Heran yang Futuristis
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Beranda Nitapleat; menuju kabar dan informasi tentang rumah Nitapleat (surga tempat mata air akan membasuh air matamu). Salam dari kami semua.
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
*****
Sudah empat tahun lamanya, rindu itu mengurung. Ia tak sedikit pun membuka ruang untuk lari. Menutup erat dan membuatnya jadi sebilah luka. Ke mana-mana, setiap Desember tiba, hujan jatuh semakin ngilu, dingin diam-diam menyelinap masuk menspionase jiwa yang meranah.
“Siapa yang kau rindu,” tanya Desember.
“Bukankah kita adalah sahabat, aku selalu menunggumu
dengan sabar. Menanti jatuhnya tanggal-tanggal dan hari-hari di bulan-bulan
sebelumnya. Lalu, mengapa kau menyalahiku. Apa ada yang salah dengan
kehadiranmu. Empat tahun lamanya aku menanti jawabanmu, tanpa menggubris yang
lain berbicara tentangku yang sial. Selalu membuat luka, bahkan tidak sedikit
mereka mengejekku dengan bulan yang menyedihkan. Sedang kau tahu sendiri, aku
bangga dengan diriku sendiri. Aku akan dirayakan dengan pesta yang meriah; mereka menyambutku dengan pernak-pernik lampu kelap-kelip, di jalan-jalan antarkota dalam provinsi dan di antara ruas jalan antara desa dan kampung-kampung
ada bunga dan pohon yang dihias dengan bintang kecil di puncaknya,” sambungnya
sambil tersenyum hangat.
“Kau begitu bangga menceritakan semuanya itu. Kau kira
aku suka dengan semua caramu mengenang kisahmu. Aku sependapat dengan mereka
yang lain, kau terlalu licik membuatku jadi kalut setiap kali kau datang. Kau
membuatku tak ingin menetap terlalu lama, apalagi tersanjung dengan
kehadiranmu. Apakah kau pernah bertanya tentang asal-usulmu, tentang kelahiranmu,
tentang ayah dan ibu atau tentang luluhurmu? Mengapa kau jadi bulan keduabelas
dan itu bulan terakhir dalam setahun, kau pernah menanyakan itu atau kau
pura-pura tak ingin tahu tentang semuanya itu?” Kata-kataku menghujani wajah
Desember.
Ia tersipu malu, tunduk sambil bertanya-tanya apa
salahku?
Andai saja aku memahami diriku sendiri, akan kugadai
kamar ini dengan warna-warna pink, tanda khas dari kasih sayang, kau tahu itu
kan?
Desember masih saja bingung. Ia menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya. Menyeka air matanya yang jatuh sambil bersyukur. Di luar, hujan dengan cantiknya merekah dari bibir jendela kamar ini.
“Akh, aku mencium aroma kopi. Aku rindu kopi ini. Aku
suka caranya menyeduh kopi itu. Aku tahu, sedikit lagi aroma kue filu
(cucur) keluar dari tungku api, tempat cinta menanak, bahkan tempat cinta merias
wajahnya setiap hari,” batinku gundah.
Aku ingat, aku dilahirkan dari silsilah Yakob yang
kemudian dikenang secara religius dalam kitab-kitab suci perjanjian lama. Aku
anak bungsu Yakub yang saban hari dibuang oleh saudara-saudaraku di sumur. Aku
tahu aku harus dibuang sebab begitulah nasibku yang dinubuatkan oleh para nabi
terdahulu. Aku menerimanya sebagaimana sekarang yang lain mencibirku.
Aku juga ingat, kemarin aku dikenang dalam duabelas
suku Israel. Aku berusaha mengingatnya, sebab semua yang lalu hanyalah warisan
dan sekarang (saat ini – kini) hanya sebuah jawaban dari masa laluku dan esok, yang jadi masa depanku, itulah yang jadi proyekku saat ini.
“Bagaimana menurutmu dengan silsilah hidupku itu?”
tanya Desember.
“Apakah kau pernah belajar tentang Struktural waktu?
Kau seakan-akan lihai menjadi guru bagiku, menjelaskan tentang waktu yang perlu
dan harus dipahami oleh manusia. Kau pernah bersekolah? Siapa gurumu? Apa iya
kau hidup bersama Hume sampai-sampai kau juga mau mengajariku tentang asal-usul
pengetahuan manusia? Atau jangan-jangan kau bagian dari kapitalis yang dikritik
oleh Karl Marx dalam buku Akal Budi Murninya?”
“Benarlah kata yang lain, kau begitu sombong,” cetusku,
masih tetap dengan rindu akan aroma kopi dan aroma filu (cucur) ibu.
Sudahlah, mending kau jangan terlalu banyak menghayal, apalagi kau dengan ilusimu yang liar mengatakan kau berasal dari ayah Yakub. Apa iya kau titisan langsung Allah sebagaimana Yesus Kristus? Tidak salah dengarkah aku?
Dad, natal kali ini begitu-begitu saja, seperti tahun-tahun sebelumnya. Yang istimewa hanyalah perayaan ekaristi dan yang paling menyakitkan, ketika kau tak ada bersamaku. Menikmati kue-kue natal, berdoa bersama dan sudah kesekian kalinya aku tak pernah mengenang moment natal dalam foto-foto di galeri handphone androidku. Terakhir kali ketika kita sama-sama masih balita. Yah, itu ketika ayah dan ibu kita sempat membelikan pakaian baru yang kembar sebagai kado natal untuk kita.
Kau mengenang bahwa kau bagian dari duabelas suku
Israel, seolah-olah kau menganggapku begitu bodoh sampai-sampai harus
mempercayai khayalanmu yang terlalu tinggi itu?
Ada baiknya, kau diam di sini tanpa harus banyak berkata.
Sudah terlalu sering aku mendengar sama saudaraku bercerita dengan
konsonan-konsonan huruf serta huruf-huruf vokal yang semuanya terlalu banyak
omong kosong.
Desember, kita orang Lio bilang, “Mae pu woa wengu”
artinya “jangan terlalu banyak omong”.
Jangan kau keluar dari kamar ini, aku tetap ingin kau
duduk di situ. Di sudut itu, tanpa bersuara dan tanpa membuatku semakin marah. Ingat itu. Aku sudah tidak suka dengan semua hal tentangmu. Jika kau berani
melawan, jangan salahkan aku ketika kau sudah jadi abu dan debu, lalu di bawa angin pergi entah ke mana. Toh siapa juga yang peduli denganmu.
“Evi, mengapa aromamu keluar memaksa hidungku jatuh di
atas uap bibirmu. Bibirku begitu mesra mencumbui bibirmu. Kau membalasnya tanpa
mengomel dan aku suka caramu membalas bibirku.”
Andai saja Evi tahu di sini aku sedang mengenang
caraku melumatinya dan membuatnya begitu telanjang, sudah pasti aku akan suka
caranya tersipu malu dan gerutu: “Itu apa kubilang, pelan-pelan saja.
Sekarang semuanya sudah kosong, yang tersisa ampas-ampas hitam saja, ia kering, tak
lagi basah.”
“Dad, Desember kamu pulang kan? Soalnya aku rindu.
Kemarin saja saat Juni datang kau tak sempat menatapku meski Fita, adik kita, pernah menelponmu, katanya: “Kamu tidak pulang.” Dan kau tahu Dad, Juni kemarin
membuatku begitu hambar, aku benar-benar sepi dan sendiri; di kota-kota rak
tempatku menetap, debu berjejelan jatuh, angin pergi dan datang membawa seluruh
aroma yang tak kusuka hingga lalat-lalat berterbangan mengelilingiku bahkan
jentik-jentik hitam mulai menempel di tubuhku. Aku takut. Takut mereka mencuri
aromamu dari tubuhku, sebab sudah setahun lebih aku tak mengizinkan tubuhku
dibasahi air.” Aku ingin ia tetap melekat, dengan begitu aku selalu dekat
denganmu.
Pikiranku terbang, membawa semua pengandaian jadi lebih gila. Senyum-senyum sendiri, tertawa sendiri dan terakhir menangis sejadi-jadinya.
Baca Juga: Kunang-kunang di Malam Minggu
“Vi, bagaimana dengan natal yang akan datang?”
Dad, natal kali ini begitu-begitu saja, seperti
tahun-tahun sebelumnya. Yang istimewa hanyalah perayaan ekaristi dan yang
paling menyakitkan, ketika kau tak ada bersamaku. Menikmati kue-kue natal,
berdoa bersama dan sudah kesekian kalinya aku tak pernah mengenang moment natal
dalam foto-foto di galeri handphone androidku. Terakhir kali ketika kita
sama-sama masih balita. Yah, itu ketika ayah dan ibu kita sempat membelikan
pakaian baru yang kembar sebagai kado natal untuk kita.
Vi, aku mencintamu seperti air yang mengalir tanpa
tahu cara kembali ke hulu. Aku selalu merindukanmu setiap desahan nafasku.
Menyebut namamu dan nama mereka di dalam doa. Aku selalu ingin pulang, sedang
cintaku seperti terbagi oleh pikiranku, bukan oleh perasaanku. Aku memikirkan
pengandaian-pengandaian secara matematis – ekonomis tentang rugi dan untung.
Semuanya seakan-akan dua realitas yang perlu kucakar dan kuperbaikki dalam
setiap sifat turunannya.
Vi, di sini aku selalu menjagamu dalam doa. Menemanimu
dalam puisi dan menyanyikan lagu nina bobo yang mereka sering nyanyikan untuk
kita.
Vi, aku akan selalu mencintai dan menjagamu seperti
aku mencintai dan menjaga diriku. Baik-baik natal di sana. Ingat pesan mereka
sebelum mereka pergi meninggalkan kita. Jangan menangis sebab kita terentang
oleh jarak, sedang waktu selalu berjalan di antara kita. Tangisanmu kurasakan
dalam hari-hari hidupku. Kesedihan dan kebahagiaanmu kualami dalam
pengalamanku. Aku selalu ada untukmu.
“Vi, semoga kamu melewati natal tahun ini dengan
bahagia,” suaraku mulai turun. Dan kusadar, natal sudah hampir tiba.
“Tuhan, hari kelahiranMu semakin mendekat”, doaku
dengan suara yang hampir hilang.
“Dad, bagaimana dengan natalmu di rumah yang katanya
tempat segala rindu berlabuh itu?”
Aiss, jangan kau tanyakan tentang hal itu. Di sini
natal terlihat biasa-biasa saja. Aku tak ingin mengatakan natal hanya sebatas
rutinitas yang selalu dirayakan tiap tahun. Natal biasa-biasa saja karena
suasananya begitu-begitu saja. Memang ada kue tar, ada pohon natal, ada daging
babi atau ayam, bahkan daging sapi, ada juga saudara-saudara yang lain. Semuanya
ramai; benar-benar ramai. Namun, ada yang lain dari yang tak bisa kulukiskan
secara baik dalam bahasa-bahasa. Cukup kau pahami itu.
Jangan kau menangis dengan yang barusan kubilang. Aku
hanya ingin kau tahu, kita sama-sama kering. Bibirku kering dan tak ada setetes
pun kopi yang tahu cara mengembalikan rasa bagiku mencecap natal yang selalu
datang ini.
Setiap kali menjelang natal, aku selalu beradu mulut
dengan Desember, syukur-syukur tidak sampai adu jotos. Darahku sering mendidih
tapi syukurlah aku mampu mengatasi amarahku, itu pun karenamu, Vi.
Ini saja aku begitu kesal dengan Desember ia
seoalah-olah ingin menjadi temanku tanpa menyadari kesalahannya. Ia mengatakan
tentang duabelas anak Yakub bahkan kisah duabelas suku Israel merupakan
silsilah kelahirannya. Bagaimana itu tidak membuatku geram?
Aku sudah menyuruhnya duduk di sudut kamar tidurku.
Aku hanya ingin ia menjadi penonton. Tadinya Desember ingin keluar dari kamar
ini, untungnya aku cepat mengancamnya.
“Dad, aku mencintaimu. Aku mempunyai satu permintaan
buatmu untuk natal kali ini”.
“Vi, jangan aneh-aneh. Aku mencintaimu tanpa pernah
bertanya apa yang kusukai darimu atau apa yang akan kudapat darimu. Aku tidak
pernah bertanya tentang apapun, bahkan untuk berusaha menjawab sendiri saja pun
aku tak tahu apa yang harus kujawab”.
“Dad, aku ingin kau jangan sekali-kali memberi harapan
jika kau tak mampu menjalaninya.”
Vi, kamu ini aneh-aneh saja. Apa coba yang kuberikan
kepada orang. Toh aku sendiri tidak tahu apa yang kuharapkan dari diriku setiap
bangun pagi dan setiap malam menjaga lelap dalam gelap.
Vi, seandainya kau tahu setiap Desember membawa
suasana natal pada dirinya, aku selalu mengurung diri dalam kamar. Mengekalkan
damai dan sukacita di dalam pengap asap rokok dan makanan sisa setiap kali
lupa untuk mencuci dan menghantarnya kembali ke dapur.
Di setiap kesempatan aku mengurung diri di kamar,
menanti hari kelahiran-Nya dengan melampiaskan kerinduan kepada Desember yang
membawa dirinya begitu bangga.
“Vi, di kamar tidur ini, tak ada lagi Desember.
Desember telah kusuruh keluar cukup berada di ruangan tamu. Memberi salam
kepada mereka yang selalu datang menyampaikan salam damai natal. Aku tetap di
kamar ini, di sini yang ada tinggal aku dan luka.
“Vi, adikku, ingatlah aku selalu mencintaimu. Sekalipun
di kamar ini yang tinggal hanya aku dan luka, kami sama-sama tak tahu apa yang
perlu diharapkan saat pagi meninggalkan lelap dan ketika malam menemani lelap
dan gelap”.
Vi, sudah empat tahun lamanya di kamar ini yang
tinggal hanya aku dan luka. Salam ujudku bagi kedua orangtua kita, juga untuk
Fita adik perempuan kita itu.
Nita Pleat, 2020
Selamat pagi Meriam. Engkau tidak perlu takut dan cemas, karena aku datang bukan untuk mengusirmu dari dalam keheningan, melainkan untuk memanggilmu dalam kesendirian menuju suatu tugas yang perlu engkau pertanggungjawabkan dalam hidup. Tugas itu bukalah tugas yang datang dari mulutku, tetapi tugas itu diberikan oleh Tuhan.
Suara lembut itu menyapa dari balik kemilauan cahaya kebahagian itu.
Usiaku belum cukup, untuk menerima tugas yang datang dari Tuhan, karena untuk saat ini aku masih sibuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh kedua orangtuaku dan oleh bapak ibu guruku.
Meriam adalah seorang gadis lugu, elok, polos, baik hati dan tekun berdoa, serta rajin bekerja dan belajar. Dia memang seorang gadis yang lahir dari keluarga yang cukup sederhana, Dalam kesederhaan itu ia memiliki kekayaan akan kebaikan, karena kekayaan yang dimilikinya itulah yang membuat banyak orang jatuh cinta dengannya, termasuk sang pencipta.
Meriam, janganlah engkau pernah menolak tugas yang diberikan Tuhan kepadamu, karena tugas ini diberikan bukan kepada semua orang, melainkan kepada engkau seorang diri. Karena itu, semestinya engkau harus bersyukur, karena dari ribuan orang yang ada di dunia ini, hanya engakulah yang terpilih untuk melaksanakan tugas itu. Dan tugas itu merupakan sebuah tugas yang dapat menyelamatkan seluruh umat manusia dari kebinasaan dan ketidakadilan. Tugas itu ialah menitipkan buah rahim, yang turun dari Tangan kasih Tuhan, ke dalam rahimmu yang penuh kemuliaan. Buah rahim itu nanti, akan kau namani, Jesum. Karena Dia adalah seorang penyelamat yang benar-benar datang dari penyelenggaraan Tuhan. Dialah yang akan membinasakan segala kejahatan yang dibuat oleh para penguasa saat ini dan Dialah yang akan terpilih untuk menjadi pemimpin tertinggi di dunia yang penuh kefanaan ini.
Suara dari balik cahaya itu, meyakinkan Meriam yang terlihat cemas dan ragu.
Ya Tuhan, maafkanlah diriku yang fana ini, karena dalam kelemahan ini aku mencoba untuk menolak tugas yang Engkau percayakan kepada diriku. Karena itu, ya Tuhan, jika engkau benar-benar mempercayakan tugas itu pada diriku, dengan puji syukur dan dengan segala apa yang aku miliki saat ini, aku siap menerima dan menjalani tugas itu dengan penuh kesetiaan dan tanggung jawab. Dan karena aku menyadari bahwa aku adalah manusia yang lemah dan rapuh, yang tak mampu berlangkah jika tanpa-Mu, aku memohon kepada-Mu untuk selalu bersamaku dalam melaksanakan seluruh tugas itu. Aku juga menyadari bahwa untuk saat ini, aku belum melakukan hubungan intim dengan calon suamiku, karena itu aku membernikan diri untuk menyerahkan semuanya itu ke dalam tangan kasih-Mu yang Mulia dan Kudus.
Meriam berujar dalam kerendahan
hatinya sebagai seorang hamba Tuhan yang taat dan tanggung jawab.
Berselang satu minggu kemudian, perut Meriam sudah mulai menonjol ke depan, yang menandakan bahwa di dalam rahimnya nginaplah seorang tamu yang datang dari Tuhan. Melihat hal itu, seorang pria, pacar Meriam, kaget dan takut, karena walaupun ia sudah berpacaran dengan Meriam sudah berapa tahun dan bahkan kedua orangtua mereka sudah menjodohkan mereka berdua, namun ia belum pernah sekalipun menyentuh tubuh Meriam, selain bergandengan tangan saat berjalan.
Dan karena ia merasa heran, ia mencoba memberanikan diri untuk menanyakan
kejelasan kepada Meriam saat berada di taman Kota yang ada di dekat kampus
tempat mereka kuliah.“Meriam, saya minta
maaf jika saya lancang untuk menayakan satu hal ini kepada kamu. Karena ini soal
hubungan kita berdua”.
Mendengar
itu, Meriam terlihat tertunduk lesu, karena ia tahu bahwa pasti Jose, pacarnya, akan menanyakan kejelasaan dari isi perutnya saat ini.
Karena itu dalam ketenangan batin, ia meminta bantuan dari Tuhan, agar kuat dan
siap menerima keputusan yang akan diambil oleh Jose, jika ia tahu bahwa Meriam hamil.
Karena
Meriam terus berada dalam keheningan, Jose pun langsung mengelus kepalanya
serta berkata: “Tolong engkau jelaskan
kepada saya, tentang apa yang terjadi dengan dirimu saat ini, karena aku tidak
mau hubungan kita dua akan jadi berantakan gara-gara hal ini”.
Meriam menatapnya dalam ketenangan serta berkata bahwa, “Jose aku minta maaf, karena aku tidak memberitahukan kepadamu tentang yang saya alami saat ini, dan mungkin hal ini membuat engkau sakit hati. Oleh karena itu, sekali lagi saya minta maaf. Jose, Aku hamil Jose”.
Meriam
menangis dalam kesedihan, karena merasa bahwa ia telah mlukai Jose yang telah
menyanginya selama ini. Namun apalah daya, Tuhan lebih menyayangi Meriam dan
Meriam juga menyayangi Tuhan.
Jose
kaget, saat ia mendengar suara Meriam itu dan ia tidak percaya, hingga ia
menanyakan tiga kali dan jawabbannya tetap sama yaitu “Hamil”. Jose bertanya
kepada Meriam, dalam nada yang sedikit keras tanda bahwa ia sangat kecewa
dengan sikap Meriam, siapa yang telah
meniduri engkau sehingga membuahkan hasil seperti ini?
Jawab Meriam, sambil menangis dalam kesedihan, bahwa tidak ada seorangpun yang meniduri diriku. Dan aku hamil bukan karena ditiduri oleh seorang pria, tetapi ini merpukan buah rahim yang datang dari Tuhan. Aku benar-benar minta maaf Jose.
Mendengar jawaban itu, Jose pun langsung berdiri dan bergegas pulang meninggalkan Meriam sendirian dengan tangisan akan dirinya.
Dan saat malam datang menjemput siang, Jose berdiam diri, guna mengambil suatu keputusan yang tepat, agar kelak ia tidak merasa terlukai dan Meriam juga merasa tidak terlukai. Karena Jose juga seorang pria yang pendiam dan penyayang, maka ia membisukan peristiwa itu, agar semua orang tidak mengetahuinya.
Namun, saat ia berada dalam kebimbangannya itu, terdengar suara, “ Jose, jangalah engkau meninggalkan Meriam dalam kesendirian, tetapi hendaklah engkau tetap mengambil Meriam sebagai istrimu”. Mendengar itu, Jose pun langsung tertunduk dan menangis, karena ia telah meninggalkan Meriam dalam kesendirian.
Suatu pagi, saat Jose duduk di bangku tua peninggalan ayahnya. Iia mencoba membuka kebisuaan dengan menyapa ibunya yang sedang membuat kopi,
selamat pagi
mama
hm, tumben ucap
selamat pagi, kata mama nya dalam nada kelakar
mama, ada yang
mau saya sampaikan tentang sesuatu yang sangat penting bagi perjalanan hidupku.
Tetapi sebelumnya saya minta maaf, jika hal ini sebentar membuat mama marah.
iya, sampaikan
saja, jawab mamanya sambil mengaduk kopi.
tapi ini penting
mama
mamanya diam dan berlangkah ke arahnya sambil
membawahkan secangkir kopi. “Katakan
sudah”!, kata mamanya sambil menarik kursi yang ada di dekat Jose.
Tetapi mama
jangan marah sebentar e!
iya, mama tidak
akan marah sa, yang penting kau omong dulu.
Mama, saya mau
nikah dengan Meriam su e.
Mamanya
kaget, dan memuncratkan kembali kopi yang sedang ia teguk. Memang mamanya Jose
telah menjodohkan dia dan Meriam, tetapi mereka berenca setelah kuliah bukan
sekarang. Oleh karena itu mamanya Jose menanyakan alasannya serta memberikan satu
dua nasehat kepada Jose, agar ia tidak salah mengambil keputusan.
Jose memberanikan diri untuk meminta restui itu
kepada ibunya, karena ia tidak mau Meriam akaan menjadi bahan pembicaraan oleh
orang di kampungnya dan di sekolahnya, apalagi Meriam dan Jose merupakan pemuda
yang taat dan baik hati dan dikenal sebagi pemuda yang sangat aktif di gereja.
Dan rencana itu berhasil, yang walaupun awalnya sangatlah heboh, saat orang di
kampung itu tau dan anak-anak di kampus tau bahwa Meriam hamil, karena Meraim
yang mereka tahu selama ini adalah seorang gadis yang pendiam dan baik hati,
hamil di luar nikah. Namun hal itu bisa teratasi karena dengan sikap
keperkasaaan yang di miliki oleh Jose, berani mengakui kepada semua orang bawha
anak yang ada dalam kandunganya Meriam itu merupakan hasil dari hubungan yang
mereka bangunkan selama ini, dan Jose berani untuk bertanggung jawab serta
menikahi Meriam sebagai istrinya. Dan pada akhirnya, Jose pun menikahi Meriam,
yang walaupun masih kuliah dan nama baik Meriam dan Jose serta keluarga mereka
pun tetap terjaga, yang walaupun Meriam mengadung saat berada di bangku kuliah
semester 8.
Tepat pada tanggal 25 Desember, Meriam pun melahirkan
seorang anak laki-laki. Saat proses kelahirannya, Meriam mengalami kesulitan,
karena baginya bahwa ini merupakan suatu pengalaman yang baru, dan rahimnya
masih sempit, namun dengan bantuan dari Tuhan, ia berusaha dengan keras dan
dengan dibantui oleh para ibu-ibu yang tahu soal kelahiran, akhirnya berhasil
melahirkan anaknya yang pertama. Jose yang sedang duduk tertunduk di samping
Meriam pun tersenyum bahagia saat ia mendengar suara tanggisan dari anak yang
baru keluar dari rahim Meraim. Ibu-ibu yang telah membantu Meriam dalam
melahirkan anak itu langsung meniduri anak itu di atas dada ibunya, agar anak
itu dapat merasakan kehangatan yang diberikan oleh ibu yang telah
melahirkannya.
Agama Adalah Demonstrasi
Jika engkau berdoa
Masuklah ke dalam kamarmu
Tutuplah pintu dan berdoalah… (Mat. 6:6)
Di negeriku agama adalah demonstrasi.
Di jalan itu orang berbondong-bondong dengan identitas
bahasa tubuh religius. Pemandangan yang indah, tetapi tidak cukup artistik
untuk dunia sekuler. Kepala sudah terlanjur ditutup sehingga cenderung
irasional. Tubuh dibalut kain putih sehingga isi hati yang pekat tetap
terselubung secara luhur. Ada tutur kata seperti credo diucapkan agak keras. Mereka seperti bersorak menyanjung
seorang pemimpin. Inikah yang disebut Nietzsche sebagai perbondongan (Herde)? Kolektivitas primodial dengan
gaya floating mass, mengikuti begitu
saja apa yang dipercaya, siapa yang dipercaya.
Aku coba pikirkan tentang hidupku. Aku memiliki
kebersamaan primodial yaitu Gereja yang pada titik tertentu memperkuat
determinasi. Aku menjadi ditentukan pada waktu itu bahkan sampai hari ini.
Waktu itu aku masih kecil. Aku dibawa orangtua ke gereja dan aku dibaptis di
sana. Ketika imanku cukup dewasa aku menerima sakramen ekaristi dan sakramen
krisma. Aku sah menjadi seorang Katolik. Apakah ini yang aku kehendaki? Atau
ini suatu kenyataan terberi?
Beragama atau tidak adalah suatu pilihan bebas
manusia. Manusia bebas memilih agama mana yang ia anut. Atau juga ia bebas
untuk tidak memilih agama. Orang bisa hidup sebagai warga negara meskipun tidak
beragama. Aku sadari hidupku bahwa sebetulnya aku tidak bebas dan kebebasanku
sebagai manusia sudah dideterminasi oleh tradisi tempat di mana aku hidup. Aku
hidup di lingkungan Katolik dan pada waktu aku belum paham tentang hidup aku
sudah diputuskan untuk hidup seperti itu. Aku ditentukan oleh dasar komunal
hidup di dalam Gereja. Aku sebetulnya tidak bebas. Beragama berarti juga tidak
bebas merayakan hidup paling otentik.
Fakta hidup macam ini bisa membuat aku tenggelam sebab
arah arus hidupku dinakhodai oleh perbondongan. Aku mengikuti koridor umum yang
sering kali memberi batas pada kemerdekaan merayakan hidup. Aku mulai sadar
bahwa beragama adalah pilihan orang yang tidak merdeka atau takut merdeka.
Aku terlempar ke dalam dunia (Geworfenheit). Faktisitas yang tak dapat aku tolak. Aku
tersituasikan oleh sejarah. Faktum ontologis hidupku yang harus aku lampaui.
Aku tak menolak itu. Aku berjuang untuk memaksimalkan kemungkinan untuk hidup
secara otentik dalam partikularitas diriku yang khas. Aku mengikuti riwayat
hidup umum, tetapi dinamikaku tetap personal. Aku berdoa dan berbuat baik bukan
karena aku beragama. Aku berdoa dengan caraku sendiri. Aku berbuat baik karena
hidup adalah kebaikan Tuhan.
Memiliki agama (having
a religion) adalah hak privat individu. Beragama itu partikularitas. Agama
tempatnya di ruang privat. Aku ingat sabda Yesus, “Jika engkau berdoa, masuklah
ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah…” (Mat. 6:6). Tindakan beragama
datang dari dinamika isolatif. Solilokui yang kudus, tetapi jelas teleologinya:
yang transenden. Percakapan di dalam sunyi bersama Dia yang mahahening. Betapa
dalamnya dan refleksifnya beragama itu.
Kenyataan menunjukkan bahwa agama adalah demonstrasi.
Agama menjadi selebritas. Di ruang publik orang hadir dengan identitas agama.
Agama dipolitisasi demi kepentingan ideologis kelompok. Ini adalah bukti bahwa
orang tidak bebas dan takut menjadi bebas. Orang terikat dan hanyut di dalam
perbondongan. Nietzsche menyebut ‘moralitas budak’, ‘moralitas perbondongan’.
Orang hanya ikut begitu saja apa yang dikatakan oleh pemimpin. Ketaatan buta
orang beragama. Inilah dosa negeri ini yang mengaku Pancasilais tetapi irasional.
Tidak paham hidup sebagai warga negara dan sebagai orang beragama.
Mengapa lonceng itu nyaring berbunyi? Memanggil siapa?
Mengapa harus berkumpul? Orang berbondong-bondong datang. Saling berpose di
gedung megah itu. Wajah pengkhotbah juga direkam kamera. Seremoni itu dibuat
dan dizinkan disiarkan secara langsung (live
streaming, online). Agama jadi
viral di media. Agama adalah demonstrasi dan selebritas.
Aku berada di jalan mana? Di dalam perbondongan atau
di lorong sunyi individualitasku sendiri?
Aku berada di dua kenyataan itu antara kolektivitas
dan individualitas. Aku belajar memaknai kemungkinan dan memaksimalkan
kebebasan untuk berjuang menjadi individu otentik yang tidak tenggelam di dalam
massa.
Aku mulai memberontak terhadap kenyataan hidupku. Aku
ingin melampaui hidupku. Ada jiwa yang terus mencari dan menolak genealogi
dirinya, bahkan genesisnya. Jiwa seorang muda pengikut Firman di jalan sunyi
ziarah puisi. Aku kutip sebagian baris dari puisi “Kucing” karya sutardji
Calzoum Bachri.
tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri daging jangan beri
nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang
sewaktu untuk tenang..
~Edy Soge Ef Er~
(November,
2020)
Bahagia pada Surga-Nya yang ranum Oma dan Opa
Pada segala desir nafasmu
Kau damai
yang nyata
Kau jelita
yang menetas dari liang cinta
Menyejukkan
sukma, mendatangkan surga
Begitulah
kami tercipta
Tunas yang
tumbuh pada pohon cintamu nan rimbun
Bernaung pada
syahdu pangkuanmu nan anggun
Oma….
Uzur dan
usia
Membuat
kita tak lagi terjangkau raga
Dengan
segala pilu dan nestapa
Yang telah terukir larat
Kami
sisihkan doa yang erat
Pada
Pemilik Cinta Tak Bersyarat
Untuk kisah
kita yang penuh gurat
Yang
melahirkan berlaksa sonata surat
Tentang
perjuangan, tentang harapan yang tak berkarat
Teruntuk
Oma Yuliana Watu Ghae
Opa
Dominikus Menge & Oma Maria Loda