Berbalut Kabut, Melumat Sejarah Marilonga
di Detukeli-Watunggere
Hutan Ampupu (Eucalyptus Urophylla) menyambut kami dengan senyum kabutnya. Dingin sekali. Kami berempat menyusuri jalan-jalan berbalut kabut. Barangkali ketika kami sudah berpijak, kami tak mau pulang-pulang.
Sekitar 30 menit dari jalan Negara kami berada di atas pick up. Setia sekali, seperti ketika kami kolong pulang kuliah. Embun melekat dengan sukanya pada kulit dan rambut kami. Jalan saja. Om Yonas, sopir pick up, dengan gagahnya, membelah bukit demi bukit. Jalannya cukup menantang, tapi sopir senior itu hanya senyum dan tancap gas. Kami di belakang tahan saja.
Hutan hujan tropis menari. Daunnya berjatuhan. Sempat, dedaunan Ampupu bergemerisik, mungkin melambai tanda selamat datang. Nyatanya, dedaunan terus melambai hingga kami tiba di Pastoran Gereja Roh Kudus Detukeli. Di sana, kabut dan dingin melumat kulit-kulit tipis kami.
Pater Yanto, Aldo, Edith dan saya merasa kedinginan sebab jaket tipis kami tertembusi uap-uap kabut. Sum-sum tulang seolah telanjang, daging kami dikuliti dingin. Dengan senyum manis, Frater Nelis, Topper Detukeli, menyambut kami; senyumnya hangat. Lumayanlah untuk mengimbangi kedinginan.
Pastor Charles Beraf sedang berada di kebun belakang Patoran. Katanya, aktivitas di kebun itu sebagai sebuah praktik ekonomi keselamatan. Kami berempat tersenyum. Ia menyapa kami, dan membawa kami di sebuah tempat yang santai. Ia menyebutnya sebagai Mbe'i Kaju Oto. Alam sekitarnya indah dan dingin. Sekali lagi, kabut tetap bersemi. Hujan rintik-rintik turun, dan kami butuh penghangat tubuh.
Perjalanan masih panjang. Kami berempat dibagi lagi ke beberapa Stasi yang dinaungi Paroki Detukeli. Ada Kuasi Paroki Watunggere, Stasi Pisa, Stasi Wolomuku, Detunio, Muda, Kanganara, Nggesa, Detukeli sendiri, dan beberapa Stasi lain.
Saya melanjutkan perjalanan beberapa kilometer lagi ke arah Selatan, di Kuasi Paroki Watunggere. Di sini, saya seorang diri, bersama kenangan-kenangan yang nantinya saya dapat. Meski sendirian, saya yakin kalau banyak pengalaman berharga yang dapat saya maknai. Tentu dalam kaitannya dengan ziarah hidup pribadi.
Saat tiba pertama di sini, seorang umat Kuasi Paroki Watunggere, Bapak Moses, memberikan orientasi singkat. Di sini merupakan rumah pahlawan Ende, Marilonga. Ada benteng dan kuburnya juga. Mendengar ini saja, saya suka sekali. Nantilah baru saya bertetirah.
Syukurlah bahwa saya boleh berkeliling di kampung halaman Marilonga, barangkali kecipratan semangat pahlawannya. Basilica, biasa disapa Bass, menjadi sahabat perjalanan saya selama beberapa hari di sini. Ditemani lagu 'Pergi', karya Silet Open Up, kami berdua memulai tetirah kami mencari kopi sore. Kebetulan kopi di sini hangat. Pada ketinggian, kami berdua menyeruput kopi, kebetulan salah seorang umat mengajak kami untuk mampir.
Bass ternyata seorang anak kecil yang paham dan mampu bertutur tentang sejarah kampung, juga sejarah Marilonga. Agar, cerita-ceritanya semakin lengkap, ia membawa saya kepada seorang penjaga rumah adat (Lio: Sa'o Ria) Marilonga di kampung Watunggere. Kami berjumpa Nenek Ema, penjaga rumah, serentak meminta izin untuk berfoto-foto, atau untuk memburu sejarah. Hampir satu jam kami melumat sejarah seorang pahlawan masyarakat Ende.
Saya bangga bahwa bukan saja pelayanan selama Natal dan Tahun Baru yang saya alami, melainkan juga tentang inspirasi-inspirasi yang saya dapatkan.
Peracik: Vincent Wedjo
Mantap
ReplyDelete