuh tahun berjubel dengan jarak, saya benar-benar mendiami pedesaan dingin itu. Kopi arabika khas daerah itu temani sore yang tenteram. Remang lampu dari pelita bambu memanjakan mata yang haus akan rupa sore yang temaram. Saya duduk sendiri menghadap jendela. Sekali-kali memalingkan wajah di jalan-jalan panjang itu. Ada ibu, ayah, dan anak yang sedang bergegas dari kebun. Masing-masing dengan jinjingannya. “Untuk temani makan malam,” cerita Piu suatu sore, ketika menemani saya menghabiskan senja.
Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Lebat sekali. Dingin, dan berbadai. Halilintar ikut menyambar. Saya yakin, cerita Mei tentang muda-mudi yang jatuh cinta pasti tak mungkin terjadi malam ini. Kopi hangat dan jagung goreng saya kunyah sampai habis. Tak ada sisa. Hanya ampas di gelas, yang kemudian saya balik untuk sekedar mencari ‘petunjuk’. Orang sering bilang begitu. Saya ikut saja, lumayan untuk menghiasi pinggiran gelas dengan pola-pola yang tak saya pahami.
Tiga hari berturut-turut hujan deras, badai dan petir turun membasahi bumi pedesaan. Tak ada aktivitas yang luar biasa ramai di jalanan. Anak-anak tak berani bermain gasing di depan rumahnya. Muda-mudi tak kunjung lewat. “Hari ini hari istirahat,” pikir saya. Di ujung jalan sana, tak ada orang muda yang duduk nongkrong, sekedar bercanda. Meski tak jelas yang mereka cakapkan, tapi yang penting buat desa jadi ramai.
Dan dari ujung jalan pula, muncul segerombolan orang-orang tua. Lelaki semuanya. Mereka berpakaian adat; tubuh berbalutkan kain hitam bermotif kuda, sampai ke ujung mata kaki. Kepala mereka berdestar merah. Tangan menggenggam parang panjang, dengan bulu-bulu di bawah gagangnya. Sementara mereka berjalan, hujan mulai mereda. Tepat di belakang rombongan orang-orang tua itu. Itu baru bagi saya.
Saya hendak beranjak menuju rumah Mei, setelah tiga hari hujan-angin turun begitu derasnya. Saya kaget dan terkejut melihat bahwa ada seorang perempuan di dalam rombongan orang-orang tua itu. Ia berada di tengah-tengah mereka, juga berbalutkan kain hitam bermotif ayam, tanpa destar di kepalanya. Ah, untuk apa ia di sini. Saya mulai paham bahwa ini daerah pedesaan.
“Barangkali ada upacara-upacara pendewasaan seorang wanita,” saya menduga. Sudahlah, saya tak jadi berkunjung ke rumahnya. Mungkin malam nanti.
‘Mei sudah pergi, Ose. Dia takkan kembali lagi. Untuk selamanya. Raganya boleh tetap ada, tapi terpisah abadi dari pedesaan ini,’ jelas mamanya. ‘Dia hanya bilang agar kau tak usah mengenangnya.’
Saya paham kalau Mei sudah buat sesuatu yang dilarang di pedesaan ini. Ia, saya tahu kalau ini pedesaan. Masih ada tabu. Untuk itu, dia mesti pergi dan tak boleh kembali, kalau tak mau buat semua orang di sini menderita lagi.
‘Mei sudah pilih untuk mencintai dengan jalan pergi. Ia tak mau kalau kau terima hati yang sepotong darinya. Kau tak layak dengan sepotong hati itu', mamanya berpesan.
Rumah sederhana yang saya bangun dengan harapan itu tak berguna, sekurang-kurangnya hanya untuk menjaga agar kenangan itu abadi. Sudah mati nyala pelita yang sederhana untuk warnai siang dan malam. Saya menangis. Lama sekali. Tak ada air mata lagi. Setiap hujan jatuh, saya hanya bilang bahwa saya selalu menjaga agar kenangan itu tetap abadi, meski rumah bambu sederhana ini layu termakan matahari. Asalkan hujan tetap menyeimbangi panasnya.
Saya bangun dan berjalan. Tetap menjaga agar rumah sederhana itu, saban hari, tetap ditetesi hujan. Jaga dia, dan jaga semuanya tetap abadi.
Semakin hujan merintik, semakin saya jatuh pada cinta.
Wanita Terhebatku
(Yohan Rudin-06)
HERAN
Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga |
Filippo Tommaso Marinetti (1876-1944), seorang satrawan Italia, menulis, dalam 'Manifesto Futurisme', "We want not part of it, the past", "We the young and strong Futurists". Ia secara elegan-linguistik, menolak masa lalu, dan melahirkan pemikiran tentang kecepatan, mesin, pemuda dan industri. Siapa dapat mengira kalau, seyogianya, Filippo justru mengekspresikan kebenciannya pada tradisi lama; bidang politik dan seni.
Banyak orang merasa heran tentang adanya gerakan baru, yang tentu membuat konsep mereka agak semerawut. Keheranan ini menjadi tak sepatutnya ada lagi sebab para seniman sekaliber Umberto Boccioni, Carlo Carra, Giacomo Balla, Antonio Sant'Elia, Tullio Crali, dan Luigi Russolo bergabung. Manifesto Futuris itu mereka tandatangani.
Pada lain waktu, dubium methodicum yang kita kenal, pernah mengalami masa kejayaannya sebagai sebuah metode kritis-eksploitatif, kalau bersoalan dengan proses mencari. Saya kira, ia tidak hanya 'pernah' mengalami. Ia selalu elok dan asfar untuk 'dipakai' pada berbagai konteks oleh para filosof. Dalam ajang yang lebih futuristis, metode meragukan ini, dieksplisitkan pada konsep yang akan membawa kita menuju istilah yang agak ambigu, heran. Kalau kita gunakan frasa heran, tepat, saat menanggapi argumen-argumen kontradiktifnya Rocky Gerung, kita pasti dibilang dungu.
Momentum risalah ini mengajak kita untuk sejenak bertetirah pada kedalaman suatu tanda heran dalam konteks futuristis. Heran, sebagaimana yang melahirkan sikap antitradisional, anti terhadap yang kaku, yang mengutamakan ketakutan pada otoritas-otoritas semu. Tak lepas juga ketakutan pada menjadi pribadi futuristik yang tak gampang nimbrung dalam kubangan massa.
Di Rumah Saja. Lokasi: Cafe Nitapleat |
Melawan Kematian
Masa lampau itu hanya satu kemungkinan yang sudah menjadi nyata, tentu pada ruang dan waktu yang silam. Ia bisa mati kalau ditelan kapitalisme lupa. Kapitalisme akan mengubah labirin-labirin waktu jadi ruang yang bisa dipertukarkan. Kemudian didandani semasyuk mungkin, lalu diiris perlahan-lahan. Diiris juga punya makna dibuat menjadi ludes. Kita masuk dalam pasir apung lupa.
Ada semacam gaya kolektif yang sedang dan akan menjambret hampir seluruh roadmap dari kemandirian individu. Seolah-olah ada jalan baru yang diupayakan untuk tetap bertahan atas nama kebebasan personal. Kebebasan yang kerap mengalami proses reduksi sebatas kesenangan diri. Bukan pada keharusan untuk membebaskan diri dari sistem reduksi diri ke dalam kegandrungangan kolektivistis. Kita masuk pada ranah momentum yang majal sebab kebebasan diri tak pandai lepas dari keramaian. Pada galibnya, setiap pathway masuk juga dalam lorong-lorong paradigma yang mati.
Pada faset yang silam, sebatang keris Pangeran Diponegoro telah menjadi milik Raja Willem I. Setelah Pangeran Diponegoro dikalahkan. Keris Kiai Nogo Siluman itu nyata sebagai sejarah yang memang terjadi (histoire realite). Realitas baru terjadi juga bahwa keris itu telah dikembalikan kepada Indonesia, termasuk artefak-artefak kepunyaan Indonesia. Kita lupa akan sejarah ini. Lantas, cerita apa yang telah dan akan dilahirkan? Saya berpandangan bahwa kisah, pun pandangan, tiap insan itu berbeda, dan senantiasa menarik. Selalu dalam ruang dan waktunya sendiri.
Maut sudah menanti bila tak ada sejengkal langkah untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan baru —ketakutan pada hilangnya pujian dari luar diri. Ketakutan akan penerimaan diri dalam rumah yang kerap tertutup pada impresi-impresi rasa. Ketakutan akan 'pengucilan' dalam keramaian. Yang menggiring muruah personal, bersama banjir, pada selokan-selokan kesenangan komunal.
Maut justru, dengan manisnya, tertawa pada kegirangan untuk 'pura-pura lupa' —judul lagunya Mahen— akan kemestian dari menjadi diri sendiri itu. Sebab maut telah mengintip kesukaan diri untuk takluk pada opini-opini yang subur dalam kerumunan.
TimurPerpustakaan Futuristis.
Sumber: The Journey of Mrs. Masturdating
Timur itu satu kontur linguistik yang sangat digandrungi para pemikir kritis, serentak idealis. Maximilian —tokoh dalam film Eiffel I'm in Love, pun sangat nekat memakai instrumen cahaya untuk menyatakan kritik pada kegandrungannya akan mimpinya —mencinta. Para pemikir pun bermimpi untuk mencintai mimpinya, mencipta. Mencipta berarti melahirkan sesuatu, manjadikan sesuatu itu baru. Dalam konsep para futuris, mencipta berarti membuat segala yang ada menjadi berbeda. Mereka menyuguhkan kesungguhan ada dari suatu ketiadaan, dengan langkah sebagai yang muda —the young futurists.
Sekedar mencuri cerita pada novel Jejak Langkah. Kita menemukan satu kisah inspiratif dari sekian cerita inspiratif yang bergelimangan. Bali sesungguhnya tidak membiarkan diri masuk dalam barisan yang terjajah oleh para kolonialis Belanda. Mereka mau bebas, serentak tak mau terikat pada aliran yang menghanyutkan. Mereka bertarung. Tentu demi menjaga keluhuran muruahnya. Kita bingung sebab Bali sukar terkalahkan, termasuk perkelahian oleh bangsanya sendiri. Bali, seolah, diasingkan dari cipratan nama bangsa, yang terlampau mapan oleh asupan-asupan kenyamanan Hindia. Bali akhirnya terkalahkan. Seperti kerumunan laron yang menyerang api, mereka jatuh. Tetapi perang Puputan, perang sampai akhir, tetap terkenang sebagai usaha tiada sudah hingga membiarkan jiwa menuju keabadian.
Timur selalu berdiri sendiri dalam kemandiriannya. Berdiri dalam persatuan yang tak terpecahkan. Kesatuan para pendobrak yang memilih diam demi terlahirnya kemajuan, pertama-tama, kemajuan paradigma. Yang berseberangan dengan paradigma kolektivistis. Asyiknya, ada ketakutan baru, yang mematikan metode meragukan kita. Kualitas keraguan epistemis direduksi demi melahirkan pilihan yang melayani kesenangan massa. Pantang bahwa keraguan itu jadi satu titik yang dipakai demi memaksa diri keluar dari sistematisasi kenyamanan itu.
Akhirnya kita tahu kalau Bali begitu mandiri. Justru Bali jauh lebih terkemuka dibandingkan bangsanya sendiri. Tak lain tak bukan, Bali tahu artinya kemandirian yang lawan arus. Mereka juga tahu kalau massa —atau paradigma kolektif, tak senantiasa sebagai titik, yang darinya mereka berpijak. Ada titik futuristik yang mereka simpan dalam sukma. Titik melawan yang lampau, merelakan pergi kenyamanan yang sedang digauli massa. Ramai tak selalu berintegritas. Mungkin lebih mempercepat jurang antara kehidupan dan kematian pribadi dalam kehidupan itu sendiri. Banyak orang jadi heran. Heran pada pilihan, heran pada meragukan.
Sumber: Valentino Luis |
Sumber: Fotografer Labuan Bajo |
Enu-enu dalam balutan kain Manggarai. Sumber: NTT Progresif |