Heran yang Futuristis
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Beranda Nitapleat; menuju kabar dan informasi tentang rumah Nitapleat (surga tempat mata air akan membasuh air matamu). Salam dari kami semua.
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
*****
Sudah empat tahun lamanya, rindu itu mengurung. Ia tak sedikit pun membuka ruang untuk lari. Menutup erat dan membuatnya jadi sebilah luka. Ke mana-mana, setiap Desember tiba, hujan jatuh semakin ngilu, dingin diam-diam menyelinap masuk menspionase jiwa yang meranah.
“Siapa yang kau rindu,” tanya Desember.
“Bukankah kita adalah sahabat, aku selalu menunggumu
dengan sabar. Menanti jatuhnya tanggal-tanggal dan hari-hari di bulan-bulan
sebelumnya. Lalu, mengapa kau menyalahiku. Apa ada yang salah dengan
kehadiranmu. Empat tahun lamanya aku menanti jawabanmu, tanpa menggubris yang
lain berbicara tentangku yang sial. Selalu membuat luka, bahkan tidak sedikit
mereka mengejekku dengan bulan yang menyedihkan. Sedang kau tahu sendiri, aku
bangga dengan diriku sendiri. Aku akan dirayakan dengan pesta yang meriah; mereka menyambutku dengan pernak-pernik lampu kelap-kelip, di jalan-jalan antarkota dalam provinsi dan di antara ruas jalan antara desa dan kampung-kampung
ada bunga dan pohon yang dihias dengan bintang kecil di puncaknya,” sambungnya
sambil tersenyum hangat.
“Kau begitu bangga menceritakan semuanya itu. Kau kira
aku suka dengan semua caramu mengenang kisahmu. Aku sependapat dengan mereka
yang lain, kau terlalu licik membuatku jadi kalut setiap kali kau datang. Kau
membuatku tak ingin menetap terlalu lama, apalagi tersanjung dengan
kehadiranmu. Apakah kau pernah bertanya tentang asal-usulmu, tentang kelahiranmu,
tentang ayah dan ibu atau tentang luluhurmu? Mengapa kau jadi bulan keduabelas
dan itu bulan terakhir dalam setahun, kau pernah menanyakan itu atau kau
pura-pura tak ingin tahu tentang semuanya itu?” Kata-kataku menghujani wajah
Desember.
Ia tersipu malu, tunduk sambil bertanya-tanya apa
salahku?
Andai saja aku memahami diriku sendiri, akan kugadai
kamar ini dengan warna-warna pink, tanda khas dari kasih sayang, kau tahu itu
kan?
Desember masih saja bingung. Ia menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya. Menyeka air matanya yang jatuh sambil bersyukur. Di luar, hujan dengan cantiknya merekah dari bibir jendela kamar ini.
“Akh, aku mencium aroma kopi. Aku rindu kopi ini. Aku
suka caranya menyeduh kopi itu. Aku tahu, sedikit lagi aroma kue filu
(cucur) keluar dari tungku api, tempat cinta menanak, bahkan tempat cinta merias
wajahnya setiap hari,” batinku gundah.
Aku ingat, aku dilahirkan dari silsilah Yakob yang
kemudian dikenang secara religius dalam kitab-kitab suci perjanjian lama. Aku
anak bungsu Yakub yang saban hari dibuang oleh saudara-saudaraku di sumur. Aku
tahu aku harus dibuang sebab begitulah nasibku yang dinubuatkan oleh para nabi
terdahulu. Aku menerimanya sebagaimana sekarang yang lain mencibirku.
Aku juga ingat, kemarin aku dikenang dalam duabelas
suku Israel. Aku berusaha mengingatnya, sebab semua yang lalu hanyalah warisan
dan sekarang (saat ini – kini) hanya sebuah jawaban dari masa laluku dan esok, yang jadi masa depanku, itulah yang jadi proyekku saat ini.
“Bagaimana menurutmu dengan silsilah hidupku itu?”
tanya Desember.
“Apakah kau pernah belajar tentang Struktural waktu?
Kau seakan-akan lihai menjadi guru bagiku, menjelaskan tentang waktu yang perlu
dan harus dipahami oleh manusia. Kau pernah bersekolah? Siapa gurumu? Apa iya
kau hidup bersama Hume sampai-sampai kau juga mau mengajariku tentang asal-usul
pengetahuan manusia? Atau jangan-jangan kau bagian dari kapitalis yang dikritik
oleh Karl Marx dalam buku Akal Budi Murninya?”
“Benarlah kata yang lain, kau begitu sombong,” cetusku,
masih tetap dengan rindu akan aroma kopi dan aroma filu (cucur) ibu.
Sudahlah, mending kau jangan terlalu banyak menghayal, apalagi kau dengan ilusimu yang liar mengatakan kau berasal dari ayah Yakub. Apa iya kau titisan langsung Allah sebagaimana Yesus Kristus? Tidak salah dengarkah aku?
Dad, natal kali ini begitu-begitu saja, seperti tahun-tahun sebelumnya. Yang istimewa hanyalah perayaan ekaristi dan yang paling menyakitkan, ketika kau tak ada bersamaku. Menikmati kue-kue natal, berdoa bersama dan sudah kesekian kalinya aku tak pernah mengenang moment natal dalam foto-foto di galeri handphone androidku. Terakhir kali ketika kita sama-sama masih balita. Yah, itu ketika ayah dan ibu kita sempat membelikan pakaian baru yang kembar sebagai kado natal untuk kita.
Kau mengenang bahwa kau bagian dari duabelas suku
Israel, seolah-olah kau menganggapku begitu bodoh sampai-sampai harus
mempercayai khayalanmu yang terlalu tinggi itu?
Ada baiknya, kau diam di sini tanpa harus banyak berkata.
Sudah terlalu sering aku mendengar sama saudaraku bercerita dengan
konsonan-konsonan huruf serta huruf-huruf vokal yang semuanya terlalu banyak
omong kosong.
Desember, kita orang Lio bilang, “Mae pu woa wengu”
artinya “jangan terlalu banyak omong”.
Jangan kau keluar dari kamar ini, aku tetap ingin kau
duduk di situ. Di sudut itu, tanpa bersuara dan tanpa membuatku semakin marah. Ingat itu. Aku sudah tidak suka dengan semua hal tentangmu. Jika kau berani
melawan, jangan salahkan aku ketika kau sudah jadi abu dan debu, lalu di bawa angin pergi entah ke mana. Toh siapa juga yang peduli denganmu.
“Evi, mengapa aromamu keluar memaksa hidungku jatuh di
atas uap bibirmu. Bibirku begitu mesra mencumbui bibirmu. Kau membalasnya tanpa
mengomel dan aku suka caramu membalas bibirku.”
Andai saja Evi tahu di sini aku sedang mengenang
caraku melumatinya dan membuatnya begitu telanjang, sudah pasti aku akan suka
caranya tersipu malu dan gerutu: “Itu apa kubilang, pelan-pelan saja.
Sekarang semuanya sudah kosong, yang tersisa ampas-ampas hitam saja, ia kering, tak
lagi basah.”
“Dad, Desember kamu pulang kan? Soalnya aku rindu.
Kemarin saja saat Juni datang kau tak sempat menatapku meski Fita, adik kita, pernah menelponmu, katanya: “Kamu tidak pulang.” Dan kau tahu Dad, Juni kemarin
membuatku begitu hambar, aku benar-benar sepi dan sendiri; di kota-kota rak
tempatku menetap, debu berjejelan jatuh, angin pergi dan datang membawa seluruh
aroma yang tak kusuka hingga lalat-lalat berterbangan mengelilingiku bahkan
jentik-jentik hitam mulai menempel di tubuhku. Aku takut. Takut mereka mencuri
aromamu dari tubuhku, sebab sudah setahun lebih aku tak mengizinkan tubuhku
dibasahi air.” Aku ingin ia tetap melekat, dengan begitu aku selalu dekat
denganmu.
Pikiranku terbang, membawa semua pengandaian jadi lebih gila. Senyum-senyum sendiri, tertawa sendiri dan terakhir menangis sejadi-jadinya.
Baca Juga: Kunang-kunang di Malam Minggu
“Vi, bagaimana dengan natal yang akan datang?”
Dad, natal kali ini begitu-begitu saja, seperti
tahun-tahun sebelumnya. Yang istimewa hanyalah perayaan ekaristi dan yang
paling menyakitkan, ketika kau tak ada bersamaku. Menikmati kue-kue natal,
berdoa bersama dan sudah kesekian kalinya aku tak pernah mengenang moment natal
dalam foto-foto di galeri handphone androidku. Terakhir kali ketika kita
sama-sama masih balita. Yah, itu ketika ayah dan ibu kita sempat membelikan
pakaian baru yang kembar sebagai kado natal untuk kita.
Vi, aku mencintamu seperti air yang mengalir tanpa
tahu cara kembali ke hulu. Aku selalu merindukanmu setiap desahan nafasku.
Menyebut namamu dan nama mereka di dalam doa. Aku selalu ingin pulang, sedang
cintaku seperti terbagi oleh pikiranku, bukan oleh perasaanku. Aku memikirkan
pengandaian-pengandaian secara matematis – ekonomis tentang rugi dan untung.
Semuanya seakan-akan dua realitas yang perlu kucakar dan kuperbaikki dalam
setiap sifat turunannya.
Vi, di sini aku selalu menjagamu dalam doa. Menemanimu
dalam puisi dan menyanyikan lagu nina bobo yang mereka sering nyanyikan untuk
kita.
Vi, aku akan selalu mencintai dan menjagamu seperti
aku mencintai dan menjaga diriku. Baik-baik natal di sana. Ingat pesan mereka
sebelum mereka pergi meninggalkan kita. Jangan menangis sebab kita terentang
oleh jarak, sedang waktu selalu berjalan di antara kita. Tangisanmu kurasakan
dalam hari-hari hidupku. Kesedihan dan kebahagiaanmu kualami dalam
pengalamanku. Aku selalu ada untukmu.
“Vi, semoga kamu melewati natal tahun ini dengan
bahagia,” suaraku mulai turun. Dan kusadar, natal sudah hampir tiba.
“Tuhan, hari kelahiranMu semakin mendekat”, doaku
dengan suara yang hampir hilang.
“Dad, bagaimana dengan natalmu di rumah yang katanya
tempat segala rindu berlabuh itu?”
Aiss, jangan kau tanyakan tentang hal itu. Di sini
natal terlihat biasa-biasa saja. Aku tak ingin mengatakan natal hanya sebatas
rutinitas yang selalu dirayakan tiap tahun. Natal biasa-biasa saja karena
suasananya begitu-begitu saja. Memang ada kue tar, ada pohon natal, ada daging
babi atau ayam, bahkan daging sapi, ada juga saudara-saudara yang lain. Semuanya
ramai; benar-benar ramai. Namun, ada yang lain dari yang tak bisa kulukiskan
secara baik dalam bahasa-bahasa. Cukup kau pahami itu.
Jangan kau menangis dengan yang barusan kubilang. Aku
hanya ingin kau tahu, kita sama-sama kering. Bibirku kering dan tak ada setetes
pun kopi yang tahu cara mengembalikan rasa bagiku mencecap natal yang selalu
datang ini.
Setiap kali menjelang natal, aku selalu beradu mulut
dengan Desember, syukur-syukur tidak sampai adu jotos. Darahku sering mendidih
tapi syukurlah aku mampu mengatasi amarahku, itu pun karenamu, Vi.
Ini saja aku begitu kesal dengan Desember ia
seoalah-olah ingin menjadi temanku tanpa menyadari kesalahannya. Ia mengatakan
tentang duabelas anak Yakub bahkan kisah duabelas suku Israel merupakan
silsilah kelahirannya. Bagaimana itu tidak membuatku geram?
Aku sudah menyuruhnya duduk di sudut kamar tidurku.
Aku hanya ingin ia menjadi penonton. Tadinya Desember ingin keluar dari kamar
ini, untungnya aku cepat mengancamnya.
“Dad, aku mencintaimu. Aku mempunyai satu permintaan
buatmu untuk natal kali ini”.
“Vi, jangan aneh-aneh. Aku mencintaimu tanpa pernah
bertanya apa yang kusukai darimu atau apa yang akan kudapat darimu. Aku tidak
pernah bertanya tentang apapun, bahkan untuk berusaha menjawab sendiri saja pun
aku tak tahu apa yang harus kujawab”.
“Dad, aku ingin kau jangan sekali-kali memberi harapan
jika kau tak mampu menjalaninya.”
Vi, kamu ini aneh-aneh saja. Apa coba yang kuberikan
kepada orang. Toh aku sendiri tidak tahu apa yang kuharapkan dari diriku setiap
bangun pagi dan setiap malam menjaga lelap dalam gelap.
Vi, seandainya kau tahu setiap Desember membawa
suasana natal pada dirinya, aku selalu mengurung diri dalam kamar. Mengekalkan
damai dan sukacita di dalam pengap asap rokok dan makanan sisa setiap kali
lupa untuk mencuci dan menghantarnya kembali ke dapur.
Di setiap kesempatan aku mengurung diri di kamar,
menanti hari kelahiran-Nya dengan melampiaskan kerinduan kepada Desember yang
membawa dirinya begitu bangga.
“Vi, di kamar tidur ini, tak ada lagi Desember.
Desember telah kusuruh keluar cukup berada di ruangan tamu. Memberi salam
kepada mereka yang selalu datang menyampaikan salam damai natal. Aku tetap di
kamar ini, di sini yang ada tinggal aku dan luka.
“Vi, adikku, ingatlah aku selalu mencintaimu. Sekalipun
di kamar ini yang tinggal hanya aku dan luka, kami sama-sama tak tahu apa yang
perlu diharapkan saat pagi meninggalkan lelap dan ketika malam menemani lelap
dan gelap”.
Vi, sudah empat tahun lamanya di kamar ini yang
tinggal hanya aku dan luka. Salam ujudku bagi kedua orangtua kita, juga untuk
Fita adik perempuan kita itu.
Nita Pleat, 2020
About Arnoldus Nitapleat
Templatesyard is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design. The main mission of templatesyard is to provide the best quality blogger templates which are professionally designed and perfectlly seo optimized to deliver best result for your blog.
No comments:
Post a Comment