Heran yang Futuristis
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Beranda Nitapleat; menuju kabar dan informasi tentang rumah Nitapleat (surga tempat mata air akan membasuh air matamu). Salam dari kami semua.
HERAN Model kafe futuristis. Sumber: Cafe Jalan Braga Peracik: Vincent Wedjo Filippo…
Agama Adalah Demonstrasi
Jika engkau berdoa
Masuklah ke dalam kamarmu
Tutuplah pintu dan berdoalah… (Mat. 6:6)
Di negeriku agama adalah demonstrasi.
Di jalan itu orang berbondong-bondong dengan identitas
bahasa tubuh religius. Pemandangan yang indah, tetapi tidak cukup artistik
untuk dunia sekuler. Kepala sudah terlanjur ditutup sehingga cenderung
irasional. Tubuh dibalut kain putih sehingga isi hati yang pekat tetap
terselubung secara luhur. Ada tutur kata seperti credo diucapkan agak keras. Mereka seperti bersorak menyanjung
seorang pemimpin. Inikah yang disebut Nietzsche sebagai perbondongan (Herde)? Kolektivitas primodial dengan
gaya floating mass, mengikuti begitu
saja apa yang dipercaya, siapa yang dipercaya.
Aku coba pikirkan tentang hidupku. Aku memiliki
kebersamaan primodial yaitu Gereja yang pada titik tertentu memperkuat
determinasi. Aku menjadi ditentukan pada waktu itu bahkan sampai hari ini.
Waktu itu aku masih kecil. Aku dibawa orangtua ke gereja dan aku dibaptis di
sana. Ketika imanku cukup dewasa aku menerima sakramen ekaristi dan sakramen
krisma. Aku sah menjadi seorang Katolik. Apakah ini yang aku kehendaki? Atau
ini suatu kenyataan terberi?
Beragama atau tidak adalah suatu pilihan bebas
manusia. Manusia bebas memilih agama mana yang ia anut. Atau juga ia bebas
untuk tidak memilih agama. Orang bisa hidup sebagai warga negara meskipun tidak
beragama. Aku sadari hidupku bahwa sebetulnya aku tidak bebas dan kebebasanku
sebagai manusia sudah dideterminasi oleh tradisi tempat di mana aku hidup. Aku
hidup di lingkungan Katolik dan pada waktu aku belum paham tentang hidup aku
sudah diputuskan untuk hidup seperti itu. Aku ditentukan oleh dasar komunal
hidup di dalam Gereja. Aku sebetulnya tidak bebas. Beragama berarti juga tidak
bebas merayakan hidup paling otentik.
Fakta hidup macam ini bisa membuat aku tenggelam sebab
arah arus hidupku dinakhodai oleh perbondongan. Aku mengikuti koridor umum yang
sering kali memberi batas pada kemerdekaan merayakan hidup. Aku mulai sadar
bahwa beragama adalah pilihan orang yang tidak merdeka atau takut merdeka.
Aku terlempar ke dalam dunia (Geworfenheit). Faktisitas yang tak dapat aku tolak. Aku
tersituasikan oleh sejarah. Faktum ontologis hidupku yang harus aku lampaui.
Aku tak menolak itu. Aku berjuang untuk memaksimalkan kemungkinan untuk hidup
secara otentik dalam partikularitas diriku yang khas. Aku mengikuti riwayat
hidup umum, tetapi dinamikaku tetap personal. Aku berdoa dan berbuat baik bukan
karena aku beragama. Aku berdoa dengan caraku sendiri. Aku berbuat baik karena
hidup adalah kebaikan Tuhan.
Memiliki agama (having
a religion) adalah hak privat individu. Beragama itu partikularitas. Agama
tempatnya di ruang privat. Aku ingat sabda Yesus, “Jika engkau berdoa, masuklah
ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah…” (Mat. 6:6). Tindakan beragama
datang dari dinamika isolatif. Solilokui yang kudus, tetapi jelas teleologinya:
yang transenden. Percakapan di dalam sunyi bersama Dia yang mahahening. Betapa
dalamnya dan refleksifnya beragama itu.
Kenyataan menunjukkan bahwa agama adalah demonstrasi.
Agama menjadi selebritas. Di ruang publik orang hadir dengan identitas agama.
Agama dipolitisasi demi kepentingan ideologis kelompok. Ini adalah bukti bahwa
orang tidak bebas dan takut menjadi bebas. Orang terikat dan hanyut di dalam
perbondongan. Nietzsche menyebut ‘moralitas budak’, ‘moralitas perbondongan’.
Orang hanya ikut begitu saja apa yang dikatakan oleh pemimpin. Ketaatan buta
orang beragama. Inilah dosa negeri ini yang mengaku Pancasilais tetapi irasional.
Tidak paham hidup sebagai warga negara dan sebagai orang beragama.
Mengapa lonceng itu nyaring berbunyi? Memanggil siapa?
Mengapa harus berkumpul? Orang berbondong-bondong datang. Saling berpose di
gedung megah itu. Wajah pengkhotbah juga direkam kamera. Seremoni itu dibuat
dan dizinkan disiarkan secara langsung (live
streaming, online). Agama jadi
viral di media. Agama adalah demonstrasi dan selebritas.
Aku berada di jalan mana? Di dalam perbondongan atau
di lorong sunyi individualitasku sendiri?
Aku berada di dua kenyataan itu antara kolektivitas
dan individualitas. Aku belajar memaknai kemungkinan dan memaksimalkan
kebebasan untuk berjuang menjadi individu otentik yang tidak tenggelam di dalam
massa.
Aku mulai memberontak terhadap kenyataan hidupku. Aku
ingin melampaui hidupku. Ada jiwa yang terus mencari dan menolak genealogi
dirinya, bahkan genesisnya. Jiwa seorang muda pengikut Firman di jalan sunyi
ziarah puisi. Aku kutip sebagian baris dari puisi “Kucing” karya sutardji
Calzoum Bachri.
tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri daging jangan beri
nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang
sewaktu untuk tenang..
~Edy Soge Ef Er~
(November,
2020)
About Arnoldus Nitapleat
Templatesyard is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design. The main mission of templatesyard is to provide the best quality blogger templates which are professionally designed and perfectlly seo optimized to deliver best result for your blog.
No comments:
Post a Comment